Anak-anak Melawan Candu Gawai
Di balik kepraktisannya, penggunaan gawai yang tak terkendali mengancam tumbuh kembang anak. Dengan bermain, membaca, bercerita, dan berkarya, anak-anak melawan candu gawai demi merangkai masa depan cerah dengan ceria.
Sekitar 50 anak menghabiskan waktu empat jam tanpa gawai di bilik bermain Perpustakaan Jakarta, Sabtu (22/7/2023). Mereka larut dalam keceriaan merayakan Hari Anak Nasional 2023 dengan berliterasi.
Tidak ada upacara atau kegiatan seremonial membosankan lainnya dalam perayaan itu. Anak-anak antusias membaca buku, mendengarkan dongeng, dan membuat boneka tangan atau puppet.
Di dalam ruangan sekitar 80 meter persegi, mereka bermain sambil belajar dengan leluasa. Sementara para orangtua hanya bisa menyaksikan buah hatinya dari balik dinding kaca.
Gelak tawa dan keriangan mewarnai setiap sesi kegiatan. Saat fokus anak mulai menurun, fasilitator dari komunitas Fun Garden of Literacy memompa semangat anak dengan mengajak mereka bernyanyi, bertepuk tangan, dan melompat.
Tak jarang keaktifan anak-anak membuat para fasilitator kewalahan menghadapinya. Mereka tak cuma bertanya, tetapi juga berani memberi masukan untuk kegiatan itu.
”Tadi kita, kan, sudah membaca buku dan mendengarkan cerita. Boleh tidak kalau kita istirahat lima menit sebelum membuat boneka tangan,” ujar Fathi (7), peserta asal Pancoran, Jakarta Selatan.
Baca juga: Lawan Candu Gawai dengan Permainan Tradisional
Usulan ini dikabulkan setelah didukung anak-anak lainnya. Namun, mereka tidak dibiarkan ”menganggur”, tetapi diajak bernyanyi agar antusiasmenya tidak kendur.
Gairah mereka pun tetap terjaga hingga sesi terakhir saat membuat boneka tangan berbahan kaus kaki. Padahal, pembuatan boneka kucing itu relatif rumit. Anak-anak harus menempelkan belasan potong flanel untuk membentuk beberapa bagian, mulai dari mata, telinga, hidung, mulut, lidah, hingga kumis.
”Punyaku (boneka) sudah selesai. Sekarang ayo main sama-sama,” ajak Fathi sambil menggerak-gerakkan boneka yang dimasukkan di tangan kanannya.
Ayah Fathi, Riyadi Solih (38), mengatakan, anaknya memang mempunyai energi besar dalam bermain. Oleh karena itu, ia melibatkan Fathi dalam berbagai kegiatan di luar rumah.
”Kalau di rumah, penginnya main HP (handphone) terus. Makanya, saya ajak ke sini untuk mengurangi screen time. Dia gembira sekali karena bisa bermain sambil belajar sepuasnya,” katanya.
Menurut Riyadi, kegiatan yang digelar di perpustakaan itu juga menjadi salah satu cara mengembangkan literasi anak. Sebab, anak-anak lebih dekat dengan sumber bacaan.
Di dalam ruangan sekitar 80 meter persegi, mereka bermain sambil belajar dengan leluasa. Sementara para orangtua hanya bisa menyaksikan buah hatinya dari balik dinding kaca.
Sebelum pulang, ia meminjam enam buku cerita dari Perpustakaan Jakarta untuk dibawa pulang. Buku-buku itu juga dipilih oleh Fathi agar bisa menjadi bacaan yang menyenangkan di rumah.
”Pelan-pelan menumbuhkan minat anak membaca buku. Bisa juga dengan kegiatan bermain sambil belajar seperti tadi. Mungkin ini cara sederhana anak-anak melawan candu gawai,” ujarnya.
Membatasi pemakaian gawai
Christina (39), warga Kelurahan Kartini, Jakarta Pusat, juga harus memeras otak untuk mencegah anaknya, Satria Arsil (8), ketergantungan pada gawai. Oleh sebab itu, Arsil hanya diperbolehkan menggunakan gawai pada Sabtu dan Minggu.
Namun, ia tetap berupaya agar anaknya menggunakan gawai dengan durasi seminimal mungkin. ”Dengan ikut kegiatan ini, dia jadi lebih suka bermain dengan teman-teman sebayanya. Paling tidak, empat jam tanpa memegang HP,” katanya.
Menurut Christina, kecanduan gawai pada anak menjadi salah satu teror paling menakutkan bagi orangtua. Sebab, tidak hanya berpotensi memicu gangguan kesehatan seperti sakit mata, tetapi juga memengaruhi emosional anak dan membuat mereka sulit berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Baca juga: Kecanduan terhadap Gawai Mengganggu Emosi dan Mental Anak
”Semoga kegiatan seperti ini diperbanyak. Enggak masalah orangtua repot-repot mengantar pagi-pagi dan menunggu berjam-jam. Toh, ini untuk tumbuh kembang dan masa depan anak lebih baik,” jelasnya.
Meskipun kegiatan sudah selesai, Satria masih lalu lalang menghampiri anak-anak lainnya. Ia mengaku senang karena bisa bertemu banyak teman baru.
”Bonekanya boleh dibawa pulang untuk dimainkan di rumah. Bulan depan mau ikut lagi biar temannya makin banyak,” ujarnya.
Pendiri Fun Garden of Literacy Palupi Mutiasih mengatakan, budaya literasi perlu dibangun sejak dini. Namun, literasi tidak sekadar membaca, tetapi juga berbagai aktivitas lain, termasuk bermain dan membuat karya sehingga anak memperoleh pengetahuan baru.
”Anak butuh ruang tumbuh yang mendukung perkembangan mereka. Apa kita tega hanya menggantungkan ruang tumbuh mereka pada gawai?” ujarnya.
Dalam kegiatan itu, Palupi dan rekan-rekannya berupaya membangun interaksi yang tidak mendominasi anak. Hal ini untuk melatih kepercayaan diri dan keberanian anak menyampaikan pendapatnya.
Sesi membaca dan mendengarkan dongeng bertujuan mengasah kemampuan storytelling atau menyampaikan cerita. Hal ini berfungsi menambah kosa kata, frasa, dan wawasan.
Kreativitas dan ketangkasan anak dilatih dengan membuat karya boneka tangan. ”Yang lebih penting, kegiatan ini bisa mengisi tangki cinta anak-anak. Kasih sayang, motivasi, dan energi positif lainnya akan menjadi memori kolektif mereka untuk tumbuh,” katanya.
Ruang tumbuh menyempit
Di era digital, penggunaan gawai tak lagi mengenal batas usia. Anak-anak semakin akrab dengan gawai untuk mengakses gim daring, media sosial, dan fitur lainnya. Padahal, kondisi ini berpotensi berdampak buruk pada anak.
Berdasarkan hasil kajian Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2016, sebanyak 70 persen anak dipastikan membawa gawainya ke sekolah, 61 persen di antaranya menggunakan gawai untuk keperluan chatting dan bermain gim daring, 29 persen menggunakan untuk mencari informasi terkait mata pelajaran, dan hanya 10 persen yang menggunakannya untuk keperluan komunikasi dengan orangtua atau teman.
Anak-anak bercengkerama dengan gawai di kawasan Cideng, Jakarta Pusat, Rabu (18/7/2018). Penggunaan gawai oleh anak-anak memerlukan pengawasan, panduan dan pembatasan dari orangtua untuk mencegah dampak negatif dari paparan media sosial dan gim daring.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan rekomendasi agar anak berusia kurang dari satu tahun tidak menggunakan gawai. Anak berusia 1-4 tahun boleh menggunakan gawai maksimal 60 menit dalam sehari. Namun, anak pada kelompok usia ini disarankan melakukan aktivitas fisik, seperti berjalan, melompat, menari, berenang, atau bermain selama 180 menit (3 jam) sehari.
Baca juga: Suara Anak Indonesia Dihimpun di Semarang
Palupi menyebutkan, menyempitnya ruang tumbuh anak di era digital menjadi masalah serius yang harus segera diatasi. Hal ini bisa dimulai oleh orangtua dengan membatasi penggunaan gawai di depan anak. Sebab, anak merupakan peniru ulung mengikuti yang ada di sekitarnya.
”Teknologi seperti gawai memang bisa memberi kesenangan, tetapi tidak kelekatan. Ini hanya bisa diperoleh anak dari orangtua dan orang-orang di dekatnya,” katanya.
Di tengah melesatnya teknologi digital, penggunaan gawai pada anak sulit dihindari, tetapi bisa dikurangi. Mencuatnya sejumlah kasus anak kecanduan gawai yang memicu banyak masalah menjadi alarm bagi orangtua agar tidak lalai mencegahnya.