Kecanduan terhadap Gawai Mengganggu Emosi dan Mental Anak
Kecanduan gawai pada anak-anak bisa menyebabkan sejumlah permasalahan seperti fisik dan mental. Dibutuhkan kegiatan alternatif agar anak dapat teralihkan dari ketergantungan menggunakan gawai.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecanduan gawai pada anak-anak bisa menyebabkan sejumlah permasalahan, mulai dari fisik hingga sosial. Dibutuhkan kegiatan alternatif agar anak dapat teralihkan dari ketergantungan menggunakan gawai. Selain itu, untuk melindungi anak-anak dari adiksi atau kecanduan terhadap gawai juga perlu peran orangtua, salah satunya dengan membatasi waktu penggunaannya.
Menurut Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso, pemakaian gawai berhubungan dengan mental atau emosional anak. Adiksi atau kecanduan terhadap gawai berisiko menimbulkan masalah emosional pada anak.
Orang dengan kecanduan gawai atau gim daring itu akan mengalami sulit konsentrasi dan fokus, pengendalian diri buruk, penurunan kapasitas proses memori, serta kognisi sosial negatif. Oleh karena itu, berbagai kegiatan bisa ditawarkan untuk mengalihkan perhatian anak dari permainan daring. Hal ini perlu dilakukan sebelum kecanduan gim daring terjadi.
”Permainan anak-anak saat ini bergeser pada permainan daring. Dibutuhkan permainan yang dapat memicu stimulasi untuk merangsang motorik anak karena dalam tumbuh kembang anak itu membutuhkan pola asuh, asih, dan asah,” kata Piprim saat media grup interview bertajuk ”Cerdas dan Bijak Memilih Mainan untuk Anak dan Remaja” secara daring, Minggu (15/1/2023).
Berdasarkan hasil kajian Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) 2016 menunjukkan, sebanyak 70 persen anak dipastikan membawa gawainya ke sekolah, 61 persen di antaranya menggunakan gawai untuk keperluan chatting dan bermain gim daring, 29 persen menggunakan untuk mencari informasi terkait mata pelajaran, dan hanya 10 persen yang menggunakannya untuk keperluan komunikasi dengan orangtua atau teman.
Sementara angka durasi penggunaan gawai pada anak menunjukkan, sebanyak 60 persen anak menggunakan gawai selama lebih dari tiga jam, 25 persen anak menggunakan gawai selama 1-2 jam, dan hanya 15 persen anak yang menghabiskan waktu kurang dari satu jam saat menggunakan gawai.
Dokter spesialis tumbuh kembang anak dan penulis buku Cerdas Memilih Mainan Anak dan Remaja, Bernie Endyarni Medise menambahkan, anak menggunakan gawai tetap diperbolehkan, tetapi harus dibatasi dan didampingi oleh orangtua atau pengasuh. Karena jika penggunaan gawai pada anak dan remaja lebih dari 4 jam sehari rentan menyebabkan mereka kecanduan gawai.
Padahal, pada masa tumbuh kembang anak itu butuh bermain dan berinteraksi dua arah, sedangkan dalam bermain gawai justru hanya bersifat satu arah. Orangtua bisa mengalihkan permainan lain yang lebih menarik bagi mereka. Bahkan, orangtua harus terlibat dalam permainan bersama anak karena sebagai stimulasi baik untuk pertumbuhan dan perkembangan perilaku si anak ke depannya.
Paparan gawai ini bersifat satu arah sehingga bisa mengakibatkan keterlambatan berbicara. Orangtua dapat mengajak untuk bermain bersama dan berkomunikasi dua arah.
”Paparan gawai ini bersifat satu arah sehingga bisa mengakibatkan keterlambatan berbicara. Orangtua dapat mengajak untuk bermain bersama dan berkomunikasi dua arah,” katanya.
Momen permainan lato-lato
Permainan lato-lato menjadi momen terbaik bagi orangtua sebagai salah satu cara untuk mengurangi anak dari ketergantungan bermain gawai. Dengan demikian, anak menjadi sedikit terhindar dari potensi negatif yang bisa dialami ketika terlalu banyak bermain gawai.
Menurut Bernie, bermain lato-lato bisa membangun interaksi sosial dengan teman-temannya. Permainan ini membutuhkan keterampilan, kemahiran khusus, dan konsentrasi penuh agar tidak membahayakan pemain ataupun teman-teman di sekitarnya.
Namun, Bernie juga mengingatkan pengawasan orangtua dalam memainkan lato-lato agar tidak secara sembarangan karena bisa melukai diri dan orang lain. Menurut dia, usia anak sekolah atau remaja, dinilai lebih siap bermain lato-lato.
”Orangtua dapat memberikan pemahaman dan edukasi akan seperti ini bahayanya atau menjelaskan cara bermain yang aman,” ujarnya.
Menurut Bernie, permainan ini agar tidak dimainkan oleh anak usia di bawah lima tahun karena perkembangan motoriknya yang belum baik. Kondisi ini akan membuat anak lebih gampang terkena cedera saat main lato-lato.
Piprim menambahkan, permainan merupakan komponen asah atau stimulasi baik kognitif maupun psikomotoriknya. Untuk itu, perlu memperhatikan berbagai aspek permainan anak terutama aspek keamanan dan edukasi sehingga tidak asal melarang atau membolehkan.