Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon khususunya dalam mekanisme perdagangan karbon dilakukan untuk mempercepat target penurunan emisi. Berbagai skema telah disiapkan termasuk metodologi hingga sertifikat.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA, MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI, ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah saat ini sedang mematangkan mekanisme perdagangan karbon terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Hal ini termasuk mempersiapkan bursa karbon yang diharapkan dapt terbentuk dalam waktu dekat.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengemukakan, Indonesia telah berkomitmen dalam mengatasi kenaikan suhu global yang dituangkan dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) Kesepakatan Paris 2015. Target penurunan emisi Indonesia sesuai penyempurnaan (enhanced) NDC yakni 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional.
“Kita berusaha keras agar emisi dari kehutanan bisa teratasi. Sebab, 60 persen emisi berasal dari sektor kehutanan dan tata guna lahan. Namun, sektor energi juga menjadi atensi pihak internasional karena 73 persen emisi gas rumah kaca global berasal dari sektor ini,” ujarnya dalam diskusi terkait perubahan iklim dan pengelolaan karbon di Jakarta, Jumat (21/7/2023).
Jika tidak ada bursa karbon, maka emisi gas rumah kaca yang diperdagangkan itu mencari jalannya sendiri.
Salah satu upaya penurunan emisi untuk mencapai target NDC ini dilakukan melalui penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK). NEK merupakan nilai terhadap setiap unit emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari kegiatan manusia ataupun ekonomi.
Penyelenggaraan NEK dilaksanakan kementerian atau lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. Adapun pelaksanaan NEK melalui empat mekanisme, meliputi perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon oleh menteri keuangan, serta mekanisme lainnya sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penyelenggaraan NEK termasuk perdagangan karbon hanya bisa dilakukan melalui Sistem Registri Nasional (SRN) Pengendalian Perubahan Iklim. Sistem ini akan terhubung dengan karbon registri yang terdapat di bursa karbon. Semua pencatatan seperti pelaku penurunan emisi hingga pembelian sertifikat emisi akan dapat dilacak atau ditelusuri melalui sistem ini.
Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan Verifikasi (MRV) KLHK Hari Wibowo menyatakan, metodologi menjadi dasar dalam memperoleh data penurunan emisi yang akurat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria metodologi ini ditetapkan oleh direktur jenderal dan Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan atau disetujui oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).
Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, telah dihasilkan 39 metodologi yang disepakati secara nasional. Metodologi tersebut meliputi sektor energi (23 metodologi), sektor kehutanan (4 metodologi), sektor limbah (8 metodologi), sektor pertanian (3 metodologi), serta sektor proses industri dan penggunaan produksi/IPPU (1 metodologi).
Menurut Hari, seluruh prosedur tersebut menjadi dasar dalam penetapan sertifikat pengurangan emisi (SPE). SPE adalah surat bentuk bukti pengurangan emisi oleh usaha atau kegiatan yang telah melalui MRV serta tercatat dalam SRN berupa nomor atau kode registri.
“Pada saat sudah terverifikasi berapa ton karbondioksida ekuivalen nantinya akan digunakan sebagai izin untuk menerbitkan SPE. Jadi, 1 ton karbondioksida ekuivalen itu tercatat dalam 1 SPE dan bila 1.000 ton tinggal dikalikan saja,” ucapnya.
Pembentukan bursa karbon
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, komitmen dalam mewujudkan perdagangan karbon melalui bursa karbon sama ambisiusnya dengan target-targat dekarbonisasi, termasuk enhanced NDC. Peraturan terkait itu segera diluncurkan.
"Konsep peraturannya dituangkan dalam Peraturan OJK yang saat ini sedang dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Kami berharap dapat difinalisasi dalam waktu dekat. Dijadwalkan semester II-2023 dan harapannya triwulan III-2023. Hingga kini semua masih sesuai jadwal," kata Mahendra, dalam diskusi terbatas yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Ia menambahkan, Indonesia perlu memiliki bursa karbon agar ada jalur yang jelas terkait perdagangan karbon di dalam negeri. Apabila tidak ada bursa karbon, hanya dua pilihannya. Pertama yakni melalui bursa karbon di negara lain. Kedua ialah dengan penjualan secara langsung, yang artinya tidak melalui proses dan legitimasi otoritas nasional.
"Jika tidak ada bursa karbon, maka emisi gas rumah kaca yang diperdagangkan itu mencari jalannya sendiri. Hal itu hanya memberi manfaat pada yang terlibat saja, tetapi tidak terhadap masyarakat serta negara, termasuk dari penerimaan pajak, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan lainnya," ucap Mahendra.
Dengan bursa karbon, perdagangan karbon akan lebih terbuka bagi semua pihak atau mereka yang hendak berkontribusi dalam mengurangi emisi GRK. Bahkan, tingkat individu ataupun retail investor bisa melakukannya. Saat bursa karbon itu direalisasikan, diharapkan upaya menekan emisi GRK bisa semakin dipacu.
Sementara itu, Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Wahyu Marjaka memaparkan, saat ini ekosistem digital dalam bursa karbon sedang dikembangkan yang terdiri dari trading engine, user management, product management, front end system, dan surrender services. Sistem digital di PT Kustodian Sentral Efek Indonesia dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) juga sedang dikembangkan.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Djoko Hendratto menyatakan, pihaknya akan mengelola dana dari perdagangan karbon. “Kami akan menyusun skema prioritas terkait pemanfaatan dana tersebut bagi pelaku perdagangan karbon. Utamanya, untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dari penerima manfaat menjadi pelaku perdagangan,” tuturnya.
Agar masyarakat, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dapat turut berpartisipasi dalam perdagangan karbon, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi menyebutkan perlu solusi dalam menekan biaya transaksi. Nantinya, UMKM dapat mentransaksikan kegiatan yang berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca.
Di sisi lain, Laporan Bank Dunia berjudul State and Trends of Carbon Pricing 2023, terdapat 73 instrumen NEK di dunia per 1 April 2023. Jumlah itu meningkat dari posisi tahun lalu yang sebanyak 68 instrumen.
Meskipun demikian, jumlah cakupan karbon dari 73 instrumen NEK itu hanya sebesar 23 persen dari emisi gas rumah kaca di dunia. Angka itu tumbuh tak sampai 1 persen dibandingkan cakupan pada 2022.