Menguatkan Feminisme Indonesia yang Plural dan Inklusif
Perkembangan zaman menuntut perempuan untuk beradaptasi. Pengetahuan perempuan terhadap sejumlah isu menjadi penting dalam rangka meningkatkan perlindungan dari berbagai kekerasan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah aktivis feminisme menggagas kegiatan Konferensi Kartini yang pertama. Hal ini diharapkan dapat membangun ruang akademik dalam bertukar pengetahuan, hasil riset, dan kajian berbagai tema feminisme Indonesia.
Berbagai isu terkait feminisme diangkat sebagai tema dalam 1st Annual Kartini Conference on Indonesian Feminisms (KCIF) 2023. Konferensi secara daring ini berlangsung Kamis (20/7/2023) hingga Minggu (23/7/2023).
Tema yang diangkat antara lain krisis ekologi, kekerasan seksual, dan kekerasan berbasis jender daring, hak dan keadilan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, keragaman jender dan seksual, pendidikan seks dan seksualitas, serta gerakan feminisme digital.
Menghadirkan Kartini di ruang seperti KCIF, kita bisa berinteraksi dengan Kartini dalam arti lebih luas.
Selain itu, tema terkait childfree (keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan mereka), gerakan perempuan adat, perempuan buruh, care work dan pekerja rumah tangga, perlindungan hak anak, dan produksi pengetahuan feminisme.
Kegiatan yang dibuka Kamis (20/7/2023) malam mengusung tema ”Merayakan dan Menguatkan Feminisme Indonesia yang Plural dan Inklusif” diselenggarakan oleh LETSS Talk (Let’s Talk about Sex n Sexualities), Konde.co, dan Padepokan Perempuan GAIA. Ada 118 judul paper dan 31 tema diskusi, yang akan mengisi sesi-sesi diskusi di dalam KCIF 2023.
Conference Chair Diah Irawaty dari LETSS Talk menyatakan bahwa KCIF ini bertujuan untuk membangun ruang dalam mengenalkan, sirkulasi dan sosialisasi pengetahuan-pengetahuan feminis, terutama hasil kajian dan riset serta kerja-kerja di lapangan, dan aktivisme berbagai tema feminisme dalam konteks Indonesia.
Selain bertukar pengetahuan hasil riset dan kajian berbagai tema feminisme Indonesia, KCIF 2023 juga menyiapkan materi untuk publikasi, baik dalam bentuk artikel jurnal, conference proceeding, maupun buku. Kegiatan ini sekaligus memediasi pertemuan dan interaksi beragam elemen feminisme Indonesia demi penguatan dan konsolidasi gerakan.
Konferensi menggunakan nama Kartini, kata Diah, Kartini merupakan sebuah obsesi pada pengetahuan. Kartini sangat terobsesi pada pengetahuan, pada pengetahuan untuk perubahan dan keadilan. Obsesinya bukan hanya untuk dirinya, melainkan Kartini meletakkan obsesinya pada perempuan, termasuk anak-anak perempuan miskin.
”Kartini bukan sekadar ikon, melainkan Kartini mempunyai posisi yang unik dalam sejarah sosial politik dan sejarah pemikiran Indonesia. Kartini memberikan gambaran betapa kompleks sejarah feminisme dalam konteks sejarah Indonesia,” kata Diah.
Bahkan, sejak dulu, Kartini menjadi rebutan, tarik-menarik kepentingan, rebutan kontestasi yang memunculkan banyak narasi tentang Kartini. Topik terkait Kartini juga menjadi diskursus yang saling bertolak belakang dan saling berkontradiksi.
”Maka menghadirkan Kartini di ruang seperti KCIF, kita bisa berinteraksi dengan Kartini dalam arti lebih luas,” kata Diah.
Diskursus media
Luviana Ariyanti, Pemimpin Redaksi Konde.co, mengungkapkan, diskursus soal media selalu menjadi perbincangan hangat. Kehadiran internet menjadi bonus digital di Indonesia dan juga dunia. Media sosial menjadi alat kampanye penyebaran feminisme walau kondisi di Indonesia saat ini, penyebaran nilai feminisme di media sosial berada di tengah situasi yang tidak mudah.
”Kami sama-sama melihat dan percaya tentang pentingnya media dalam perjuangan bersama. Media bisa menjadi ruang untuk pemikiran feminis dan menulis soal minimnya keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan di Indonesia,” kata Luviana.
Hingga kini, sejumlah media masih menjadikan perempuan sebagai obyek sensasionalisme, liputan di pusat kota lebih penting dibandingkan liputan di desa, dan daya tarik hiburan yang menjadikan perempuan sebagai obyek sensasionalisme.
Feminisme digial lahir di masa ini. Kelahirannya menunjukkan besarnya kekuatan media baru dalam menawarkan alat dan taktik baru bagi feminisme. Ketika para aktivis perempuan mengangkat kasus-kasus di media sosial dengan memakai tagar, kasus pun terekspos di tingkat nasional dan menggugah perhatian publik.
”Feminisme digital juga menumbuhkan kesadaran dalam memobilisasi publik. Ruang digital feminis juga memungkinkan para perempuan untuk bertemu dalam pertemuan-pertemuan online,” kata Luviana.
Sejarah perempuan
Pada KCIF 2023, sejumlah pembicara dihadirkan, seperti pembicara kunci Profesor Sylvia Tiwon dari Department of South and Southeast Asian Studies, University of California Berkeley, Amerika Serikat. Tiwon tampil berbicara dengan tema ”Dari Sejarah Perempuan dan Gender Nusantara ke Feminisme Indonesia yang Plural dan Inklusif” dan dipandu aktivis perempuan Myra Diarsi, Jumat (21/7/2023) pagi.
Pada sesi pleno mengangkat topik ”Kontekstualisasi Pemikiran Kartini: Dari Kritik Politik Jender Orde Baru ke Feminisme Indonesia yang Heterogen” dengan narasumber Kamala Chandrakirana (mantan Ketua Komnas Perempuan) dan Kristi Poerwandari (Guru Besar Psikologi, Universitas Indonesia).
Sejumlah pembicara juga akan tampil berbicara dalam tema ”Memfeminiskan Pemilu 2024: Problem, Agenda, Sumber Daya, dan Strategi”.
KCIF 2023 diikuti sekitar 800 peserta dengan latar belakang sangat beragam, dari Aceh hingga Papua, dan beberapa peserta tinggal di luar negeri, seperti Amerika Serikat, Inggris, Tunisia, Belanda, Jerman, Belgia, Malaysia, dan Australia. Mereka merupakan akademisi dan mahasiswa, peneliti, aktivis, ibu rumah tangga, hingga penyintas kekerasan dalam rumah tangga, dari generasi gerakan feminisme yang berbeda.