Pelajaran tentang Makna Feminisme dan Islam
Islam punya banyak cara pandang membela perempuan. Butuh peran semua pihak untuk membumikannya.
Potongan video Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf, yang berpesan agar NU tidak perlu ikut feminisme, sempat viral di media sosial. Diskursus tentang feminisme dan Islam pun kembali mencuat. Apakah kedua hal itu bertentangan atau sebaliknya?
Dalam penggalan video yang disiarkan TV NU itu, Gus Yahya, sapaannya, meminta Fatayat dan Muslimat agar tidak ikut-ikutan ideologi jender dari Barat, seperti feminisme. ”Feminisme itu ndak (tidak) tepat. Kita harus mulai dengan wawasan keagamaan yang kita miliki,” ujarnya.
Sepintas, pemimpin salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia itu menolak feminisme. ”Tetapi, kalau didengar utuh, kita akan punya pemahaman utuh. Yang jelas, Gus Yahya di sini tidak misoginis atau membenci perempuan,” ucap KH Faqih Abdul Kodir, Jumat (20/1/2023).
Baca juga : ”Feminist Story” dan NH Dini
Menurut anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia itu, Gus Yahya mengatakan itu dalam acara Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU beberapa waktu lalu. Faqih yang hadir di kegiatan itu tidak ingin menyimpulkan bahwa Gus Yahya menolak feminisme.
Justru, lanjutnya, Gus Yahya memandang perempuan sebagai manusia utuh dengan kapasitasnya dari intelektualitas, sosial, dan manajerial. Gus Yahya, misalnya, mengangkat perempuan dalam jajaran PBNU bukan karena identitas keperempuanannya, melainkan dengan alasan kapasitas.
”(Pandangan) itu, kan, salah satu bagian,atau bahkan fondasi dari feminisme,” ucap penulis buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah tersebut.
Begitu pun dengan posisi laki-laki dalam PBNU. Gus Yahya memilih mereka bukan karena berjenis kelamin pria, melainkan berdasarkan kapasitasnya.
Faqih justru memandang pernyataan Gus Yahya sebagai pengingat pentingnya akar kultural dalam menerima pemahaman dari luar, termasuk feminisme. NU sendiri, lanjutnya, memiliki akar Aswaja an-Nahdliyah yang selalu berpedoman pada ajaran Rasulullah dan para sahabat.
Ada banyak contoh ajaran Islam yang mengangkat derajat perempuan, seperti pandangan feminisme. Misalnya, kehadiran Islam yang menghapuskan budaya mengubur bayi perempuan hidup-hidup, sesuai Al Quran Surah 16 Ayat 58-59, Surah 81 Ayat 8-9, serta Surah 17 Ayat 31.
Al Quran Surah 4 Ayat 1 pun terang menjelaskan kesetaraan penciptaan laki-laki dan perempuan. Bahkan, jauh sebelum pemerintah melarang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Hadis Sahih Muslim (6.195) menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah memukul istri.
Guru Besar Ilmu Fikih Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, Nina Nurmilah dalam buku Menjadi Feminis Muslim (2022) bahkan menuliskan Nabi Muhammad sebagai feminis. Ini merujuk makna feminis yang berupaya menghapus penindasan pada perempuan.
Menurut Nina, meskipun kata feminisme lahir di Barat, secara substansi dan esensi feminisme sudah muncul sejak kehadiran Islam dan ada di belahan dunia dengan bentuk dan konteksnya.
”Jadi, mungkinkah seorang jadi Muslim sekaligus feminis? Ya, sangat mungkin,” tulisnya.
Sebab, Islam adalah agama yang mendukung keadilan dan memperjuangkan hak perempuan. ”Feminisme Muslim adalah seorang Muslim yang percaya Allah itu Maha-adil sehingga tidak mungkin firman-Nya di dalam Al Quran untuk mendukung ketidakadilan,” tulis Nina.
Menurut dia, Muslim feminis memandang pentingnya reinterpretasi ayat-ayat Al Quran dengan perspektif keadilan. Sebab, lanjutnya, tidak sedikit orang yang salah paham atau bahkan menggunakan dalil kitab suci untuk mendukung ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan.
Lihat juga : Keteguhan Mariam, Perempuan Lansia yang Melaut demi 8 Anaknya
KH Marzuki Wahid dalam tulisannya di Mubadalah.id menilai, feminisme dan NU bukanlah air dan minyak yang tidak bisa bersatu. ”Toh, banyak orang NU yang feminis dan feminis yang NU. Ini seperti air dan kopi dicampur gula aren. Artinya, dunia selalu berubah, dinamis,” tulisnya.
Menurut pendiri Fahmina Institute, lembaga yang fokus pada keadilan dan kemanusiaan, ini, tidak semua pembela kesetaraan dan keadilan jender merupakan feminis. Perempuan NU di Fatayat dan Muslimat, misalnya, selama ini juga memperjuangkan nilai kesetaraan.
Akan tetapi, perjuangan mereka, lanjutnya, harus berdasarkan pada akidah dan ajaran Aswaja an-Nahdliyah seperti yang diutarakan Gus Yahya. Meski demikian, bukan tidak mungkin feminisme dan pemikiran di NU berakulturasi dan inkulturasi demi menjawab tantangan zaman.
Mubadalah
Faqih menawarkan perspektif mubadalah (kesalingan) yang tidak langsung menggunakan feminisme, tetapi juga tidak menolak feminisme.
Mubadalah berangkat dari relasi kesalingan dan kerja sama yang adil, bermartabat, serta membawa kemaslahatan antara laki-laki dan perempuan.
Cara pandang ini menekankan ketauhidan, yakni hanya Allah SWT yang mutlak ditaati. Adapun perempuan dan laki-laki merupakan hamba-Nya. Salah satunya tidak boleh ditaati mutlak atau disembah oleh yang lainnya. Keduanya bisa menjadi subyek yang mendapatkan kebaikan.
Jika feminisme berangkat dari ungkapan, ”Ini tubuhku, terserah aku. Yang lain tidak boleh ikut campur”, mubadalah menekankan, ”Ini tubuhku, itu tubuhmu, ini tubuh kita”. ”Mari kita berelasi secara martabat, adil, dan maslahat sesuai ajaran Islam,” ucap Faqih menjelaskan mubadalah.
Perspektif mubadalah juga dapat menafsirkan ayat atau hadis secara adil. Faqih kerap mencontohkan, hadis Usamah bin Zaid ra dari Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan perempuan menjadi fitnah (ujian) paling berat bagi laki-laki. Perempuan dinilai sumber fitnah.
Padahal, kata dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini, pesona atau fitnah perempuan dalam hadis itu hanya satu contoh saja. Laki-laki juga bisa menjelma sumber fitnah. Bahkan, laki-laki bisa lebih terpesona dengan godaan kekuasaan, harta, dan lainnya.
Melalui tafsir mubadalah, Faqih menilai hadis itu mengajarkan bahwa kehidupan adalah ujian dan pesona (fitnah), baik bagi laki-laki maupun perempuan, untuk meningkatkan kebaikan serta menjaga diri dari keburukan. Hal ini tercantum dalam Al Quran Surah Al-Mulk (67) Ayat 1-2.
Selain mubadalah, terdapat juga pandangan keadilan hakiki dan makruf yang kerap didakwahkan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). KUPI memandang perempuan secara reproduksi berbeda dengan laki-laki. Mereka mengalami menstruasi, bisa hamil, dan menyusui.
Oleh karena itu, siapa pun, termasuk pemerintah, harus menerapkan keadilan hakiki bagi perempuan yang secara kodrati berbeda dengan pria. Misalnya, menjaga perempuan agar tidak menjadi korban kekerasan hingga kebijakan perusahaan untuk mewadahi perempuan saat hamil.
Adapun pendekatan makruf memandang laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan kebaikan. Misalnya, jika membersihkan rumah itu baik, maka tidak hanya perempuan yang harus mengerjakannya, tetapi juga laki-laki agar memperoleh kebaikan di dalamnya.
Artinya, Islam punya banyak cara pandang membela perempuan. Pernyataan Gus Yahya soal feminisme telah mengingatkan bahwa NU juga punya akar kultural dan pengetahuan tentang keadilan serta kesetaraan jender. Namun, butuh peran semua pihak untuk membumikannya.
Baca juga : Gerakan Kultural Progresif KUPI