Kisah-kisah yang ditulis NH Dini mencerminkan para tokohnya masuk pada ranah global. ”Pada Sebuah Kapal”, ”Keberangkatan”, dan ”La Barka” mengisahkan perempuan Indonesia dalam posisi sangat tersudut.
Oleh
HANDRY TM
·6 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
NH Dini
NH Dini adalah seorang feminist story. Di antara 20 buku yang ditulisnya, 15 judul di antaranya berupa novel, kesemuanya berkisah tentang perempuan. Dari karya pertamanya, Pada Sebuah Kapal (Balai Pustaka, 1973) hingga karya terakhir, Gunung Ungaran (Media Pressindo, 2018), bertutur tentang perempuan yang memperjuangkan hidupnya. Rata-rata novel lain memasang plot perempuan yang menegaskan bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah hak dasar yang harus diupayakan.
Pengarang novel Pada Sebuah Kapal, Keberangkatan, dan Namaku Hiroko itu tidak hanya mengarang kisah-kisah Semarang. NH Dini termasuk seorang feminist story yang karya fiksinya kerap berpihak kepada perempuan. Gaya bertuturnya linier, konstruksi perwatakan tokohnya subtil menegaskan pribadi liat. ”Ide feminisme justru memperkokoh posisi kesastrawanannya,” kata A Teeuw, kritikus sastra dan bahasa Indonesia dari Belanda. Novel-novel karya pengarang yang pernah menjadi pramugari Garuda ini terbaca sangat berwawasan. Kerap mengisahkan perempuan yang teraniaya.
Novel- novel NH Dini mencerminkan betapa kejamnya kehidupan.
Novel- novel NH Dini mencerminkan betapa kejamnya kehidupan. Hanya perempuan pemberanilah yang mampu mengarungi berbagai kesulitan (Hati yang Damai, 1961; Keberangkatan, 1977; Pada Sebuah Kapal, 1973; La Barka, 1977; Namaku Hiroko, 1977). Kisah-kisah kenangan yang di Semarang juga ditulisnya dan melegenda. Misalnya, Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Sekayu (1981), dan Tirai Menurun (1997).
Melalui fiksi, Dini ingin menyuarakan feminisme tanpa berteriak. Sikapnya seolah menangkis pendapat bahwa perempuan cukup menjadi hiasan saja, tak perlu pendidikan tinggi kecuali sekadar pendidikan rumah tangga. Hal yang lebih ekstrem pernah disuarakan Mary Wolstonecraft, tokoh feminisme gelombang pertama dari Britania Raya di abad ke-18. Melalui bukunya, Maria, of the Wrongs of Woman, disebutkan bahwa perempuan juga memiliki hasrat seksual kuat. ”Sangat tidak bermoral jika perempuan menyangkal pernyataan itu,” tulis buku tersebut.
THOMDEAN FOR KOMPAS
Poster NH Dini karya Thomdean
Diperkirakan ada 20-an buku fiksi yang telah dilahirkan. Rata-rata tercetak ulang minimal tiga kali oleh penerbitan berbeda. Balai Pustaka, Sinar Harapan, Grasindo, Gramedia Pustaka Utama, dan beberapa penerbit lain. Namun, tak satu novel pun yang dilirik industri film. Satu-satunya judul yang akan dibuat miniseri sinema adalah Pada Sebuah Kapal. Itu pun tak jadi diproduksi karena setting-nya berbiaya mahal.
”Banyak produser film belum-belum sudah ketakutan kalau saya ini pengarang yang sulit kompromi. Padahal, saya akan melepas begitu saja tafsir sutradara mengenai novel-novel yang saya tulis,” katanya dalam sebuah perbincangan.
Banyak sutradara tidak mengenal karya-karya NH Dini. Padahal, nama itu sangat dikenal di Perancis, Inggris, Belanda, dan Australia. Pada penyelenggaraan Warana Festival di Brisbane, Australia, tahun 1993, kedatangan NH Dini disambut meriah. Bahkan, diskusi kian menghangat ketika Dini berbicara. Beberapa novel Dini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Jepang.
”Saya tidak pernah berpikir karangan saya akan dibawa ke mana. Setiap hari saya menulis. Setelah tulisan jadi, ia akan mencari takdirnya sendiri ke penerbit,” kata Dini dalam sebuah wawancara.
Kisah-kisah yang ditulisnya selalu berpihak kepada perempuan. Dini juga tak dapat meninggalkan tema kemanusiaan. Ia juga mengampanyekan lingkungan hidup. Suatu kali akan kita pergoki ia tengah merawat tanaman sambil mengajak berbicara. ”Ia makhluknya Gusti Allah. Harus disapa dan dijaga kalau tidak ingin semesta ini rusak,” ucap Dini.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Diskusi mengenang karya dan kiprah Nh Dini dengan tajuk Pada Sebuah Novel” di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (19/12/2018). Acara yang digelar BBJ bersama Gramedia Pustaka Utama ini mendatangkan tiga pembicara, yaitu sastrawan sekaligus Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (alm) Sapardi Djoko Damono, Rektor Institut Kesenian Jakarta Seno Gumira Ajidarma, dan novelis Intan Paramaditha.
Beberapa judul buku bertema lingkungan hidup berjudul Langit dan Bumi Sahabat Kami dan Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979). Berkisah tentang seorang gadis kecil bernama Dini yang hidup di masa penjajahan Jepang dan Belanda. Dini memperoleh pengetahuan etika tentang kenapa Yu Kin, pembantu rumahnya, bisa hamil. Yu Saijem, pembantu lama, memberi pelajaran pertama mengenai hal itu.
Novel Padang Ilalang di Belakang Rumah berkisah masa pendudukan Jepang di Semarang. Ketika serdadu Jepang tiba, segalanya porak-poranda. Ilalang di kebun belakang rumah diobrak-abrik Jepang. Kebun yang biasanya menjadi tumpuan keluarga dirusak oleh mereka. Muncul kemudian pemberontakan Peta (Pembela Tanah Air). Dini dan keluarga memutuskan tidak mengungsi. Berhari-hari mereka diam di rumah dengan segala pertahanan yang bisa. Sampai akhirnya tentara Jepang mundur dari Semarang karena Indonesia keburu merdeka. Ketika Dini keluar untuk melihat kebunnya, ia menangis.
Warga Dunia
Kisah-kisah yang ditulis NH Dini mencerminkan para tokohnya masuk pada ranah global. Pada Sebuah Kapal, Keberangkatan, dan La Barka mengisahkan perempuan Indonesia dalam posisi sangat tersudut. Secara kultural, ia menjadi warga dunia, tinggal di banyak negara. Secara spiritual, sang tokoh tak bisa melepaskan pola pikir Tanah Airnya. Para tokoh mengurai problematika dengan mindset Indonesia. Mengudar pikiran, mengeluh pada Yang di Atas, atau sebisa mungkin mengatasi persoalan secara mandiri. Tokoh-tokoh pada novelnya menonjolkan sosok independence woman. Tokoh laki-laki seolah menjadi penghalang.
Tokoh-tokoh pada novelnya menonjolkan sosok independence woman. Tokoh laki-laki seolah menjadi penghalang.
Demikian pula yang NH Dini lakoni secara nyata. Menikah dengan Yves Coffin, seorang diplomat Perancis yang tengah bertugas di Idonesia tahun 1960. Pernikahan selama 24 tahun melahirkan dua anak, Marie Glaire Lintang dan Pierre-Louis Padang Coffin. Dini akhirnya memutuskan berpisah dengan Yves Coffin tahun 1984. Ia pulang ke Tanah Air, melanjutkan kariernya sebagai novelis. Tentang kisah perpisahan ini diulas habis pada novel La Barka (Gramedia Pustaka Utama, 1975). Tokoh sentral menggunakan nama Rina, yang menikah dengan seorang diplomat Perancis.
Di Semarang, Dini tinggal di Kampung Sekayu. Selain tetap menulis, ia mendirikan Pondok Baca NH Dini yang diperuntukkan bagi anak-anak sekolah sekitar. Ia juga aktif memberi ceramah di berbagai universitas dan komunitas sastra. Hidup seorang diri, Dini hanya bergantung pada royalty. ”Makanya, kalau ada wartawan media besar ingin wawancara, saya memasang tarif. Tidak adil setelah memuat wawancara, oplah media bertambah dan saya tidak mendapat apa-apa,” kelakarnya.
SITA NURAZMI MAKHRUFAH UNTUK KOMPAS
Diskusi untuk mengenang Nh Dini dan karyanya dihadiri oleh berbagai penulis di Intitut d Indonèsie, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2019).
Tanggal 4 Desember 2022, dunia Sastra Indonesia mengenang kembali novelis yang berpulang tahun 2018 lalu itu. Sepanjang karier, Dini memperoleh penghargaan antara lain Hadiah Seni untuk Sastra dari Depdikbud (1989), Bhakti Upapradana Bidang Sastra dari Pemerintah Provinsi Jateng (1991), Hadiah Francophonie (2008), dan Achmad Bakrie Award Bidang Sastra (2011).
Anak-anaknya tinggal di Perancis dan Kanada. Keduanya adalah Marie Glaire Lintang (lahir 1961), pernah menjadi jurnalis di harian The Windstor Star (Toronto). Kini, ia adalah seorang pengajar di University of Windstor di Ontario, Kanada. Adapun Pierre-Louis Padang Coffin lahir tahun 1967. Kini, ia seorang sutradara dan animator film di Perancis. Film terkenalnya berjudul We’re Back! A Dinosaur’s Story. Pada sebuah acara di Bali tahun 2020, Padang berpidato mengenai Sang Ibu. Bahwa Ibunya adalah orangtua yang peduli kepada anak-anak. Padang tak mengesampingkan bakat sinemanya didorong oleh sang Ibu.
”Ibu selalu mengajak saya menonton film. Namun, seorang Ibu memang ingin sang anak menjadi seperti dirinya. Karena beliau pelukis, anak-anak pun didorong untuk dapat melukis. Karya-karya Ibu memang berpihak pada feminisme. Itu pilihan yang ia ambil sejak muda.” NH Dini memang telah tiada, namun karya-karyanya masih dibaca di kalangan generasi berikutnya.