Ada 33 Pelanggaran Kebebasan Berkesenian Sepanjang 2022
Pelanggaran kebebasan berkesenian terus terjadi dan sebagian tidak terdata. Kebebasan ini penting tak hanya untuk seniman, tetapi juga publik yang mengakses seni.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Seni mencatat ada 33 pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang 2022 dan diperkirakan masih ada kasus-kasus lain yang tak terdata. Ini mencederai hak publik untuk berkesenian dan mengakses seni. Di sisi lain, kebebasan seni penting untuk memantik diskusi, berefleksi, dan membentuk masyarakat yang kritis.
Hal ini terangkum dalam riset berjudul ”Stop Stigmatisasi Seni Terus: Situasi Kebebasan Berkesenian 2022”. Hasil riset dipublikasi pada Juli 2023. Menurut riset, pelanggaran terjadi di bidang seni musik (21 kasus), tari (11 kasus), teater (5 kasus), seni rupa (4 kasus), film (2 kasus), dan sastra (1 kasus). Adapun satu kasus bisa terjadi pada lebih dari satu bidang seni.
Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya, Jumat (21/7/2023), mengatakan, salah satu penyebab pelanggaran adalah stigma negatif terhadap seni. Sebagian orang menganggap seni memicu konsumsi alkohol serta penggunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (napza).
Kegiatan seni, seperti pertunjukan organ tunggal atau musik elektronik, pun diatur secara ketat. Menurut catatan Koalisi Seni, hal ini terjadi di Sumatera Selatan. Hal ini tampak, antara lain, melalui Peraturan Kabupaten Muara Enim Nomor 06 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat.
Ada juga Peraturan Daerah Kabupaten Lahat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Hiburan Organ Tunggal, Orkes, Band, dan Hiburan Lain yang Menggunakan Alat Musik Elektronik dan Non-elektronik. Perda ini menyatakan bahwa musik organ tunggal dan remix harus berizin. Penyelenggaraannya juga terbatas hanya sampai pukul 18.00.
”Saat kami telusuri, (pertunjukan musik) dianggap tercatat sebagai wilayah yang paling tinggi kasus napzanya,” kata Ratri. ”Jika negara sedang memberantas napza, maka ini tidak bisa dilakukan dengan jalan pintas, yaitu dengan meniadakan seni. Seninya tidak salah,” tambahnya.
Sebagian orang menganggap seni memicu konsumsi alkohol serta penggunaan napza.
Ada pula peristiwa seni yang dibatasi karena dianggap vulgar atau karena melibatkan kelompok minoritas. Selain stigma, ada pula peristiwa seni yang dilarang dengan alasan memicu kerumunan saat masa pandemi Covid-19 pada tahun 2021.
Ratri mengatakan, peristiwa seni yang dilarang dengan dalih Covid-19 mencakup pentas kuda lumping dan barongsai. Hal ini dipertanyakan sebab standar protokol kesehatan yang berlaku tidak selalu konsisten. Ini membuat penyelenggara kegiatan seni bingung.
”Ada pula indikasi ’tebang pilih’. Ada peristiwa (seni) yang dilarang, tetapi kegiatan lain diperbolehkan. Padahal, acaranya diselenggarakan di tempat yang sama,” katanya. ”Saat kegiatan seni dibubarkan, sayangnya seniman tidak dapat penggantian hak atas nafkah atau remunerasi lain,” tambahnya.
Adapun hasil riset mencatat, dari 33 pelanggaran kebebasan berkesenian, ada 45 korban yang tujuh di antaranya bukan seniman. Ketujuh korban adalah mahasiswa, promotor acara, pekerja radio, dan buruh harian. Adapun korban yang dimaksud tidak selalu berupa individu, tetapi bisa jadi kelompok.
Sementara itu, tercatat ada 45 pelaku pelanggaran kebebasan berkesenian yang juga berupa individu, kelompok, atau institusi. Mereka, antara lain, adalah organisasi masyarakat, perusahaan, pejabat kampus, serta entitas pemerintah dan nonpemerintah. Hanya dua pelaku yang ditindak ke ranah hukum atas kasus kekerasan seksual.
”Kurangnya pemahaman mengenai kebebasan berkesenian di kalangan aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat membuat seniman, pekerja seni, dan penyelenggara acara seni justru lebih sering dianggap sebagai pelaku pelanggaran,” kata Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay secara tertulis.
Hak seni
Ratri merekomendasikan agar ada diskusi demokratis untuk menjembatani kasus pelanggaran kebebasan berkesenian. Namun, pemerintah mesti menjamin dan melindungi kebebasan berkesenian.
Kebebasan berkesenian dimaknai sebagai kebebasan untuk membayangkan, menciptakan, dan mendistribusikan beragam ekspresi budaya. Ini hak semua warga negara, tidak hanya seniman.
Sementara itu, ada enam hak seni yang wajib dijamin negara, salah satunya hak atas kebebasan berkarya tanpa sensor pemerintah, intervensi politik, atau intimidasi. Ada pula hak untuk bebas berpindah tempat, hak kebebasan berserikat, serta hak ikut serta dalam kehidupan kebudayaan.
Kebebasan berkesenian penting dijamin karena seni merupakan ekspresi seniman terhadap suatu isu, atau kondisi sosial, ekonomi, hingga budaya masyarakat. Refleksi seni pun dianggap sumbangan penting untuk memantik diskusi di masyarakat. Diskusi ini diharapkan membentuk masyarakat yang kritis.
Menurut anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Gietty Tambunan, kebebasan berkesenian adalah masalah masyarakat, tidak hanya seniman. Sebab, karya seni bukan sekadar sarana ekspresi diri, melainkan juga kerap media kritik dan diskusi atas beragam isu, termasuk isu yang dianggap sensitif.
”Kebebasan berkesenian sangat penting, tidak hanya untuk pelaku seni, tetapi juga untuk membangun masyarakat yang inklusif dan toleran,” katanya (Kompas.id, 11/5/2023).