Para perempuan pekerja seni dan kreatif rentan terhadap kekerasan seksual hingga pola kerja eksploitatif. Perlindungan terhadap pekerja perempuan pun perlu diperkuat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan pekerja di bidang seni dan kreatif menghadapi kerentanan berlapis, seperti kerja tanpa kontrak tertulis, eksploitasi kerja, dan kekerasan seksual. Karena itu, ekosistem seni dan kreatif yang ramah perempuan perlu dibangun.
Koordinator Peneliti Kebijakan Koalisi Seni Ratri Ninditya mengatakan, perlindungan terhadap perempuan pekerja seni masih minim. Ini karena sebagian pekerjaan mereka merupakan kerja emosional yang tidak kasatmata. Misalnya, mengelola emosi orang lain dan pribadi di lingkungan kerja.
”Di sisi lain, kerja seni tidak terdefinisi dengan baik dalam kebijakan maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia. UU (Undang-Undang) Ketenagakerjaan belum mengakomodasi kerja-kerja seni bersifat informal. UU Pemajuan Kebudayaan belum menurunkan secara spesifik hak-hak SDM (sumber daya manusia) kebudayaan sebagai pekerja seni. UU Ekonomi Kreatif juga demikian,” ucap Ratri saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (9/11/2021).
Menurut survei daring Koalisi Seni, dari tujuh aspek kerja para pekerja seni, aspek emosional dan intensitas kerja kondisinya paling buruk. Survei ini dilakukan terhadap 202 pekerja seni perempuan pada Juli 2021.
Survei juga menunjukkan lebih dari 50 persen responden bekerja tanpa kontrak tertulis. Sebanyak 41 persen responden menerima bayaran di bawah standar upah minimum regional (UMR).
Sebanyak 68 persen responden pun tidak memperoleh peningkatan kapasitas kerja. Mereka juga punya jam kerja panjang, yakni lebih dari lima hari dalam sepekan (28 persen) dan ada yang bekerja di atas 40 jam sepekan (34 persen).
Kerentanan pekerja seni perempuan juga tampak pada 25 persen responden yang pernah mengalami kekerasan dalam setahun terakhir. Kekerasan itu termasuk kekerasan fisik, pelecehan seksual, hingga perundungan. Posisi mereka kian rentan karena 82 persen responden tidak berserikat,
”Sementara itu, motivasi kerja para responden sangat tinggi. Sebanyak 98 persen mereka bekerja atas keinginan pribadi. Namun, motivasi tinggi dengan kondisi kerja yang buruk akan berakibat ke pemakluman hingga normalisasi eksploitasi di tempat kerja,” kata Ratri.
Kerja fleksibel
Menurut musisi dan anggota Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Rara Sekar, tidak sedikit pekerja kreatif yang bekerja tanpa kontrak kerja, jaminan sosial, dan kepastian karier. Mereka juga kerap mendapat upah yang rendah.
Pekerja kreatif juga kerap terjebak dengan sistem kerja fleksibel atau ia sebut flexploitation. Padahal, sistem kerja ini menuntut jam kerja yang panjang. Sistem ini juga mengaburkan waktu kerja dan istirahat.
”Kondisi kerja fleksibel yang eksploitatif ini berdampak ke kesehatan fisik dan mental para pekerja. Ini penting disuarakan, antara lain melalui serikat pekerja,” kata Rara.
Di sisi lain, sebagian perempuan memilih bekerja secara fleksibel. Salah satu alasannya karena perempuan punya tanggung jawab domestik di rumah. Perempuan pun berhadapan dengan beban kerja ganda.
Anggota Koalisi Seni, Kartika Jahja, mengatakan, tantangan lain yang dihadapi perempuan pekerja seni adalah kekerasan seksual. Korban ragu angkat bicara karena berpotensi disalahkan atau dilaporkan balik oleh pelaku.
Kondisi kerja fleksibel yang eksploitatif ini berdampak ke kesehatan fisik dan mental para pekerja. Ini penting disuarakan, antara lain melalui serikat pekerja.
Ketimpangan relasi kuasa di tempat kerja juga jadi salah satu alasan korban enggan mengadu. Perlawanan mereka terhadap kekerasan seksual yang dialami dapat berdampak ke pembangunan karier ke depan.
”Saya mendorong agar kekerasan seksual jadi perbincangan sehari-hari. Semakin banyak orang yang membicarakan ini, semakin banyak pula orang yang sadar dengan isu ini. Di sisi lain, perempuan perlu dilindungi dari konsekuensi yang ada (akibat bicara soal kekerasan seksual yang dialaminya),” kata Kartika.
Sementara itu, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Angela Tanoesoedibjo menyatakan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berpihak kepada perempuan di industri seni kreatif. Sejumlah kebijakan dan program telah disiapkan untuk menguatkan posisi pekerja seni dan kreatif.