Kasus Pelanggaran Kebebasan Berkesenian Mulai Didata
Terdapat 45 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian pada periode 2010-2020 di Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya, masih banyak kasus yang belum terdata.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku seni di Indonesia belum sepenuhnya merdeka melakukan praktik kesenian. Beberapa seniman dihadapkan, antara lain, pada pelarangan kegiatan seni dan intimidasi. Namun, kasus ini kerap tak terdata. Pendataan kasus pelanggaran kebebasan berkesenian pun mulai dilakukan melalui Kebebasanberkesenian.id.
Sistem pemantauan kebebasan berkesenian ini dibentuk oleh lembaga nirlaba kesenian Koalisi Seni dengan dukungan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Masyarakat dan pelaku seni dapat melaporkan kasus yang dialaminya di laman tersebut. Data para pelapor akan dirahasiakan.
Laman Kebebasanberkesenian.id sejauh ini memuat rekaman kasus pelanggaran kebebasan berkesenian pada periode 2021-2022. Per Rabu (10/5/2023), tercatat ada 107 peristiwa pelanggaran kebebasan berkesenian di bidang tari, film, musik, seni rupa, teater, dan sastra.
Jumlah korban pelanggaran kebebasan berkesenian mencapai 138 orang. Sebanyak 99 orang di antaranya seniman dan 39 orang non-seniman. Terdapat 162 entitas pelaku pelanggaran yang, antara lain, adalah polisi, anggota militer, dan organisasi masyarakat berbasis keagamaan.
Ada 45 kasus di periode 2010-2020. Ini hanya puncak gunung es.
”Kami membuat riset pendahuluan dengan data sekunder. Kami melakukan pemantauan media dengan membaca berita untuk mendeteksi kasus. Ada 45 kasus di periode 2010-2020. Ini hanya puncak gunung es,” kata Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay di Jakarta.
Masih banyak kasus yang belum dilaporkan ataupun terdata. Hafez mengatakan, kasus pelanggaran kebebasan berkesenian yang diberitakan selama ini baru menyangkut seniman terkenal, isu sensitif, atau kasus yang punya nilai berita tertentu.
Ada seniman-seniman lain—baik yang terkenal maupun tidak—yang mengalami hal serupa, tetapi kasusnya tidak terendus media. Laman Kebebasanberkesenian.id pun diharapkan menjadi kanal pelaporan langsung oleh seniman.
”Sesederhana apa pun masalahnya, ketika hak seniman dilanggar, itu mestinya jadi perhatian kita,” kata Hafez.
Penayangan film Kucumbu Tubuh Indahku (2019) karya sutradara Garin Nugroho pernah dilarang di sejumlah daerah, seperti Semarang, Bandar Lampung, Depok, Garut, dan Palembang. Film tentang kehidupan penari lengger ini dinilai mengandung unsur LGBTQIA.
Pada 2021, sejumlah mural dan grafiti di sejumlah daerah dihapus pihak tak dikenal. Mural dan grafiti tersebut umumnya mengandung narasi kritis seperti tulisan ”Tuhan Aku Lapar” dan ”Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit”. Narasi itu adalah ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang dianggap tidak cakap menangani pandemi Covid-19 waktu itu.
Menurut Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, ada sejumlah pihak yang berpikir bahwa bernegara mesti dilakukan dengan kontrol aparat atau pemerintah. Padahal, Indonesia dibangun atas prinsip kemerdekaan, termasuk dalam hal berkesenian.
”Hak itu tidak bisa dipisah-pisah. Saat ada pelanggaran hak kesenian, bisa saja dampaknya ke hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Anaknya tidak bisa makan dan sekolah, rumahnya tidak bisa dibayar,” ucap Isnur.
Anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Gietty Tambunan, mengatakan, kebebasan berkesenian bukan hanya masalah seniman, melainkan juga masyarakat umum. Karya seni bukan hanya sarana ekspresi diri, melainkan juga kerap digunakan sebagai alat kritik dan sarana diskusi atas beragam isu.
”Kebebasan berkesenian sangat penting, tidak hanya untuk pelaku seni, tapi juga untuk membangun masyarakat yang inklusif dan toleran,” katanya.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, advokasi dan literasi kesenian mesti dilakukan. Ia pun berencana membuat tim yang menangani pelanggaran kebebasan berkesenian.
Kebebasan berkesenian adalah konsep yang dikenalkan UNESCO pada 2005. Kebebasan berkesenian didefinisikan sebagai kebebasan untuk membayangkan, menciptakan, dan mendistribusikan beragam ekspresi budaya. Kebebasan ini juga termasuk bebas dari sensor pemerintah, intervensi politik, atau tekanan dari aktor non-negara. Hal ini juga mencakup hak semua warga negara untuk mengakses karya seni.
Kondisi kebebasan berkesenian di Indonesia mestinya dilaporkan setiap empat tahun ke UNESCO sebab Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perlindungan dan Promosi keragaman Ekspresi Budaya pada 2012. Laporan telah diberikan ke UNESCO pada 2016 dan 2020, tetapi kondisi kebebasan berkesenian belum tercantum.
Ada enam komponen kebebasan berkesenian. Pertama, kebebasan berkarya tanpa sensor atau intimidasi. Kedua, hak mendapat dukungan, jalur distribusi, dan balas jasa atas karya yang dihasilkan. Ketiga, hak kebebasan berpindah tempat. Keempat, kebebasan berserikat. Kelima, perlindungan hak sosial dan ekonomi. Terakhir, hak ikut serta dalam kehidupan kebudayaan.