Memitigasi Risiko Kegagalan Memanfaatkan Momentum Indonesia Emas 2045
Rendahnya kemampuan literasi dan numerasi siswa masih menjadi persoalan mendasar pembangunan SDM Indonesia di masa depan. Hal ini perlu segera diatasi demi memaksimalkan momentum Indonesia Emas 2045.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sumber daya manusia berkualitas menjadi modal penting memaksimalkan momentum Indonesia Emas 2045 yang didukung bonus demografi. Namun, risiko kegagalan memanfaatkan peluang itu perlu dimitigasi, salah satunya dengan meningkatkan mutu pendidikan.
Berbagai pekerjaan rumah di sektor pendidikan membayangi langkah Indonesia menyongsong 100 tahun kemerdekaannya pada 2045. Padahal, momentum ini diyakini membuka peluang kemajuan di berbagai bidang.
Rendahnya kemampuan literasi dan numerasi siswa masih menjadi persoalan mendasar pembangunan SDM di masa depan. Masalah lainnya adalah kesenjangan antardaerah, kurangnya kompetensi guru, dan minimnya infrastruktur.
”Kita harus memitigasi risiko Indonesia Emas 2045. Risikonya apa? Generasi kita tidak siap (memanfaatkan momentum). Kalau tidak siap, bagaimana mau berkompetisi? Jadi, generasinya harus disiapkan hari ini,” ujar Staf Khusus Wakil Presiden Gatot Prio Utomo, dalam diskusi kelompok terpumpun bertajuk ”Indeks Modal Manusia Indonesia” di Jakarta, Selasa (18/7/2023).
Menurut Gatot, mutu pendidikan menjadi faktor utama dalam Human Capital Index atau Indeks Modal Manusia. Sementara mutu pendidikan ditentukan banyak faktor, seperti kurikulum pembelajaran, kualitas guru, dan dukungan keluarga.
Institusi pendidikan didorong menerapkan model pembelajaran bernalar dan konseptual dengan penyampaian secara sederhana agar mudah dipahami. Hal ini untuk melatih siswa berpikir kritis dan daya analisisnya.
Sementara peningkatan kualitas guru tidak terlepas dari upaya memenuhi kesejahteraan mereka. Rekrutmennya juga juga harus memenuhi standar minimal mutu pendidik.
”Segala persoalan ini tidak bisa diurus Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi untuk menggerakkan lebih masif,” ucapnya.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden Suprayoga Hadi menyampaikan, peningkatan pemerataan layanan pendidikan berkualitas untuk mendukung peningkatan SDM harus dilakukan secara terpadu lintas kementerian dan lembaga.
Angka HTS (harmonised test scores) anak Indonesia hanya 395 dari skala 625. Sementara skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia di bawah rata-rata negara di Asia Tenggara.
Suprayoga juga menyoroti ketimpangan pendidikan antardaerah. “Rata-rata lama sekolah (data 2018) di DKI Jakarta 10,92 tahun, sedangkan di Papua 6,59 tahun. Jadi, ada gap cukup besar. Kita bisa melihat dalam konteks ketimpangan,” katanya.
Berbagai pekerjaan rumah di sektor pendidikan membayangi langkah Indonesia menyongsong 100 tahun kemerdekaannya pada 2045. Padahal, momentum ini diyakini membuka peluang kemajuan di berbagai bidang.
Kesenjangan itu berdampak terhadap terbatasnya akses pendidikan. Sementara kurang optimalnya tata kelola pendidikan berdampak pada kualitas pendidikan.
Suprayoga menambahkan, solusi terhadap akses pendidikan dihadirkan melalui bantuan pendidikan berupa bantuan operasional sekolah (BOS), beasiswa, dan afirmasi. Sementara pembangunan infrastruktur dilakukan pemerintah dengan membangun atau merenovasi sekolah, membangun jalan penghubung, dan infrastruktur pendukung lainnya.
Memprihatinkan
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek Prof Nunuk Suryani menuturkan, skor HTS Indonesia pada angka 395 memprihatinkan. Tantangan lainnya adalah mengatasi learning loss atau berkurangnya pengetahuan dalam pembelajaran akibat pandemi Covid-19.
”Ini cukup mengkhawatirkan. Bahkan, sebelum pandemi, kita sudah mengalami krisis pembelajaran,” katanya.
Menurut studi Bank Dunia, anak Indonesia kehilangan keterampilan matematika setara 11,2 bulan dan kemampuan bahasa setara 10,8 bulan. Siswa dari keluarga miskin atau berpenghasilan rendah mengalami dampak lebih parah dengan kehilangan 18,1 bulan pembelajaran matematika serta 27,2 bulan pembelajaran bahasa.
“Hasil Asesmen Nasional 2021 menyebutkan kita sudah darurat literasi dan numerasi. Satu dari dua siswa Indonesia belum mencapai kompetensi minimum literasi,” ujarnya.
Menurut Nunuk, dibutuhkan intervensi khusus untuk mengatasi berbagai persoalan dalam pendidikan. Artinya, jika tidak ada upaya luar biasa, kondisi darurat tersebut akan terus berlanjut.
Sudarmuji (35), guru kelas II Sekolah Dasar Negeri 026 Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, mengajar siswanya menulis cerita, Kamis (13/4/2023).
Kemendikbudristek menjalankan sejumlah kebijakan untuk mendukung program pendidikan. Platform Merdeka Mengajar, misalnya, menjadi instrumen bagi guru dan kepala sekolah dalam berbagi referensi pembelajaran.
”Kami mengusulkan program-program prioritas, terutama untuk meningkatkan literasi dan numerasi siswa, dalam rangka meningkatkan HTS melalui peningkatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan,” ucapnya.
Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumardiansyah Perdana Kusuma mengatakan telah terjadi bias tujuan pendidikan nasional. Menurut dia, tujuan pendidikan semestinya berangkat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
”Yang dicerdaskan kehidupan bangsa, bukan hanya intelektualitasnya. Bagaimana membangun manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas secara spiritual, sosial, dan intelektual. Faktanya, gejala umum saat ini, aspek kecerdasan hanya diukur dari nilai atau angka intelektual,” katanya.