Agar tetap sejalan dengan upaya menjaga kemerdekaan pers, Undang-Undang Pers harus menjadi roh dari regulasi ”publisher rights” yang sedang dibahas dalam penyusunan peraturan presiden.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan regulasi publisher rights atau hak penerbit perlu diprioritaskan untuk mendukung ekosistem media berkelanjutan dan jurnalisme berkualitas. Namun, regulasi berupa peraturan presiden (perpres) ini mesti menempatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rohnya agar tetap menjaga kemerdekaan pers di Tanah Air.
Pembahasan regulasi publisher rights yang sudah berada di tangan pemerintah masih berlarut-larut. Alhasil, permintaan Presiden Joko Widodo agar perpres itu rampung dalam waktu satu bulan sejak peringatan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2023 pun gagal terwujud.
Draf perpres versi pemerintah yang masih diharmonisasikan menuai beberapa catatan. Draf ini terdiri dari 19 pasal yang mengatur sejumlah ketentuan, di antaranya kerja sama perusahaan platform global dengan perusahaan pers, pembentukan komite, serta pendanaan yang diperlukan untuk penyelenggaraan tanggung jawab platform digital dalam mendukung jurnalisme berkualitas.
Dalam draf tersebut, UU Pers tidak menjadi konsiderans atau pertimbangan yang mendasari penetapan keputusan. ”Tentu kami berharap itu muncul dalam konsiderans sehingga menjadi roh dari perpres ini. Kehadiran UU 40/1999 sebagai rujukan,” ujar Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pers Asmono Wikan, di Jakarta, Senin (17/7/2023).
Substansi regulasi publisher rights itu diharapkan mengedepankan aspek kemandirian digital dan mengawal jurnalisme berkualitas. Perpres akan menegaskan kehadiran negara dalam melindungi ekosistem media digital. Kerja sama pers dengan platform tetap dibutuhkan.
”Kita berharap perpres ini memberikan keseimbangan lebih obyektif antara peran pers dan upaya mewujudkan praktik bisnis digital berkeadilan,” katanya.
Terkait pembentukan komite yang diatur dalam draf versi pemerintah, Asmono berharap hal itu ditinjau ulang. Pertanggungjawaban komite, landasan pembentukannya, dan ketentuan lainnya perlu diperjelas.
Dalam draf itu disebutkan komite terdiri atas perwakilan dari unsur Dewan Pers, kementerian, dan pakar di bidang layanan platform digital. Komite bertugas memastikan pemenuhan kewajiban perusahaan platform digital. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, komite dibantu oleh sekretariat dengan sumber daya manusia dari kementerian.
”Saya pribadi menilai hal ini butuh diramu ulang. Jangan sampai komite dan badan pelaksana ini menjadi subyek untuk tarik-menarik kepentingan,” ucapnya.
Asmono menambahkan, agar tidak kehilangan momentum, pihaknya mendorong pembentukan regulasi itu diprioritaskan. Perpres ini sekaligus mengawal karya jurnalisme berkualitas yang ikut didistribusikan oleh platform global.
Substansi regulasi publisher rights itu diharapkan mengedepankan aspek kemandirian digital dan mengawal jurnalisme berkualitas. Perpres akan menegaskan kehadiran negara dalam melindungi ekosistem media digital.
Lewat keterangan tertulis, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan menjelaskan, pembentukan task force media sustainability pada 2020 oleh Dewan Pers merupakan upaya mencari solusi atas sulitnya keberlanjutan usaha perusahaan media yang mengusung jurnalisme berkualitas. Masa depan jurnalisme berkualitas menjadi terancam karena banyak perusahaan media yang mengusungnya gulung tikar.
”Task force sudah dibentuk awal tahun 2020. Satgas itu dibentuk untuk mencari solusi atas masa depan jurnalisme berkualitas,” katanya. Salah satu tugas task force adalah menyusun draf regulasi terkait tanggung jawab platform untuk jurnalisme berkualitas.
Urgensi
Pengamat media yang juga dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta, Agus Sudibyo, mengatakan, situasi media digital di Indonesia saat ini sangat monopolistik. Sekitar 80 persen distribusi konten didominasi platform global Google dan Facebook. Kedua perusahaan itu juga menguasai lebih dari 70 persen iklan digital serta mendominasi penambangan dan pemanfaatan data pengguna.
”Salah satu urgensi dari regulasi publisher rights adalah untuk menciptakan iklim bisnis media yang kondusif,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Agus, negara harus mengendalikan monopoli itu. Sebab, hal ini telah menciptakan tekanan disrupsi pada media yang berkaitan dengan kepentingan publik dan kualitas demokrasi.
”Kalau ekonomi tidak sustain, sulit mengharapkan fungsi kontrol sosial pada media dalam demokrasi untuk mengontrol kekuasaan,” ujarnya.
Agus menambahkan, dengan kekuatan besar, platform juga perlu diberi tanggung jawab besar untuk memastikan konten yang disebarkan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, tidak memecah belah, dan tidak memuat unsur ujaran kebencian.
”Kalau dalam konteks jurnalisme, berarti sesuai dengan kode etik jurnalistik dan UU Pers,” ucapnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong menyebutkan, pembahasan perpres ”publisher rights” mempertimbangkan masukan berbagai pihak, seperti Dewan Pers dan perusahaan platform digital. Regulasi ini mengatur tanggung jawab platform digital dalam mewujudkan jurnalisme berkualitas dan bekerja sama dalam hal ekonomi dengan media-media di Indonesia.
”Perpres ini adalah upaya menciptakan lapangan pertandingan yang setara antara platform dan media. Selama ini, platform sangat mendominasi dalam penyaluran konten. Dengan terbentuknya ekosistem ini, media bisa menghasilkan produk yang berorientasi pada jurnalisme berkualitas,” ujarnya.