Asa kehadiran negara lewat regulasi ”publisher rights” yang mendukung ekosistem media massa lebih baik belum menjadi nyata.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Pidato Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Pers Nasional 2023 di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 9 Februari lalu membawa angin segar bagi insan pers Tanah Air. Di hadapan ribuan wartawan, Presiden meminta peraturan presiden (perpres) terkait publisher rights atau hak penerbit diselesaikan dalam satu bulan.
Saat itu, Presiden menyampaikan, algoritma platform digital cenderung hanya mementingkan aspek komersial. Hal ini mendorong lahirnya konten-konten recehan yang sensasional sehingga mengorbankan kualitas isi berita dan jurnalisme otentik.
Akan tetapi, lima bulan berselang, pembahasan regulasi itu tak kunjung rampung. Dorongan agar rancangan perpres ini diprioritaskan pun menguat untuk mendukung ekosistem media berkelanjutan dan jurnalisme berkualitas.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu berharap momentum tersebut tidak terganggu oleh berbagai hal, terlebih saat ini mendekati Pemilu 2024. ”Mengapa perlu diprioritaskan? Ini sesuai semangat Bapak Presiden sejak 2020 dan dikuatkan lagi dalam pidato beliau pada Hari Pers Nasional 9 Februari 2023 yang meminta publisherrights itu diselesaikan dalam satu bulan. Berarti ini ada keterlambatan sehingga perlu percepatan secara optimal sebagai prioritas regulasi,” ujarnya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (14/7/2023).
Menurut Ninik, percepatan pengesahan perpres ini sekaligus untuk mengawal karya jurnalistik berkualitas yang juga ikut didistribusikan oleh platform digital global. Apalagi menjelang pemilu masyarakat memerlukan berita serta informasi akurat dan bermutu.
”Jangan sampai masyarakat memperoleh informasi hoaks apalagi sampai menyebabkan disintegrasi bangsa. Pengaturan ini niat utamanya adalah agar negara hadir dalam memenuhi hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan kredibel untuk membangun situasi yang kondusif dalam rangka jurnalisme berkualitas,” ujarnya.
Ninik menuturkan, regulasi publisher rightsdibutuhkan dalam menjaga kedaulatan dan kemandirian digital yang dikawal oleh pemerintah dan Dewan Pers. Substansi draf perpres yang diharapkan mengedepankan aspek kemandirian digital dan mengawal jurnalisme bermutu.
”Perpres ini sebagai cara menghadirkan negara untuk memastikan bahwa media kita mendapatkan keadilan dari penghasilan yang selama ini belum dirasakan,” katanya.
Dewan Pers meminta perpres tersebut tetap mendasarkan pada Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan demikian, tata kelola tentang penyelenggaraan publisherrightsuntuk jurnalisme berkualitas tetap dalam bingkai UU Pers.
Ninik menambahkan, pada 17 April 2023, telah ada kesepakatan terhadap draf perpres publisherrights. Hampir semua kementerian dan lembaga terkait hadir dalam pertemuan membahas draf itu.
”Mestinya hasil itu langsung ke Setneg (Sekretariat Negara). Sudah tidak perlu lagi melakukan harmonisasi. Namun, pemerintah memiliki kebijakan lain. Dari Kemenko Polhukam dikirim lagi ke Kementerian Hukum dan HAM. Dibahas lagi,” katanya.
Tidak baik-baik saja
Anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli, mengakui pers nasional tidak sedang baik-baik saja. Ia pun percaya kerja sama pers dengan platform digital tetap diperlukan. Kemerdekaan pers harus dijaga dan tidak begitu saja diatur oleh platform lantaran posisi pers nasional yang lemah.
Regulasi publisher rights akan mengirimkan pesan bahwa negara menghargai jurnalisme berkualitas. Hal ini butuh dibarengi dengan upaya media memproduksi berita berkualitas yang tidak berorientasi clickbait.
Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa menyampaikan, sikap pihaknya sejalan dengan Dewan Pers. ”Tidak mungkin UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers itu diabaikan. Jangan lagi kita mundur ke masa lalu sehingga pemerintah bisa masuk mengendalikan pers,” katanya.
Kehadiran regulasi publisher rights diharapkan menciptakan ekosistem yang adil bagi penerbit atau media. Sebab, selama ini, distribusi konten didominasi oleh perusahaan platform.
Alhasil, konten berita dengan judul clickbait atau umpan klik dan bombastis membanjiri media daring demi mengejar trafik tinggi. Tidak jarang hal ini menghasilkan informasi yang belum terverifikasi.
Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut mengatakan, regulasi publisher rights akan mengirimkan pesan bahwa negara menghargai jurnalisme berkualitas. Hal ini butuh dibarengi dengan upaya media memproduksi berita berkualitas yang tidak berorientasi clickbait.
”Upaya menghadirkan regulasi ini adalah investasi pada media untuk memproduksi konten berkualitas. Bagi publik, hal ini agar masyarakat mendapat informasi yang akurat,” katanya.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong mengatakan, penyusunan perpres publisher rights mempertimbangkan masukan berbagai pihak, seperti Dewan Pers dan perusahaan platform digital. Regulasi ini mengatur tanggung jawab platform digital dalam mewujudkan jurnalisme berkualitas dan bekerja sama dalam hal ekonomi dengan media-media di Indonesia.
”Kalau ditanya sampai di mana pembahasannya, sudah di tingkat finalisasi. Dalam waktu dekat akan diserahkan ke Setneg,” katanya.
Ketidakadilan ekosistem digital memicu maraknya berita berorientasi sensasi. Media berlomba-lomba mengejar jumlah klik demi memperbesar peluang mendulang pendapatan dari iklan. Tanpa kehadiran negara lewat regulasi yang mendukung media berkelanjutan, upaya memproduksi konten berkualitas akan semakin diabaikan.