Organisasi Profesi Siapkan Uji Materi UU Kesehatan
Materi gugatan untuk uji materi ke Mahkamah Konstitusi tengah disiapkan oleh sejumlah organisasi profesi kesehatan atas Undang-Undang Kesehatan. Pembahasan dari undang-undang tersebut dinilai tidak sesuai prosedur.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi profesi kesehatan tengah menyiapkan materi gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Kesehatan. Selain mengkaji substansi yang tidak sesuai kepentingan kesehatan masyarakat, organisasi profesi kesehatan juga menginventarisasi sejumlah kerugian yang mungkin timbul akibat disahkannya undang-undang tersebut.
”Atas dasar kajian yang sudah kita lakukan berkaitan dengan unprosedural process (proses tidak sesuai prosedur) dan substansi yang belum mencerminkan kepentingan kesehatan rakyat, kami dari IDI (Ikatan Dokter Indonesia) bersama empat profesi kesehatan lain akan mengajukan judicial review (uji materi) ke MK (Mahkamah Konstitusi),” ujar Ketua Umum Pengurus Besar IDI Moh Adib Khumaidi di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Menurut Adib, pembuatan Undang-Undang Kesehatan ini tidak mencerminkan kepentingan partisipasi yang bermakna serta memperhatikan aspirasi semua kelompok, termasuk kelompok profesi kesehatan. Proses pembuatan undang-undang ini juga tidak dilakukan secara transparan.
Ia menambahkan, proses pembahasan UU Kesehatan juga dinilai tergesa-gesa. Setidaknya waktu pembahasan yang dibutuhkan hanya sekitar enam bulan. Padahal, undang-undang yang disusun dengan metode omnibus ini mencabut sembilan undang-undang eksisting.
”Kita melihat ketergesa-gesaan, keterburu-buruan. Apakah kemudian ada konsekuensi karena kepentingan-kepentingan lain? Apakah benar UU Kesehatan ini bisa mewujudkan transformasi kesehatan?” tutur Adib.
Ia pun mempertanyakan keberpihakan UU Kesehatan terhadap kesehatan rakyat di Indonesia serta keberpihakan pada sumber daya manusia medis dan tenaga kesehatan. Dari substansi yang termuat dalam UU tersebut justru dinilai kurang memperlihatkan dukungan pemerintah pada akses dan jaminan pembiayaan kesehatan. Itu terutama dengan dihilangkannya belanja wajib (mandatory spending) kesehatan.
”Hal ini bisa membawa konsekuensi pada ketahanan kesehatan bangsa. Poin-poin krusial dalam UU ini sangat penting untuk kita perhatikan. Kita juga harus terus mengawasi pelaksanaan UU Kesehatan ini supaya benar-benar bisa mencerminkan kepentingan kesehatan rakyat,” ucap Adib.
Secara terpisah, Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari yang juga tergabung dalam Jaringan Pengendalian Tembakau menuturkan, pengesahan UU Kesehatan menimbulkan kekecewaan bagi sejumlah pihak, terutama yang mendukung penuh upaya pengendalian tembakau. Substansi yang terdapat di UU Kesehatan yang baru disahkan ini tidak menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengendalikan dampak buruk rokok, terutama terkait aturan iklan, promosi, dan sponsor produk rokok.
Upaya untuk mengajukan uji materi ke MK pun mungkin akan dilakukan. ”Sebelum judicial review ke MK kami akan advokasi dan kawal dulu PP (peraturan pemerintah) turunannya. Pada berbagai kesempatan Menteri Kesehatan sampaikan akan memasukkan pasal pelanggaran iklan rokok di PP. Kita kawal bersama,” ujarnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat paripurna di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (11/7/2023), mengatakan, pengesahan UU Kesehatan sepatutnya menjadi dasar dalam transformasi kesehatan nasional. Undang-undang tersebut akan menjadi awal untuk membangun kembali sistem kesehatan yang lebih baik tidak terkecuali di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.
Terkait penghapusan belanja wajib kesehatan, juru bicara Kementerian Kesehatan M Syahril menyampaikan, pemerintah berencana akan mengubah mekanisme belanja kesehatan tersebut menjadi anggaran berbasis kesehatan. Adanya belanja wajib kesehatan selama ini tidak menunjukkan kualitas atas hasil penggunaan anggaran kesehatan.
”Tidak adanya persentase angka di dalam UU Kesehatan bukan berarti anggaran itu tidak ada, tetapi tersusun dengan rapi berdasarkan dengan rencana induk kesehatan dan berbasis kinerja,” katanya.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Edy Wuryanto mengatakan, UU Kesehatan telah mempertimbangkan adanya keberpihakan pada tenaga kesehatan. Keberpihakan tersebut ditunjukkan dengan adanya keadilan restoratif (restorative justice) dalam menyelesaikan perkara dari tenaga kesehatan.
Apabila ada tenaga kesehatan ataupun tenaga medis yang melanggar dan berpotensi pidana, majelis disiplin akan terlibat terlebih dahulu. Majelis disiplin yang berada di bawah konsil kesehatan akan mengakomodasi penyelesaian perkara sebelum pidana.
”Jadi kalau ada nakes yang berurusan dengan hukum sebelum masuk tahap penyidikan, maka aparat penegak hukum meminta rekomendasi majelis disiplin. Adanya klausul terkait hal ini menyebabkan tenaga kesehatan atau tenaga medis memiliki imunitas,” ujarnya.