Komitmen pemerintah dalam melindungi masyarakat, terutama anak-anak dari dampak buruk rokok tidak terlihat dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Sejumlah pihak meminta pembahasan RUU itu tidak dilanjutkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan seharusnya bisa menjadi momentum untuk memperkuat upaya pemerintah dalam mengendalikan dampak buruk produk tembakau. Namun, komitmen tersebut tidak terlihat dari pembahasan yang berlangsung saat ini. Itu sebabnya, sejumlah pihak menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesehatan.
Setidaknya ada 30 organisasi masyarakat yang tergabung dalam koalisi perlindungan masyarakat dan produk zat adiktif tembakau yang menolak RUU Kesehatan yang menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Selain karena minimnya pelibatan partisipasi publik, RUU Kesehatan tersebut juga tidak memperlihatkan komitmen pemerintah dalam melindungi masyarakat dari dampak buruk produk tembakau.
”Saya tidak keberatan dengan adanya undang-undang omnibus untuk membenahi kesehatan yang belum diatur dalam undang-undang yang ada sekarang, termasuk soal perlindungan masyarakat terhadap iklan rokok dan zat adiktif. Namun, hal itu ternyata tidak juga ada dalam pembahasan RUU Kesehatan sekarang ini,” kata Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany di Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Menurut dia, undang-undang seharusnya dibentuk untuk memenuhi kepentingan masyarakat, termasuk untuk melindungi masyarakat dari bahaya bahan-bahan zat adiktif seperti rokok. Pemerintah dan DPR harus berkomitmen untuk membuat aturan yang bisa melindungi masyarakat luas dari bahaya rokok, bukan melindungi industri rokok ataupun industri lainnya yang berkaitan dengan rokok, baik rokok konvensional maupun rokok elektrik.
Itu sebabnya, kata Hasbullah, apabila regulasi yang akan dibentuk tidak mampu mengatur perlindungan masyarakat dari ancaman rokok, sebaiknya pembahasan dari regulasi itu tidak dilanjutkan. ”Kami mendesak pemerintah tidak memaksakan pengesahan RUU Kesehatan. Undangkanlah jika rakyat telah mendapat perlindungan yang jelas,” tuturnya.
Pemerintah dan DPR harus berkomitmen untuk membuat aturan yang bisa melindungi masyarakat luas dari bahaya rokok, bukan melindungi industri rokok ataupun industri lainnya yang berkaitan dengan rokok, baik rokok konvensional maupun rokok elektrik.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Manajer Program Indonesia Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Ni Made Shellasih. Aturan yang lebih kuat terkait pengendalian tembakau diperlukan mengingat aturan terkait yang ada saat ini sudah tidak relevan. Salah satu aturan pengendalian tembakau yang berlaku kini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Ia menuturkan, peraturan itu sudah berusia lebih dari 10 tahun. Sementara itu, perkembangan dan inovasi yang dilakukan oleh industri rokok terus berkembang sehingga aturan tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi di masyarakat.
”Kami sebelumnya berharap RUU Omnibus Law Kesehatan menjadi salah satu inovasi atau perubahan dalam penguatan kebijakan pengendalian rokok. Namun, dari DIM (daftar inventarisasi masalah) tidak ada perubahan signifikan dari kebijakan sebelumnya. Artinya, kebijakan ini tidak seimbang dengan perkembangan industri rokok,” ujar Shellasih.
Ia mengatakan, penguatan pada aturan pengendalian tembakau, termasuk aturan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok sangat diperlukan karena konsumsi rokok di masyarakat terus meningkat. Peningkatan yang signifikan juga terjadi pada perokok anak dan remaja.
Riset Kesehatan Dasar pada 2018 melaporkan, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun sebesar 9,10 persen. Angka itu meningkat dari 2013 yang dilaporkan sebesar 7,20 persen. Jika tidak ada intervensi yang berarti, jumlah perokok anak diperkirakan akan terus meningkat menjadi 15,95 persen pada 2030.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, pembatasan terkait iklan, promosi, dan sponsor rokok akan tetap diatur. Akan tetapi, aturan terkait hal itu akan masuk pada aturan turunan yang rencananya akan diusulkan dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012.
”Kita hanya akan mengatur yang umum di RUU (Kesehatan). Aturan teknis termasuk soal iklan akan diusulkan dalam revisi PP No 109/2012,” ucapnya.
Direktur Program Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani menyampaikan, aturan pengendalian iklan, promosi, dan sponsor rokok seharusnya masuk dalam RUU Kesehatan bukan pada aturan turunan. Menurut dia, apabila pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok diatur pada aturan turunan, kekuatan terkait aturan tersebut akan lemah.
”Tidak bisa jika alasannya karena aturan iklan, promosi, dan sponsor rokok merupakan aturan teknis karena buktinya banyak juga aturan teknis seperti sertifikasi tenaga kesehatan diatur di RUU ini. Pemerintah dan DPR sepertinya bukan tidak paham, tetapi tidak peduli untuk melindungi masyarakat,” ujarnya.