Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah Dibuat Menyenangkan
Budaya pendidikan baru yang menguatkan kemanusiaan dan produktivitas perlu dibangun dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat diwujudkan dengan terus menghadirkan secara merata sekolah yang menyenangkan dan membahagiakan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Awal tahun ajaran baru 2023/2024 sudah dimulai pekan ini pada 10 atau 12 Juli di sejumlah daerah dan sebagian lagi baru dimulai pekan depan. Masa dimulainya tahun ajaran baru yang dibuka dengan masa pengenalan lingkungan sekolah perlu terus didorong agar dijalankan dengan budaya baru guna menghadirkan lingkungan sekolah yang positif.
Ajakan untuk membangun budaya baru dalam pelaksanaan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) menyenangkan terus digemakan komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang menyebar di lebih dari 14 daerah dan terus bertambah. ”Gerakan MPLS menyenangkan untuk menyambut tahun ajaran baru tidak sebatas program rutin, namun dapat dimanfaatkan juga untuk melawan kasus kekerasan atau bullying di sekolah. Termasuk juga untuk pengembangan diri siswa agar optimal ke depannya,” kata pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal, dalam acara Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) Menyenangkan dalam Membangun Budaya Meraki yang digelar Yayasan Sekolah Menyenangkan, Rabu (12/7/2023).
Rizal memaparkan, MPLS Menyenangkan diluncurkan dalam rangka membangun budaya meraki (dari bahasa Yunani berarti cinta, jiwa, kreativitas) untuk menciptakan budaya baru dalam dunia pendidikan. ”Biasanya MPLS sebagai sarana bagi siswa baru untuk mengenal lingkungan sekolah yang baru. Namun, kita juga bisa membalikkannya, bagaimana justru sekolah, guru, hingga kakak kelas mengenal para siswa baru. Mengenali tampak sederhana, tapi bermakna fundamental dari kemanusiaan,” kata Rizal yang juga dosen di Universitas Gadjah Mada.
Banyak hal kreatif yang bisa dilakukan di masa MPLS.
Menurut Rizal, momentum MPLS bisa dipakai untuk memperkuat budaya baru yang dapat memperkokoh transformasi pendidikan menuju pendidikan yang memanusiakan manusia dengan kekuatan gerakan bersama atau gotong royong. Sayangnya, selama ini perubahan pendidikan selalu didekati dengan perubahan struktural lewat kebijakan seperti perubahan kurikulum atau program-program unggulan sekolah penggerak ataupun guru penggerak.
Pendidikan di sekolah, ujar Rizal, harus bisa mendorong guru melakukan tugasnya dengan cinta, sepenuh jiwa, dan kreatif sehingga memberi ruang untuk menerima siswa yang berbeda-beda dan mendukung mereka berkembang sesuai potensi dirinya. ”Jika hal-hal fundamental pendidikan tidak dibenahi, dunia pendidikan tidak bisa menyumbang untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, peningkatan emosi prososial (empati, persahabatan, welas asih) yang fundamental dalam diri manusia,” ujarnya.
Kreativitas
Berbagai kreativitas pelaksanaan MPLS baik untuk siswa baru maupun siswa kelas atas diluncurkan oleh para guru GSM demi membangun budaya meraki dalam pendidikan. Ada kegiatan MPLS dengan ”kostum mimpi” yang dilaksanakan di SMPN 3 Katingan, Kalimantan Tengah, untuk memberikan ruang bagi siswa menjadi diri mereka. Program ini mengajak siswa untuk hadir ke sekolah dengan memakai kostum profesi yang mereka dambakan di masa depan sambil memaparkan mengapa mereka punya impian tersebut. Ada siswa yang memakai kostum petani, guru, dokter, dan banyak lagi sesuai impian mereka.
”Dengan memberi ruang bagi siswa mengenal bakat-minat, siswa memiliki cinta, jiwa, dan kreativitas untuk mewujudkannya. Dampaknya bisa luar biasa, yang akan diingat siswa ke depan, lalu guru dan sekolah punya komitmen bersama untuk menghadirkan pendekatan pembelajaran yang dapat mendukung mimpi tiap siswa,” kata Rizal.
Ada juga MPLS untuk mengenal lingkungan sekolah dengan tema treasure hunt atau perburuan harta karun. Siswa diajak melakukan misi sambil betualang di sekolah guna mengenal lebih dekat lingkungan dan budaya sekolah.
Pengenalan diri, teman, dan guru dilakukan lewat kegiatan buddy program, yaitu kakak kelas, guru, dan warga sekolah menyambut kehadiran para siswa baru dan memperkenalkan sekolah mereka. Bisa juga membuat galeri diri siswa dan guru dengan membawa foto kesukaan mereka dan menceritakan kenapa memilih foto tersebut sebelum ditempel dengan metode circle time.
Shinta Wulandari Irawan, guru SDN Karangmloko 2, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan, siswa baru kelas I SD yang mengalami transisi dari TK ke SD memiliki MPLS yang panjang selama dua minggu. Kegiatan dibuat menarik dengan menggelar MPLS kreatif, salah satunya dengan memberi tema.
Pada hari pertama sekolah, MPLS diberi nama Senin Menyapa (Siapa Kamu?) yang melibatkan orangtua dengan adanya kegiatan wali murid, seperti upacara, penyerahan siswa dari komite ke sekolah, penyampaian program sekolah, dan penyampaian harapan pada sekolah. Selain upacara, ada pula ice breaking dan motivasi siswa, perkenalan dengan teman, buddy program dengan bantuan siswa kelas VI, serta membuat identitas diri.
Kegiatan hari Selasa bertema Jalan Yuk (tur sekolah), selanjutnya Rabu Mandiri (termasuk berlatih menggunakan toilet dan mengikat tali sepatu), Kamis Berbudi (pengenalan adab di sekolah, mulai dari menyapa hingga membuang sampah), serta Jumat Sehat dan Bersih. ”Seminggu ke depannya juga bisa terus dikembangkan hingga kegiatan mengenal budaya di sekitar hingga bisa melakukan pawai. Banyak hal kreatif yang bisa dilakukan di masa MPLS,” kata Shinta.
Rizal mengatakan, sekolah harus berorientasi membahagiakan, terlepas apa pun kurikulum yang diterapkan. Kurikulum dinilai sebagai alat bantu. ”Yang paling penting pelaksana kurikulum, yakni guru yang punya cinta, jiwa, dan kreativitas,” katanya.
Hadirnya sekolah yang membahagiakan anak dapat mengatasi masalah kekerasan dan perundungan dengan menguatkan budaya. Pola pikir bertumbuh atau growth mindset siswa juga berkembang dan pada akhirnya mendukung produktivitas bangsa.
”Sekolah yang menyenangkan itu untuk membangun kesadaran diri. Indikatornya sederhana, bisa terlihat apa siswa senang di sekolah atau ingin cepat pulang. Ketika guru mengajar, siswa berebutan bertanya atau diam. Lingkungan sekolah menjadi rasa aman untuk menjadi diri sendiri dan bereksplorasi, dinamis dengan membuat proyek dan karya serta menciptakan kepemilikan dan pelibatan kelas. Guru tidak mengajar hafalan, tapi mencoba proses belajar bertanya dan mengeksplorasi, bukan mengajari,” tutur Rizal.
Budaya baru dalam pendidikan dengan semangat meraki serta memanusiakan manusia diyakini dapat membunuh ”sel” kekerasan. Namun, sekolah tidak boleh membunuh kodrat manusia yang memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, dan menghargai perbedaan/keragaman.
Memperkuat karakter
Secara terpisah, Direktorat Sekolah Menengah Pertama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendukung terwujudnya MPLS yang dapat menumbuhkan karakter dengan nilai-nilai Pancasila pada peserta didik. Di webinar bertajuk ”MPLS Menuju Profil Pelajar Pancasila”, Pelaksana Tugas Direktur Sekolah Menengah Pertama I Nyoman Rudi Kurniawan mengatakan bahwa MPLS merupakan upaya yang dilakukan secara bersama dan konsisten oleh Kemendikbudristek, dinas pendidikan, dan satuan pendidikan dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman untuk belajar.
”MPLS merupakan laboratorium awal untuk mengenalkan hakikat sekolah pada peserta didik,” kata Nyoman. Ia juga menjelaskan bahwa pada pelaksanaan MPLS tidak boleh ada praktik-praktik kekerasan. Hal tersebut sebagaimana tertuang pada Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah bagi Siswa Baru.
Lebih lanjut, ia memaparkan tujuan dari pelaksanaan MPLS, yaitu agar satuan pendidikan dapat mengetahui atensi dari siswa baru, membantu siswa baru untuk beradaptasi di lingkungan sekolah, menumbuhkan motivasi pada siswa baru, serta mengembangkan interaksi positif antara peserta didik dan warga sekolah lainnya.
”Selain itu, MPLS juga bertujuan untuk menumbuhkan sifat kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati keberagaman, menumbuhkan sifat kedisiplinan, hidup bersih, dan sehat pada diri siswa sehingga dapat mewujudkan peserta didik yang memiliki integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong,” ujar Nyoman.
Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah DKI Jakarta Sutresno yang juga Kepala SMPN 284 Jakarta memaparkan kegiatan-kegiatan yang dilarang dilakukan pada saat pengenalan lingkungan sekolah. Kegiatan dimaksud seperti memerintahkan siswa baru untuk melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat, memberikan hukuman tidak mendidik yang bersifat fisik atau mengarah pada tindak kekerasan, dan aktivitas lain yang tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran.
”Yang terpenting dalam kegiatan MPLS adalah menyenangkan bagi siswa baru sehingga dapat memberikan motivasi untuk mengikuti kegiatan pembelajaran selanjutnya,” ujar Sutresno.