Pendidikan yang menyenangkan dan memberi ruang ekspresi kepada peserta didik dikembangkan di negara-negara maju. Saatnya pendidikan Indonesia mempraktikkan pembelajaran yang menyenangkan bagi anak.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik sekolah yang menyenangkan dan memberikan ruang ekpresi kepada siswa tanpa rasa takut terus didorong. Pendidikan seharusnya memastikan semua anak bangsa merasakan kemerdekaan yang sebenar-benarnya dalam belajar dan menggapai cita-cita.
Dalam webinar publik menyambut hari pendidikan nasional, bertajuk Berbagi Praktik Baik di Inggris dan Indonesia, Selasa (2/5/2023), Desmaliza, mahasiswa S-3 bidang Pendidikan di University of Manchester, menuturkan, siswa di Indonesia cenderung takut berbicara dan berbeda pendapat karena guru kurang bersikap terbuka terhadap kritik.
”Hari Pendidikan Nasional ini harus jadi momentum untuk seluruh pendidik memperbaiki diri. Para guru harus mau menanggapi pendapat, kritik, dan pertanyaan dari para muridnya dengan lebih sabar dan terbuka,” kata Desmaliza.
Webinar ini digelar oleh Kluster Education Doctrine-UK (organisasi untuk seluruh mahasiswa doktoral Indonesia dari berbagai universitas di Inggris Raya) bekerja sama dengan Kelas Kreatif Indonesia. Desmaliza kini sedang melakukan penelitian tentang praktik pendidikan menengah di Indonesia.
Perbincangan tentang sekolah menyenangkan, salah satunya terkait dengan pemberian pekerjaan rumah (PR) oleh guru kepada siswa. Menurut para diaspora Indonesia yang kuliah dan juga menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah anak usia dini hingga pendidikan menengah di Inggris, salah satu yang membuat para siswa di Inggris betah bersekolah karena guru tidak banyak memberikan PR kepada para siswa.
”Sekolah memberikan PR, tetapi sedikit sekali. Mereka fokus pada kegiatan pembelajaran di sekolah. Anak-anak didorong belajar sebanyak mungkin di sekolah sehingga di rumah lebih rileks,” kata Corry Caromawati, mahasiswa doktoral bidang pendidikan di University of Leeds.
Corry menuturkan, kedua anaknya yang mengenyam pendidikan sekolah dasar di Inggris hanya mendapatkan PR satu kali seminggu. Itu pun PR-nya adalah membaca buku sesuai dengan kemampuan literasi siswa.
Desmaliza menambahkan, begitu masuk ke jenjang sekolah menengah, guru baru memberikan PR lebih banyak kepada para siswa. Putranya yang sedang menempuh kelas X (setara SMA) mendapatkan PR yang bersifat project based learning atau pembelajaran berbasis proyek, bukan hafalan.
”Orangtua diberikan aplikasi untuk memantau apakah putra-putrinya sudah mengerjakan PR, dan sejauh mana capaian mereka,” ujar Desmaliza.
Sekolah memberikan PR, tetapi sedikit sekali. Mereka fokus pada kegiatan pembelajaran di sekolah.
Sementara itu, Yais Gumbira Buanawaty, Guru SD Gagas Ceria Bandung menuturkan, saat ini sekolahnya pun sudah tidak membebani para siswa dengan PR. Para guru menerapkan Kurikulum Merdeka yang memberikan keleluasaan untuk anak belajar.
”Sekolah kami juga lebih banyak memberikan pembelajaran melalui project based learning, dan memperbanyak kegiatan di luar kelas agar anak tidak jenuh,” kata Yasi yang juga penggiat Kelas Kreatif tersebut. Ia berharap semua sekolah di Indonesia menerapkan pembelajaran yang lebih menyenangkan untuk para peserta didik.
Selain PR yang tidak terlalu banyak, salah satu keunggulan sistem pembelajaran di Inggris adalah para siswa diberikan kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. ”Anak-anak diberikan hak untuk bersuara, mereka tidak dilarang untuk kritis berpendapat. Selain itu, mereka diajarkan menghargai perbedaan agama, ras, tanpa didoktrin oleh sekolah,” ujar Corry.
Punya motivasi
Secara terpisah, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Lucia RM Royanto, mengatakan, pendidikan penting untuk membantu siswa menjadi sosok yang memiliki growth mindset. Dengan demikian, setiap siswa memiliki motivasi dan keinginan yang kuat untuk berprestasi, tidak mudah menyerah, dan senantiasa berusaha jika mendapat tantangan sulit.
”Tidak hanya growth mindset, tingginya sikap resiliensi juga memaksimalkan pembentukan generasi unggul Indonesia,” kata Lucia.
Resiliensi pada individu, jelas Lucia, merupakan kapasitas untuk bangkit ketika jatuh, tidak terpaku pada kegagalannya. ”Seseorang yang resiliens dapat dipadankan dengan karet elastis yang kalau kita tarik, dia akan kembali lagi ke bentuk awalnya. Mahasiswa juga diharapkan seperti itu, ketika mengalami ketegangan karena mengerjakan tugas yang sulit atau misalnya mengerjakan skripsi, maka setelah itu segera cepat dapat menyesuaikan dirinya kembali, tidak kalah dengan keadaan,” kata Lucia.
Lucia mengatakan, generasi muda perlu senantiasa berpikir positif dan optimistis dalam melihat dunia sehingga dapat terus menggali potensi melalui pendekatan skolastik ataupun non-skolastik. ”Di masa pendidikan, upayakan untuk para pelajar dapat mengeksplorasi minat dan bakat sebanyak mungkin, seperti belajar musik, olahraga, bahasa, dan sebagainya. Terus gali potensi karena mungkin saja ada bakat terpendam yang akan diketahui setelah melakukannya,” ujar Lucia.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, perjalanan dan perjuangan untuk mewujudkan Merdeka Belajar yang sudah mulai membawa perubahan harus diteruskan agar semua anak bangsa merasakan kemerdekaan yang sebenar-benarnya dalam belajar dan menggapai cita-cita.
”Kita ingin mendidik generasi Pelajar Pancasila yang cerdas dan berkarakter, dan membawa Indonesia melompat ke masa depan dengan pendidikan yang memerdekakan,” ujar Nadiem.