Dampak Perubahan Iklim di Bawah Tanah Mengintai Kota-kota Besar
Bahaya sunyi mengancam kota-kota besar di dunia karena dampak pemanasan global pada tanah dan bangunan kita tidak dirancang untuk menanganinya.
JAKARTA, KOMPAS — Ilmuwan menemukan keterkaitan perubahan iklim terhadap pergeseran tanah di bawah perkotaan akibat kenaikan suhu. Tanah yang memanas berubah bentuk sehingga bisa menyebabkan fondasi bangunan dan tanah di sekitarnya bergerak secara berlebihan dan bahkan retak. Kondisi ini pada akhirnya memengaruhi kinerja dan daya tahan operasional struktur dalam jangka panjang.
Studi baru yang dipimpin ilmuwan dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat, ini dipublikasikan di Communications Engineering, bagian dari jurnal Nature, pada Selasa (11/7/2023). Ini merupakan studi pertama yang mengukur deformasi tanah akibat pulau panas di bawah permukaan dan pengaruhnya terhadap infrastruktur sipil.
”Perubahan iklim bawah tanah adalah bahaya diam-diam,” kata Alessandro Rotta Loria dari Universitas Northwestern, yang memimpin penelitian tersebut, dalam keterangan tertulis. ”Tanah berubah bentuk akibat variasi suhu dan tidak ada struktur atau infrastruktur sipil yang dirancang untuk menahan variasi ini. Meskipun fenomena ini tidak berbahaya bagi keselamatan manusia, hal itu akan memengaruhi operasi normal sehari-hari dari sistem fondasi dan infrastruktur sipil pada umumnya.”
Pendekatan yang paling efektif dan rasional adalah mengisolasi struktur bawah tanah sedemikian rupa sehingga jumlah panas yang terbuang menjadi minimal.
Para peneliti juga melaporkan bahwa kerusakan bangunan di masa lalu mungkin disebabkan oleh kenaikan suhu. Mereka juga memperkirakan masalah ini akan terus berlanjut di tahun-tahun mendatang.
Meskipun kenaikan suhu menimbulkan ancaman bagi infrastruktur, para peneliti juga melihatnya sebagai peluang potensial. Dengan menangkap limbah panas yang dipancarkan bawah tanah dari sistem transportasi bawah tanah, garasi parkir, dan fasilitas ruang bawah tanah, perencana kota dapat mengurangi dampak perubahan iklim bawah tanah serta menggunakan kembali panas menjadi sumber energi yang belum dimanfaatkan.
Perubahan iklim bawah tanah
Di banyak daerah perkotaan di seluruh dunia, panas terus berdifusi dari bangunan dan transportasi bawah tanah, menyebabkan tanah menghangat dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Peneliti sebelumnya telah menemukan bahwa permukaan dangkal di bawah kota menghangat 0,1 hingga 2,5 derajat celsius per dekade.
Dikenal sebagai ”perubahan iklim bawah tanah” atau ”pulau panas di bawah permukaan”, fenomena ini diketahui menjadi pemicu masalah ekologis, seperti air tanah yang terkontaminasi dan masalah kesehatan, termasuk asma dan sengatan panas. Namun, hingga kini, efek perubahan iklim bawah tanah terhadap infrastruktur sipil masih belum dipelajari dan sedikit dipahami.
”Jika Anda memikirkan ruang bawah tanah, garasi parkir, terowongan, dan kereta api, semua fasilitas ini terus mengeluarkan panas,” kata Rotta Loria.
Baca juga: Transformasi Perkotaan Menghadapi Perubahan Iklim
Secara umum, kota lebih hangat daripada daerah perdesaan karena bahan bangunan secara berkala memerangkap panas yang berasal dari aktivitas manusia dan radiasi matahari lalu melepaskannya ke atmosfer. Proses itu telah dipelajari selama beberapa dekade. ”Sekarang, kami sedang melihat mitra bawah permukaannya, yang sebagian besar didorong oleh aktivitas antropogenik,” ujarnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Rotta Loria dan timnya memasang jaringan nirkabel lebih dari 150 sensor suhu di Chicago Loop, baik di atas maupun di bawah tanah. Ini termasuk menempatkan sensor di ruang bawah tanah gedung, terowongan kereta bawah tanah, garasi parkir bawah tanah, dan jalan di bawah permukaan. Sebagai perbandingan, tim juga mengubur sensor di Grant Park, ruang hijau yang terletak di sepanjang Danau Michigan, jauh dari bangunan dan sistem transportasi bawah tanah.
Data dari jaringan penginderaan nirkabel menunjukkan bahwa suhu bawah tanah di bawah Chicago Loop sering kali 10 derajat lebih hangat daripada suhu di bawah Grant Park. Suhu udara di struktur bawah tanah bisa mencapai 25 derajat lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tanah yang tidak terganggu. Ketika panas berdifusi ke tanah, hal itu memberikan tekanan yang signifikan pada material yang mengembang dan berkontraksi dengan perubahan suhu.
”Kami menggunakan Chicago sebagai laboratorium hidup, tetapi perubahan iklim bawah tanah biasa terjadi di hampir semua daerah perkotaan padat di seluruh dunia,” kata Rotta Loria. ”Dan semua daerah perkotaan yang menderita perubahan iklim bawah tanah cenderung bermasalah dengan infrastruktur.”
Perlahan tenggelam
Setelah mengumpulkan data suhu selama tiga tahun, Rotta Loria membangun model komputer 3D untuk menyimulasikan bagaimana suhu tanah berevolusi dari tahun 1951, tahun saat Chicago menyelesaikan terowongan kereta bawah tanahnya hingga hari ini. Dia menemukan nilai yang konsisten dengan yang diukur di lapangan dan menggunakan simulasi untuk memprediksi bagaimana suhu akan berkembang hingga tahun 2051.
Baca juga: Kota-kota Pesisir Indonesia di Garis Depan Krisis Iklim
Rotta Loria juga memodelkan bagaimana tanah berubah bentuk sebagai respons terhadap peningkatan suhu. Beberapa bahan, seperti tanah liat lunak, menyusut saat dipanaskan. Bahan lain seperti tanah liat keras, pasir, dan batu kapur cenderung memuai.
Menurut simulasi, suhu yang lebih hangat dapat menyebabkan tanah membengkak dan mengembang hingga 12 milimeter (mm). Mereka juga dapat menyebabkan tanah berkontraksi dan tenggelam ke bawah, di bawah berat bangunan, sebanyak 8 mm. Meskipun ini tampak halus dan tidak terlihat oleh manusia, variasinya lebih dari yang dapat ditangani oleh banyak komponen bangunan dan sistem fondasi tanpa mengorbankan persyaratan operasionalnya.
”Berdasarkan simulasi komputer kami, kami telah menunjukkan bahwa deformasi tanah bisa sangat parah sehingga menimbulkan masalah bagi kinerja infrastruktur sipil,” kata Rotta Loria. ”Ini tidak seperti sebuah bangunan yang tiba-tiba akan runtuh. Hal-hal tenggelam sangat lambat. Sangat mungkin bahwa perubahan iklim bawah tanah telah menyebabkan retakan dan pemukiman pondasi yang berlebihan yang tidak kami kaitkan dengan fenomena ini karena kami tidak menyadarinya.”
Memanen panas
Karena perencana kota dan arsitek merancang sebagian besar bangunan modern sebelum perubahan iklim bawah tanah muncul, mereka tidak merancang struktur untuk menoleriransi variasi suhu yang kita alami saat ini. Meski begitu, bangunan modern akan lebih baik daripada bangunan dari periode waktu sebelumnya, seperti Abad Pertengahan.
Baca juga: Regenerasi Kota Atasi Perubahan Iklim
”Di Amerika Serikat, semua bangunannya relatif baru,” kata Rotta Loria. ”Kota-kota Eropa dengan bangunan yang sangat tua akan lebih rentan terhadap perubahan iklim di bawah permukaan. Bangunan yang terbuat dari batu dan bata yang menggunakan desain dan praktik konstruksi masa lalu umumnya berada dalam keseimbangan yang sangat rumit dengan gangguan yang terkait dengan operasi kota saat ini. Gangguan termal yang terkait dengan pulau panas di bawah permukaan dapat berdampak buruk bagi konstruksi semacam itu.”
Ke depan, Rotta Loria dan tim mengatakan strategi perencanaan masa depan harus mengintegrasikan teknologi panas bumi untuk memanen limbah panas dan mengirimkannya ke bangunan untuk pemanasan ruangan. Perencana juga dapat memasang isolasi termal pada bangunan baru dan yang sudah ada untuk meminimalkan jumlah panas yang masuk ke dalam tanah.
”Pendekatan yang paling efektif dan rasional adalah mengisolasi struktur bawah tanah sedemikian rupa sehingga jumlah panas yang terbuang menjadi minimal,” kata Rotta Loria.
Jika hal ini tidak dapat dilakukan, teknologi panas bumi menawarkan kesempatan untuk menyerap dan menggunakan kembali panas secara efisien di dalam bangunan. ”Yang tidak kita inginkan adalah menggunakan teknologi untuk secara aktif mendinginkan struktur bawah tanah karena itu menggunakan energi. Saat ini, ada beberapa solusi yang bisa diterapkan,” ujarnya.