Minggu Terpanas di Bumi, Gelombang Panas, Banjir Meluas
Suhu bumi mencapai rekor minggu terpanas. Temperatur yang memecahkan rekor di darat dan di lautan ini tak hanya menyebabkan gelombang panas, tetapi juga penguapan lebih banyak serta badai dan hujan lebih ekstrem.
El Nino baru tiba, tetapi suhu bumi telah mencapai rekor minggu terpanas dan luasan es laut Antartika mencapai titik terendah. Temperatur yang memecahkan rekor di darat dan di lautan ini tak hanya menyebabkan gelombang panas, tetapi juga penguapan lebih banyak serta badai dan hujan lebih ekstrem, menyebabkan banjir melanda di mana-mana.
Tanda-tanda bahwa bumi semakin kehilangan daya dukung terhadap kehidupan semakin nyata. Perubahan luas yang terjadi dalam sistem bumi sebagai akibat dari perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia semakin nyata dengan terus memanasnya suhu daratan dan lautan.
”Kehangatan yang luar biasa di bulan Juni dan awal Juli terjadi pada awal perkembangan El Nino, yang diperkirakan akan semakin memicu panas baik di darat maupun di lautan dan menyebabkan suhu yang lebih ekstrem dan gelombang panas laut,” kata Christopher Hewitt, Direktur Layanan Iklim Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), dalam keterangan tertulis, Senin (10/7/2023).
Saat ini, suhu bumi telah memasuki ke zona yang belum pernah dipetakan dan kemungkinan kita bakal mengalami yang lebih ekstrem saat El Nino berkembang lebih jauh dan dampak ini akan berlanjut hingga 2024. ”Ini adalah berita yang mengkhawatirkan bagi planet ini,” katanya.
Mengutip analisis data dari Jepang, JRA-3Q, WMO menyebutkan, rata-rata suhu global pada 7 Juli telah mencapai 17,24 derajat celsius. Ini adalah 0,3 derajat celsius di atas rekor sebelumnya 16,94 derajat celsius pada 16 Agustus 2016. Sebagai catatan, tahun 2015-2016 dunia mengalami El Nino yang kuat.
Data dari Jepang itu konsisten dengan dataset layanan pemantau iklim Eropa, Copernicus ECMWF ERA5. WMO menggunakan kombinasi kumpulan data analisis ulang dengan pengamatan global dari stasiun permukaan tanah dan kapal untuk laporan Keadaan Iklimnya dan untuk menilai suhu global.
”Menurut berbagai kumpulan data dari mitra kami di berbagai belahan dunia, minggu pertama Juli menetapkan rekor baru dalam hal suhu harian,” kata Omar Baddour, Kepala Pemantauan Iklim di WMO. ”WMO dan komunitas ilmiah yang lebih luas mengamati dengan seksama perubahan dramatis ini di berbagai komponen sistem iklim, dan suhu permukaan laut,” tambahnya.
Sebelumnya, laporan dari Copernicus menunjukkan bahwa suhu Juni 2023 lebih dari 0,5 derajat celsius di atas rata-rata suhu 1991-2020, memecahkan rekor sebelumnya pada Juni 2019. Rekor suhu Juni dialami di seluruh Eropa barat laut. Beberapa bagian Kanada, Amerika Serikat, Meksiko, Asia, dan Australia timur secara signifikan lebih hangat dari biasanya.
Panas yang mematikan
Memanasnya suhu bumi telah dirasakan dampaknya di berbagai tempat. Suhu yang telah memecahkan rekor baik di darat maupun di lautan ini, dalam penilaian WMO, berpotensi berdampak pada ekosistem dan lingkungan.
Sejumlah negara mencatat telah mengalami serangkaian rekor panas sejak pertengahan tahun. Kekeringan hebat terjadi di Spanyol dan gelombang panas yang dahsyat melanda China serta AS. Texas mengalami suhu terpanas karena mengalami ”kubah panas” yang berkepanjangan di mana udara hangat terperangkap di atmosfer seperti oven konveksi,
Minggu lalu, Kementerian Sumber Daya Alam Kanada juga merilis jumlah kebakaran hutan di negara itu mencapai lebih dari 670 lokasi, merupakan yang terbanyak. Asap dari kebakaran sejauh musim ini juga telah mengotori udara di Kanada dan negara tetangga AS, memengaruhi lebih dari 100 juta orang.
Di Irak selatan, gelombang panas terburuk dalam 40 tahun terakhir. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dalam rilis pada Senin (10/7/2023) memperingatkan ”dampak yang menghancurkan” pada ekosistem serta petani dan perikanan di Irak.
Saat ini suhu bumi telah memasuki ke zona yang belum pernah dipetakan dan kemungkinan kita bakal mengalami yang lebih ekstrem saat El Nino berkembang lebih jauh dan dampak ini akan berlanjut hingga 2024.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, sebagaimana diberitakan AFP, menyebutkan, ”Situasi yang kita saksikan sekarang adalah demonstrasi bahwa perubahan iklim tidak terkendali.”
Selain dengan tanaman, gletser yang mencair dan meningkatkan risiko kebakaran hutan, suhu yang lebih tinggi dari normal juga menyebabkan masalah kesehatan mulai dari sengatan panas dan dehidrasi hingga stres kardiovaskular.
Penelitian baru di Nature Medicine pada Juni 2023 menemukan bahwa lebih dari 61.000 orang meninggal karena panas selama musim panas yang memecahkan rekor di Eropa tahun lalu. Mayoritas kematian adalah orang berusia di atas 80 tahun dan 63 persen dari mereka yang meninggal karena panas adalah wanita.
Baca juga: Perubahan Iklim terbukti Memperburuk Banjir dan Kekeringan Global
Banjir meluas
Tak hanya memicu gelombang panas dan kekeringan, meningkatnya suhu bumi ternyata juga memicu hujan ekstrem yang menyebabkan banjir di mana-mana. Sebagaimana dilaporkan AFP pada Senin (10/7/2023), sekolah-sekolah di New Delhi harus ditutup pada Senin setelah hujan deras mengguyur ibu kota India. Longsor dan banjir bandang menewaskan sedikitnya 22 orang, sebagian besar di negara bagian utara Himachal Pradesh.
Di Jepang, hujan deras mengguyur barat daya, menyebabkan banjir dan tanah longsor yang menyebabkan dua orang tewas dan sedikitnya enam orang lainnya hilang pada Senin. TV lokal menunjukkan rumah-rumah yang rusak di prefektur Fukuoka dan air berlumpur dari Sungai Yamakuni.
Di Ulster County, di Hudson Valley New York dan di Vermont, warga mengalami banjir terburuk sejak Badai Irene pada 2011, yang disebut peristiwa cuaca terburuk dalam sejarah wilayah itu.
Di China, dilaporkan 15 orang tewas dan empat orang hilang setelah hujan deras mengguyur kota metropolitan Chongqing dan sebagian besar China barat daya. Lebih dari 10.000 orang juga dievakuasi dalam beberapa hari terakhir dari rumah-rumah di Provinsi Hunan tengah, di mana puluhan bangunan runtuh.
Sementara itu, di Indonesia, banjir dan longsor juga melanda sejumlah daerah, padahal seharusnya sudah memasuki kemarau. Setidaknya tiga orang meninggal dan lebih dari 1.000 orang mengungsi akibat banjir lahar dan longsor yang terjadi di kaki Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Sementara itu, di Bali,setidaknya satu orang meninggal akibat longsor di tengah cuaca ekstrem melanda pulau ini. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali mencatat 29 longsor dan belasan titik banjir di sejumlah wilayah akibat cuaca ekstrem sejak Jumat (7/7/2023).
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani mengatakan, sejak 4 Juli 2023, BMKG telah merilis potensi hujan yang dapat terjadi dalam sepekan hingga 10 Juli 2023. Informasi rilis tersebut berkaitan dengan adanya signifikansi dinamika atmosfer yang dapat meningkatkan potensi hujan pada periode awal musim kemarau tahun ini, yaitu aktifnya fenomena gelombang Kelvin dan Rossby ekuatorial di wilayah Indonesia.
Menurut Andri, berdasarkan data analisis cuaca dalam tiga hari terakhir terpantau hujan kategori ringan hingga sedang terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Bahkan, beberapa wilayah mengalami hujan kategori ekstrem, yaitu sebagian Bali. Sedangkan hujan kategori lebat hingga sangat lebat terjadi di sebagian wilayah Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Meskipun banjir yang merusak di India, Jepang, China, AS, hingga Indonesia ini dipengaruhi oleh pola cuaca lokal yang berbeda-beda dan tampak seperti kejadian yang jauh, ilmuwan atmosfer mengatakan bahwa mereka memiliki kesamaan: hujan terjadi lebih ekstrem karena atmosfer yang lebih hangat.
Atmosfer yang lebih hangat menahan lebih banyak kelembaban, yang mengakibatkan badai membuang lebih banyak curah hujan yang dapat berakibat fatal. Polutan, terutama karbon dioksida dan metana, memanaskan atmosfer. Alih-alih membiarkan panas memancar dari bumi ke luar angkasa, mereka menahannya.
Meskipun perubahan iklim bukanlah penyebab langsung badai yang melepaskan curah hujan, badai ini terbentuk di atmosfer yang menjadi lebih hangat dan lebih basah.
Udara yang panas akan mengembang dan udara dingin berkontraksi. Ini seperti balon—ketika dipanaskan, volumenya akan menjadi lebih besar, sehingga dapat menahan lebih banyak uap air. Untuk setiap 1 derajat celsius, yang sama dengan 1,8 derajat Fahrenheit, atmosfer menghangat, dan menyimpan kelembaban sekitar 7 persen lebih banyak. Padahal, menurut data NASA, suhu global rata-rata telah meningkat setidaknya 1,2 derajat celsius sejak 1880.
”Saat badai petir berkembang, uap air mengembun menjadi tetesan hujan dan jatuh kembali ke permukaan. Jadi saat badai ini terbentuk di lingkungan yang lebih hangat yang memiliki lebih banyak kelembapan di dalamnya, curah hujan meningkat,” jelas Brian Soden, profesor ilmu atmosfer di Universitas Miami.
Baca juga: Krisis Iklim Memperparah Bencana Banjir dan Longsor
Peran pemanasan lautan
Pemanasan lautan juga menjadi sumber utama cuaca yang lebih ekstrem ini. Lautan menyerap sebagian besar panas yang disebabkan oleh gas rumah kaca yang menghangatkan planet, menyebabkan gelombang panas yang membahayakan kehidupan akuatik, mengubah pola cuaca, dan mengganggu sistem penting yang mengatur planet.
Berdasarkan data WMO, pada bulan Juni, suhu permukaan laut global telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, sementara es laut Antartika mencapai tingkat terendah sejak pengamatan satelit dimulai, pada 17 persen di bawah rata-rata, memecahkan rekor bulan Juni sebelumnya dengan selisih yang cukup besar.
Sementara suhu permukaan laut biasanya surut relatif cepat dari puncak tahunan, tahun ini mereka tetap tinggi, dengan para ilmuwan memperingatkan bahwa ini menggarisbawahi dampak perubahan iklim yang kurang diperhatikan tetapi serius.
Suhu permukaan laut global mencapai rekor tertinggi sepanjang tahun baik di bulan Mei maupun Juni. Selain berdampak pada distribusi perikanan dan sirkulasi laut secara umum, hal ini juga membawa efek langsung pada iklim.
Bukan hanya suhu permukaan, melainkan seluruh lautan menjadi lebih hangat dan menyerap energi yang akan tetap ada selama ratusan tahun. Lonceng alarm berdering sangat keras karena suhu permukaan laut yang belum pernah terjadi sebelumnya di Atlantik Utara.
”Jika lautan menghangat secara signifikan, hal itu berdampak langsung pada atmosfer, pada es laut dan es di seluruh dunia,” kata Michael Sparrow, Kepala Program Riset Iklim Dunia di WMO.
Atlantik Utara adalah salah satu pendorong utama cuaca ekstrem. ”Dengan menghangatnya Atlantik, kemungkinan besar akan terjadi lebih banyak badai dan siklon tropis. Suhu permukaan laut Atlantik Utara dikaitkan dengan hujan lebat atau kekeringan di Afrika Barat,” kata Baddour.
Ketika iklim semakin hangat, maka peristiwa hujan lebat dan badai menjadi lebih umum, sebagaimana kekeringan yang kian parah dan gelombang panas menjadi lebih sering terjadi.