Literasi Sekolah Inklusi Disesuaikan dengan Kebutuhan Siswa
Siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi mempunyai hambatan dan kebutuhan beragam. Literasi bagi mereka pun perlu menyesuaikan dengan kebutuhan itu.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembelajaran anak berkebutuhan khusus menuntut kreativitas guru dalam mengatasi berbagai hambatan siswa. Oleh sebab itu, literasi di sekolah inklusi perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter peserta didik.
Pelaksana Tugas Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Aswin Wihdiyanto mengatakan, prinsip literasi di sekolah sesuai dengan perkembangan kompetensi siswa dan karakternya. Literasi dilakukan secara berkelanjutan dan mempertimbangkan keberagaman.
”Implementasi literasi di sekolah penyelenggara pendidikan inklusi disesuaikan dengan karakteristik kebutuhan dan kondisi masing-masing peserta didik. Hal ini dikarenakan setiap peserta didik mempunyai keunikan karakter yang berbeda antara satu dengan lainnya,” ujarnya dalam webinar ’Literasi dan Kecakapan Hidup di Sekolah Inklusi’, Senin (10/7/2023).
Sekolah inklusi merupakan sekolah dengan sistem layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus. Layanan ini dimulai dengan memenuhi kebutuhan atau hambatan masing-masing siswa.
Kegiatan literasi bertujuan meningkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran. Dengan demikian diharapkan dapat mengidentifikasi dan mengurangi hambatan dalam proses belajar.
Aswin menuturkan, literasi merupakan hal yang sangat penting guna mewujudkan pendidikan berkualitas dan memperoleh kecakapan hidup. Memiliki literasi berkualitas, salah satunya kemampuan membaca, menjadi fondasi awal untuk belajar.
”Dengan bekal kecakapan literasi yang baik akan membantu menumbuhkan kemampuan belajar sepanjang hayat untuk bertahan dan berkembang dalam kehidupan di masyarakat,” ucapnya.
Aswin menjelaskan, pelaksanaan literasi di sekolah melalui tiga tahapan, yaitu pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Pembiasaan merupakan pemenuhan minat baca melalui kegiatan membaca sebelum belajar di kelas.
Literasi merupakan hal yang sangat penting guna mewujudkan pendidikan berkualitas dan memperoleh kecakapan hidup. Memiliki literasi berkualitas, salah satunya kemampuan membaca, menjadi fondasi awal untuk belajar.
Sementara tahapan pengembangan adalah meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi atau pengayaan buku. Adapun pembelajaran merupakan meningkatkan literasi di semua mata pelajaran dengan berbagai buku dan strategi pembelajaran.
”Ini menjadi menarik ketika literasi mempertimbangkan karakteristik, keberagaman, dan tentu akan disesuaikan dengan kondisi peserta didik,” katanya.
Tim ahli Direktorat PMPK Kemendikbudristek, Tita Sri Hayati, mengatakan, fokus sekolah inklusi bukanlah pada disabilitas dan ketidakmampuan siswa, melainkan memenuhi kebutuhan setiap peserta didik yang berbeda. Oleh karena itu, hal ini sejalan dengan Kurikulum Merdeka dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi.
Terdapat sejumlah prinsip pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Alur layanan pendidikannya pun berbeda dengan sekolah umum.
”Alur ini menjadi penting karena seolah menjadi jembatan atau tangga. Jika satu kosong, maka tidak bisa melompat ke tahapan selanjutnya,” ucapnya.
Guru juga didorong menggunakan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami siswa. Hal ini akan mendukung penguasaan peserta didik terhadap teks atau konsep mata pelajaran.
Adaptif
Prinsip lainnya adalah memakai media pembelajaran yang adaptif. ”Jadi, karena kondisi dan kebutuhan setiap anak berbeda, maka harus menggunakan media yang sesuai pula,” ujarnya.
Implementasi pemakaian media pembelajaran adaptif dilakukan dengan berbagai cara. Siswa dengan hambatan penglihatan, misalnya, bisa memakai huruf yang diperbesar agar sesuai dengan pandangan penglihatannya.
Sementara siswa yang buta total dapat memakai huruf braille. Media tactual juga perlu disiapkan untuk mengatasi hambatan penglihatan.
”Menggunakan gambar-gambar yang bermakna untuk peserta didik dengan hambatan pendengaran. Bisa memakai video pembelajaran dan media visual lainnya,” katanya.
Menurut Tita, guru harus yakin setiap siswa bisa belajar. Alur pembelajaran yang tidak bisa diabaikan adalah identifikasi untuk mengenali hambatan belajar setiap siswa.
”Langkah berikutnya adalah asesmen. Ini memperdalam hasil identifikasi. Digali lebih lanjut sehingga diketahui siswa belum bisa membaca karena faktor apa,” jelasnya.
Guru SD Negeri 01 Rambutan, Jakarta, Suci Noor Rachmawaty, menyebutkan, salah satu masalah siswa berkebutuhan khusus adalah belum terbiasa melakukan beberapa pekerjaan dalam satu penugasan atau multitasking. Oleh sebab itu, pembelajaran yang perlu diberikan adalah multisensori seperti membaca kata dan menulisnya, menggunting dan menempel, serta membaca teks dan melihat kondisi sekitar.
”Di kelas, guru memberikan kesempatan anak maju (ke depan kelas) untuk menjawab pertanyaan. Dalam literasi juga harus berani tampil, bukan cuma membaca dan menulis,” ujarnya.