Belajar Menghargai, Menghormati, dan Menerima di Sekolah Inklusi
Baik anak berkebutuhan khusus maupun siswa reguler dipandang setara dalam sekolah inklusi. Hanya pendekatan dan metode pembelajaran yang membedakan mereka.
JAKARTA, KOMPAS — Siswa difabel atau anak berkebutuhan khusus yang menuntut ilmu di sekolah inklusi tidak kalah semangatnya dengan siswa reguler. Meski proses pembelajaran setara dengan siswa reguler, mereka tetap berusaha dan mencari jalan untuk melampaui keterbatasannya.
Mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap anak di Indonesia, tak terkecuali anak berkebutuhan khusus (ABK). Setiap siswa dapat terlatih dan terdidik untuk dapat menghargai, menghormati, dan menerima satu sama lain.
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 66 Jakarta merupakan salah satu sekolah yang telah menerapkan prinsip inklusi sejak 2006. Kepala SMAN 66 Jakarta Deni Boy, Jumat (2/12/2022), di Jakarta mengatakan, sekolah inklusi perlu menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan. Hampir semua guru di SMAN 66 Jakarta juga telah mendapatkan pelatihan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Pelatihan tersebut diikuti guru agar memahami pelayanan serta metode mendidik ABK. Dalam kurikulum merdeka, kata Deni, juga telah dilengkapi silabus pendidikan inklusi yang dapat diterapkan setiap sekolah sesuai kebutuhan masing-masing.
Setelah lulus nanti dia berencana lanjut ke fakultas pendidikan untuk menjadi guru. Bagi Nabiila, kekurangan bukanlah hambatan yang menyebabkan ABK untuk berhenti.
”Setiap guru yang mengajar akan melakukan aktivitas seperti biasa dan mendatangi secara langsung siswa difabel yang mengalami kesulitan,” ujar Deni.
Pendekatan yang dilakukan juga berbeda-beda bergantung pada jenis difabel siswa. Misalnya penyandang tunanetra dapat dibimbing menggunakan huruf Braille atau secara lisan. Untuk jenis difabel lainnya menyesuaikan kebutuhan siswa.
Sejumlah ABK
Merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2021, jumlah difabel pada usia 5-19 tahun sebanyak 2.197.833 jiwa. Jumlah ini setara dengan 3,3 persen dari total penduduk pada tahun yang sama.
Ketika dipadukan dengan data Kemendikbudristek per Agustus 2021, jumlah peserta didik pada jalur sekolah luar biasa (SLB) dan inklusi adalah 269.398 anak. Jumlah peserta didik ABK ini hanya mencakup 12 persen dari total difabel.
Di SMAN 66 Jakarta terdapat 855 siswa yang diajar oleh 52 guru. Dari total jumlah siswa, ada lima ABK, terdiri dari satu anak penyandang tunanetra, satu slow learner, satu tunadaksa, satu tunarungu, dan satu tunawicara.
Salah seorang ABK, Nabiilatunnajaah, mengalami gangguan pada penglihatan atau tunanetra yang masuk dalam kategori low vision sehingga ia harus menggunakan bantuan untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Untuk melihat secara jelas, ia perlu mendekatkan matanya dengan obyek yang akan dilihat dengan jarak dua sentimeter.
Untuk mencatat materi pelajaran, ia menggunakan alat khusus berupa riglet dan stylus serta buku dengan kertas yang lebih tebal. Riglet diletakkan pada kertas, kemudian stylus digunakan menusuk kertas untuk membentuk huruf Braille.
”Matematika, nomor satu, x dikurangi lima sama dengan…,” ujar Nabiila sembari membaca buku catatannya yang ditulis dengan huruf Braille.
Saat di sekolah, Nabiila selalu ditemani oleh temannya, Dina. Posisi duduk Nabiila juga selalu di sebelah Dina. Meskipun demikian, Nabiila berangkat ke sekolah dan berjalan ke kelas sudah bisa sendiri dibantu tongkatnya untuk membedakan tekstur jalan. Hanya butuh satu hari untuknya agar bisa berjalan dari gerbang sekolah ke kelas sendirian.
”Sewaktu belajar di kelas, kadang metode setiap guru berbeda. Ada guru yang meminta untuk dibacakan secara lisan, ada juga yang melalui pesan suara Whatsapp. Untuk guru kebetulan ada satu orang yang mengerti huruf Braille, sangat membantu,” ucapnya.
Ia lebih menyukai pelajaran yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan sosial karena mata pelajaran yang berhubungan dengan angka kurang menarik. Setelah lulus nanti dia berencana lanjut ke fakultas pendidikan untuk menjadi guru. Bagi Nabiila, kekurangan bukanlah hambatan yang menyebabkan ABK untuk berhenti.
ABK lainnya, Arnezka Faira Soerianto, sejak kecil sudah kehilangan rongga atas mulut, operasi bagian hidung, dan pengecilan pada bagian otaknya. Oleh karena itu, ia sulit untuk berbicara dan mendengar. Ia berkomunikasi dengan melihat gerakan bibir lawan bicaranya kemudian diiringi anggukan kepala yang menandakan iya atau tidak. Namun, proses komunikasi sering dilakukan dengan saling mengetik di gawai atau menulis di kertas.
Saat ditemui, Arnezka ditemani gurunya, Elfia Roza, yang membantu proses wawancara. Elfia mengatakan, Arnezka duduk di bangku depan bagian tengah agar dekat dengan guru dan papan tulis sehingga lebih mudah memahami pelajaran. Gurunya juga menunjukkan video saat Arnezka belajar di rumah yang direkam oleh ibunya. Arnezka sendiri sangat mahir dan akrab dengan dunia teknologi.
Baca juga: Mengajarkan Kesetaraan sejak Dini di Bangku Sekolah Inklusi
”Mata pelajaran favoritnya adalah hal-hal yang membuatnya bergerak seperti olahraga dan praktik saat pelajaran. Ini karena kemampuan mengingatnya cukup terbatas sehingga pelajaran terkait teori harus selalu diulang-ulang agar tidak lupa,” ujar Elfia.
Pada saat di kelas, teman-teman Arnezka selalu dirotasi tempat duduknya sehingga siswa yang duduk di sebelah Arnezka selalu berganti. Ia juga rutin membawa bekal untuk dimakan di kelas bersama dengan teman-temannya. Pada Jumat (2/12/2022), ia membawa roti karena pembelajaran hanya sampai pukul 11.00.
Keterbatasan fasilitas
Di beberapa sekolah inklusi seperti SMAN 66 Jakarta, fasilitas pendukung untuk ABK masih tergolong minim. Fasilitas pendukung yang tersedia seperti guiding block (blok taktil), buku-buku dengan huruf Braille, dan alat elektronik pendukung. Sebagian besar fasilitas tersebut disediakan sendiri oleh ABK.
Seperti Nabiila yang membawa tongkat untuk memandu jalan serta buku dan alat khusus untuk menulis huruf Braille. Arnezka juga membawa tablet dan gawai pribadi untuk menunjang proses pembelajarannya. Bagi mereka, ketidaktersediaan fasilitas bukan hambatan untuk menuntut ilmu.
Baca juga: Imajinasi Tak Terbatas Anak-anak Berkebutuhan Khusus
”Fasilitas pendukungnya memang belum tersedia. Meskipun demikian, sekolah tetap mampu menampung dan mendidik mereka. Hal-hal yang dibutuhkan ABK juga akan dibantu dan dibimbing oleh gurunya masing-masing,” ujar Deni.
Secara umum, SMAN 66 Jakarta sangat memadai untuk pembelajaran siswa reguler. Di sekolah itu tersedia dua lapangan, laboratorium untuk praktikum setiap pelajaran, ruang khusus untuk musik dan pengembangan hobi siswa, dan sebagainya. Ruang kelas juga mampu menampung sekitar 50 orang meski hanya digunakan untuk 36 siswa.
Setiap kelas memiliki desain dinding yang berbeda-beda yang menggunakan tema keberagaman provinsi di Indonesia. Total ada 23 kelas, berarti terdapat 23 provinsi yang dapat dijadikan tema desain. Setiap kelas berhak untuk mendekorasi kelas mereka sesuai dengan tema provinsi yang diberikan.
Di Kelas X.E atau kelasnya Arnezka, misalnya, ruangan tersebut dihiasi nuansa Provinsi Sumatera Utara yang erat dengan suku Batak. Ada kain wastra berupa ulos, gambar-gambar pahlawan, foto, serta lukisan yang berkaitan dengan Sumatera Utara.
Masyarakat di seluruh dunia selalu memperingati Hari Disabilitas Internasional setiap tanggal 3 Desember. Peringatan ini sebagai bentuk penghormatan sekaligus dukungan kepada para penyandang disabilitas, termasuk ABK yang sebagian mulai bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah inklusi meskipun jumlahnya masih terbatas.