ASEAN dan Mitra Tegaskan Komitmen Dukung Perempuan
Berbagai negara dan organisasi mengukuhkan komitmen untuk membantu ASEAN melibatkan perempuan di agenda keamanan dan perdamaian.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS – Negara-negara anggota ASEAN, serta sejumlah negara dan organisasi mitra, menegaskan lagi komitmen mereka untuk melibatkan perempuan dalam agenda perdamaian dan keamanan. Pelibatan perempuan diharapkan bisa segera dijalankan, bahkan dirumuskan dalam rencana aksi nasional dan regional, dengan kerja sama berbagai pihak.
Komitmen itu tampak dari penandatangan kerja sama pada penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan ASEAN di Yogyakarta, Jumat (7/7/2023). Pihak yang membubuhkan tanda tangan adalah Pemerintah Amerika Serikat, Norwegia, Inggris, Kanada, Australia, dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women).
Mereka berkomitmen mendukung implementasi Rencana Aksi Regional Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan di kawasan ASEAN. Rencana aksi ini merupakan turunan dari Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan. Resolusi ini diadopsi Dewan Keamanan PBB pada tahun 2020.
Resolusi tersebut mendorong semua pihak untuk meningkatkan partisipasi perempuan dan perspektif jender di agenda keamanan dan perdamaian PBB. Resolusi itu juga menegaskan peran penting perempuan, antara lain, dalam pencegahan dan resolusi konflik, serta negosiasi perdamaian.
Pada dokumen penandatangan, dukungan para negara dan organisasi mitra fokus kepada empat hal, yaitu pencegahan konflik, perlindungan, partisipasi, serta pertolongan dan pemulihan. Mereka juga akan mendukung koordinasi, pelaporan, serta pemantauan dan evaluasi implementasi agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan (women, peace,and security/WPS).
“Kami yakin bahwa dengan niat politik dan kapasitas nasional di semua negara anggota, ASEAN bisa berperan sebagai multiplier (pengganda) implementasi kebijakan nasional WPS dengan dukungan semua pihak,” ucap perwakilan UN Women Jamshed Kazi.
Dari semua negara anggota ASEAN, baru Indonesia dan Filipina yang memiliki rencana aksi nasional tentang WPS. Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS). Rencana aksi ini dimulai sejak 2014.
Negara-negara anggota ASEAN lain diharapkan turut menyusun rencana aksi nasional serupa. Ini penting karena konflik masih kerap terjadi di masyarakat. Sementara itu, posisi perempuan dan anak perempuan rentan saat konflik.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Bintang Ayu Darmawati sebelumnya mengatakan, perempuan dan anak rentan terhadap kekerasan berbasis jender yang diperparah konflik. Ketika sumber daya langka, mereka juga menjadi kelompok pertama yang kelaparan, dikeluarkan dari sekolah, dan terluka tanpa perawatan kesehatan yang layak.
Posisi perempuan dan anak perempuan rentan saat konflik
Itu sebabnya perempuan perlu dilibatkan dalam agenda perdamaian dan keamanan. Mereka dinilai mampu berperan dalam pencegahan konflik, negosiasi perdamaian, hingga rekonstruksi pasca-konflik. Namun, belum banyak perempuan yang terlibat di agenda ini.
“Perempuan membawa perspektif, pengalaman, dan keterampilan unik, serta seringkali fokus pada penyembuhan dan rekonsiliasi komunitas,” ucap Bintang, Kamis.
Menurut Pelaksana tugas Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Indra Gunawan, perempuan saat ini menghadapi berbagai ancaman non-tradisional. Beberapa di antaranya ialah perubahan iklim, bencana, hingga perkembangan teknologi yang dapat berujung ke penyebaran berita bohong. Semuanya berpotensi menimbulkan konflik.
Penandatanganan kerja sama di KTT ASEAN ini diharapkan jadi momentum agar rencana aksi WPS bisa segera diimplementasikan. Adapun berbagai poin hasil KTT berpotensi disampaikan ke pertemuan para pemimpin negara ASEAN beberapa bulan ke depan.
Implementasi rencana aksi WPS mesti melibatkan organisasi masyarakat sipil. Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Dwi Rubiyanti Kholifah mengatakan, Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 sejatinya lahir dari pemikiran dan hasil advokasi organisasi masyarakat.
“Saya harap Indonesia bisa meyakinkan negara-negara ASEAN bahwa kerja sama dengan multi-aktor lebih baik, lebih efektif, dan dampaknya jauh lebih mengena,” katanya.
Peran organisasi masyarakat penting karena mereka dekat dengan publik. Mereka juga mampu membantu masyarakat mengimplementasikan agenda WPS sesuai konteks lokal di daerah. Di sisi lain, pelibatan organisasi masyarakat penting untuk memberi kritik dan saran konstruktif dalam penyusunan regulasi, hingga implementasi agenda WPS.