Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memprotes pelayanan di Arafah-Muzdalifah-Mina yang dinilai tidak optimal.
Oleh
ADI PRINANTYO dari Mekkah, Arab Saudi
·3 menit baca
MEKKAH, KOMPAS — Kementerian Agama RI dan Kementerian Haji Arab Saudi bersepakat membentuk tim investigasi guna menelusuri akar masalah saat puncak ibadah haji 2023 di Arafah-Muzdalifah-Mina (Armina). Sejumlah masalah itu yakni keterlambatan pemberangkatan jemaah dari Muzdalifah ke Mina, keterlambatan konsumsi di Mina, penempatan maktab yang jauh di Mina, dan fasilitas air di Mina.
”Dua hari lalu saya bertemu Menteri Haji (Arab Saudi) Taufik F al-Rabiah untuk menyampaikan adanya persoalan dalam puncak haji, itu setelah saya bertemu pihak Mashariq (vendor penyedia fasilitas Armina), untuk menyampaikan protes keras atas pelayanan mereka,” kata Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Minggu (2/7/2023) malam, di Mekkah, Arab Saudi.
Yaqut yang juga Ketua Amirul Haj kemudian menindaklanjuti pertemuan Jumat (30/6/2023) tersebut dengan bertemu tim Kementerian Haji Arab Saudi pada Minggu siang. Hasilnya, kesepakatan pembuatan tim untuk menginvestigasi beberapa problem di Arafah-Muzdalifah-Mina.
”Insya Allah, hasilnya dalam seminggu atau paling lama dua minggu yang akan datang, kita sudah dapat. Kenapa Arafah seperti yang kita tahu, juga bagaimana Muzdalifah dan Mina,” ujar Yaqut, seusai pertemuan tim Amirul Haj dengan Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, Minggu malam waktu Arab Saudi.
Tentang respons Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, dia mengungkapkan mereka sangat berkomitmen membantu Indonesia. ”Saya juga merasakan sakit yang Anda rasakan. Begitu katanya kepada saya dan memohon maaf atas kejadian yang tidak mengenakkan ini, dan insya Allah katanya ini kejadian terakhir kalinya. Begitu komitmen Pemerintah Saudi lewat Kementerian Haji,” ujar Menteri Agama.
Sejumlah masalah selama puncak haji di Arafah-Muzdalifah-Mina berkonsekuensi ke banyak hal. Salah satunya penurunan kebugaran jemaah, terutama mereka yang lanjut usia (lansia). Sesuai data Sistem Komputerisasi dan Informasi Haji Terpadu (Siskohat), selama fase puncak haji terdata 112 anggota jemaah Indonesia meninggal.
Sebanyak 112 yang wafat itu, seperti disampaikan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief, terdiri dari 14 orang meninggal di Arafah, 58 orang di Mina, 39 orang di Mekkah, dan satu orang wafat di Madinah. ”Baik yang meninggal di Mekkah maupun Madinah sudah menjalani wukuf, baik dengan skema badal (diwakilkan) atau safari wukuf,” kata Hilman.
Soal keberangkatan jemaah Indonesia dari Muzdalifah, Hilman menyampaikan, jemaah terakhir bertolak ke Mina pada Rabu (28/6/2023) pukul 13.30 waktu Arab Saudi. ”Ini menyebabkan jemaah kepanasan di Muzdalifah. Mashariq yang bertanggung jawab dalam mobilisasi jemaah gagal memenuhi target untuk segera membawa jemaah kita dari Muzdalifah ke Mina,” ucapnya.
Problem lain yakni keterlambatan konsumsi di Mina. Dalam perbincangan dengan beberapa ketua rombongan di sela-sela ritual lempar jumrah, pengiriman konsumsi di sejumlah maktab di Mina terlambat. Zaini, ketua rombongan jemaah asal Sragen, Jawa Tengah, misalnya, hingga Rabu pekan lalu pukul 21.00, makan siang belum terkirim ke Maktab 68, lokasi mereka menginap.
Hilman menambahkan, problem sanitasi juga terjadi di Mina. ”Sanitasi di sejumlah maktab jemaah Indonesia sangat buruk. Air bersih di dapur beberapa maktab tidak keluar. Akibatnya, penyiapan makanan untuk anggota jemaah, juga penyalurannya, terlambat,” ujarnya.
Yaqut juga mempertanyakan posisi maktab jemaah Indonesia, yang selama ini berlokasi jauh dari titik lempar jumrah di Jamarat. ”Posisi maktab Indonesia termasuk yang kemarin kita tanyakan. Kenapa maktab Indonesia selalu posisinya jauh dari tahun ke tahun di Mina. Kecuali tahun lalu karena jemaah cuma separuh,” ujar Gus Men, panggilan akrab Menag.
Terkait hal ini, Pemerintah Arab Saudi menyampaikan, nantinya yang menyelesaikan proses administrasi lebih dulu diberi keleluasaan memilih posisi maktab. Bagi Menag, ini tantangan tersendiri bagi Indonesia karena Arab Saudi menghitung siklus haji dengan kalender Hijriah, sementara siklus keuangan Indonesia menggunakan kalender Masehi.