Mina kembali padat oleh jutaan Muslim untuk melempar jumrah. Layak disyukuri, kepadatan jemaah pada musim haji 2023 tak berujung musibah.
Oleh
ADI PRINANTYO dari Mekkah, Arab Saudi
·4 menit baca
Denyut kepadatan Mina seolah tak pernah terhenti walau sekejap saja, mulai 10 Zulhijah hingga 13 Zulhijah 1444 H atau 28 Juni hingga 1 Juli 2023. Ritual ibadah haji melempar jumrah menyatukan kepentingan jutaan Muslim sedunia untuk hadir di jamarat, Mina, sekali dalam setahun.
Setelah wukuf di Arafah dan bermalam di Muzdalifah sembari mengambil batu kerikil, jemaah menyempurnakan ibadah haji dengan tiga kali melempar jumrah. Ritual ini berupa pelemparan batu kerikil ke tiga pilar jamarat, sebagai simbol iblis yang akan selalu mengganggu niat dan amal baik manusia.
Jamarat yang menjadi simbol ”hotelnya setan” terdiri dari tiga pilar, yakni jumrah ula, jumrah wusta, dan jumrah aqabah. Pada tiga pilar tersebut, jemaah harus melempar masing-masing tujuh batu kerikil dalam rentang hari tasyrik, yaitu tiga hari setelah Idul Adha.
Seiring ketentuan ritual itu, jemaah selalu membanjiri berbagai sudut Mina, dan berbagai sisi jamarat, sejak 10 Zulhijah 1444 H atau Rabu (28/6/2023) hingga 12 Dzulhijjah atau Jumat (30/6/2023). Kepadatan makin menjadi di sekitar pilar jumrah ula, jumrah wusta, dan jumrah aqabah saat jemaah bersemangat melempar jumrah.
Semangat menunaikan lempar jumrah di jamarat itu pula yang membuat jemaah haji Indonesia, termasuk mereka yang lanjut usia (lansia), antusias ikut serta. Padahal, sebenarnya untuk mereka yang mengalami keterbatasan, lempar jumrah bisa dibadalkan atau diwakilkan.
Suwito (58), jemaah asal Sragen, Jawa Tengah, termasuk yang ingin menunaikan sendiri ritual lempar jumrahnya. Namun, saat dia dan istrinya, Sumini, menjalankan ritual itu pada Rabu lalu, kondisinya sedang kurang bugar. Sudah kelelahan karena perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina, beberapa kali dia terlambat makan.
Tak pelak, fisiknya melemah sehingga dia menuntaskan perjalanan pulang ke maktabnya dengan susah payah. Apesnya, jasa kursi roda yang disewanya memberhentikan pelayanan di Jalan Raja Fahd, lebih dari 8 kilometer dari maktabnya. Suwito kemudian diperiksa di klinik kesehatan jamarat. Dari hasil pemeriksaan, gula darahnya tinggi sehingga harus diobservasi lebih lanjut di klinik selama 30 menit. Dia baru bisa berjalan lagi setelah tim dokter memastikan kondisinya lebih baik, meski harus berjalan pelan-pelan.
”Saya capek, terus hari ini banyak telat makan,” ujar Suwito, yang untuk meneruskan perjalanan ke tempat tinggalnya di Maktab 68 kembali harus menyewa jasa kursi roda. Dari dua kali menawar harga, yang pertama memasang banderol 500 riyal Arab Saudi (setara Rp 2 juta) dan spontan ditolak. Yang kedua mengajukan harga 300 riyal, yang senilai Rp 1,2 juta, dan langsung jadi.
Kisah Suwito yang harus susah payah menunaikan lempar jumrah hanya salah satu dari puluhan ribu anggota jemaah lansia lainnya. Jemaah non-Indonesia pun, sebut saja asal Turki, Mesir, India, Malaysia, juga Iran, sebagian menghadapi keterbatasan, namun tetap bersemangat melempar jumrah.
Yang muncul kemudian adalah kebersamaan antar-anggota jemaah. Mereka yang kehausan seiring suhu panas Arab Saudi kadang meminta kepada jemaah lintas bangsa, dan mereka yang masih punya stok dengan suka rela memberikan air minum. Sesekali, datang juga donator-donatur air minum dan makanan di sekitar Mina, yang segera dikerubuti jemaah.
Tanpa halangan
Terselenggaranya ritual lempar jumrah di Mina dengan relatif baik dan lancar pada ibadah haji 2023 layak disyukuri mengingat beberapa kali terjadi musibah di Mina saat musim haji. Pada September 2015, tak kurang dari 2.000 anggota jemaah haji dari sejumlah negara meninggal karena lemas setelah berdesak-desakan di persinggungan antara jalan 204 dan 223 menuju jembatan jamarat.
Musibah besar, yang kerap disebut sebagai ”insiden paling mematikan dalam sejarah ibadah haji” itu ketika itu spontan memicu ketegangan antara Arab Saudi dan Iran. Pemimpin Tertinggi Iran kala itu, Ayatollah Ali Khamenei, menyatakan, ”Mismanagement dan kesalahan beberapa parameter dalam tragedi ini tidak boleh diabaikan.”
Adapun Pemerintah Indonesia ketika itu memprotes sejumlah pembatasan dari Pemerintah Arab Saudi yang dinilai kurang memberi keleluasaan dalam penginformasian korban tewas dari jemaah Indonesia. ”Pemerintah Arab Saudi memiliki regulasi, tradisi, budaya, dan prosedur sendiri dalam menangani kasus tertentu. Itu tidak membuat kami cukup leluasa mengidentifikasi korban asal Indonesia,” kata Menteri Agama (saat itu) Lukman Hakim Saifuddin, dikutip AP.
Sebelumnya, pada Juli 1990, musibah di Terowongan Mina di tengah ibadah haji juga menyebabkan kematian sekitar 1.400 anggota jemaah haji dari sejumlah negara. Penyebabnya juga penumpukan massa di satu lokasi.
Belajar dari pengalaman-pengalaman musibah ini, petugas keamanan Arab Saudi yang biasa disebut askari atau askar selalu meminta jemaah untuk terus bergerak atau berjalan saat berada di Mina, khususnya di sekitar jamarat. Ini mengingat massa menumpuk sebentar saja, terutama yang memicu kepanikan, bisa berbuntut musibah.
Berkumpulnya massa pada satu titik tertentu yang berpotensi menimbulkan musibah bisa diantisipasi. Rute dari dan ke Mina, yang beberapa tahun ini sudah ditambah, membuat massa terpecah ke beberapa jalur sehingga terhindarlah penumpukan. Kala ritual ibadah tertunaikan tanpa halangan, saat itu pula kalimat syukur harus kita ucapkan.