Tidak Ada Kata Terlambat Melepas Ikatan Candu Rokok
Berhenti merokok memang tidak mudah, tetapi bukan berarti itu mustahil dilakukan. Dengan motivasi yang kuat serta dukungan yang penuh dari lingkungan, seseorang bisa berhasil berhenti merokok.
Sebagian besar perokok memiliki keinginan untuk berhenti merokok. Hal tersebut terlihat dalam data Global Adult Tobacco Survey 2021. Sebanyak 63,4 persen perokok ingin berhenti merokok dan 43,8 persen perokok sudah berupaya berhenti merokok. Akan tetapi, hanya 5 sampai 10 persen yang berhasil berhenti merokok.
Kondisi serupa terjadi pada perokok anak. Hasil studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menunjukkan, angka kekambuhan anak yang pernah mencoba berhenti merokok mencapai 50 persen. Dari jumlah itu, anak laki-laki lebih banyak mengalami kekambuhan merokok dibandingkan dengan perempuan.
Efek candu akibat kandungan nikotin pada rokok membuat seseorang sulit untuk melepas kebiasaan merokok. Nikotin akan menempati reseptor alpha 4 beta 2 pada otak yang kemudian dapat merangsang pelepasan neurotransmitter dopamin pada sistem saraf pusat.
Dopamin merupakan hormon yang dapat menimbulkan rasa bahagia pada seseorang. Dampak buruknya, nikotin yang masuk dalam tubuh membuat terjadinya toleransi. Seseorang tidak lagi mampu mendapatkan kepuasan dari dosis yang biasanya dikonsumsi sehingga dosis yang dikonsumsi pun meningkat.
Hal itulah yang akhirnya membuat seseorang merokok lebih sering dan lebih banyak. Padahal, bersamaan dengan meningkatnya dosis rokok yang dikonsumsi, bahan berbahaya pada rokok semakin banyak masuk ke tubuh.
Dalam satu batang rokok terkandung lebih dari 7.000 bahan kimia yang dapat berbahaya bagi kesehatan. Sebanyak 70 zat di antaranya bisa menyebabkan kanker.
Seseorang yang mengalami kecanduan nikotin biasanya akan merasa nyaman ketika merokok, merasa gelisah ketika belum merokok, mengeluarkan keringat ketika belum merokok, serta ingin menggunakan rokok secara terus-menerus. Dampak adiksi ini juga berlaku bagi perokok elektronik.
Baca juga: Lebih dari 50 Persen Anak Kembali Merokok
Berdasarkan jurnal yang dipublikasikan The Eurasian Journal of Medicine pada 2021, sebanyak 76,5 persen pria pengguna rokok elektrik mengalami ketergantungan nikotin. Jurnal tersebut ditulis berdasarkan hasil penelitian dari peneliti di Departemen Pulmonologi dan Pernapasan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tingkat adiksi nikotin pada seseorang bisa berbeda-beda. Pada orang dengan adiksi nikotin tinggi memiliki tanda, seperti terbiasa merokok setelah lima menit bangun tidur, mengalami kesulitan menahan diri merokok di tempat umum, paling sulit meninggalkan kebiasaan merokok pada pagi hari, mengisap rokok lebih dari 10 batang per hari, serta cenderung merokok lebih banyak setelah bangun tidur.
Berhenti merokok
Melepas jerat candu rokok dengan berhenti merokok memang tidak mudah, tetapi itu bukan mustahil. Untuk bisa berhenti merokok, seseorang harus memiliki motivasi terlebih dahulu. Tanpa ada motivasi, upaya berhenti merokok akan sulit dilakukan. Motivasi ini bisa berbeda tiap orang. Ada yang karena alasan finansial, keluarga, atau pekerjaan.
Namun, tidak sedikit seseorang memutuskan untuk berhenti merokok ketika sudah mengalami gangguan kesehatan. Perokok baru menghentikan kebiasaan merokoknya setelah ia mengalami penyakit jantung, stroke, ataupun kanker paru.
Waktu yang paling tepat untuk berhenti merokok adalah sekarang. Tidak ada kata terlambat untuk mulai berusaha melepas kebiasaan merokok.
Hal yang lebih miris, seseorang baru berhenti merokok ketika ada anggota keluarganya yang sakit akibat paparan dari asap rokok. Perokok umumnya tahu apa dampak buruk yang bisa didapatkan dari kebiasaan merokok. Dalam bungkus rokok pun sudah tertulis dengan jelas.
”Perokok biasanya tahu apa bahaya dari merokok. Namun, sebagian besar mengabaikannya. Mereka tetap merokok sambil berharap dampak buruk itu tidak dialaminya. Padahal, risiko dari merokok bisa terjadi pada siapa pun,” ujar Ketua Kelompok Kerja Masalah Rokok dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Feni Fitriani Taufik di Jakarta, Jumat (30/6/2023).
Baca juga: Berhenti Merokok Tidak Mustahil
Itu sebabnya, kebiasaan merokok seharusnya bisa segera dihentikan. Waktu yang paling tepat untuk berhenti merokok adalah sekarang. Tidak ada kata terlambat untuk mulai berusaha melepas kebiasaan merokok. Motivasi diri untuk berhenti merokok perlu dikuatkan.
Dukungan dari orang terdekat serta sistem di lingkungan juga sangat menentukan. Pada kondisi tertentu, motivasi untuk berhenti merokok perlu didukung dengan pendampingan dan perawatan dari tenaga profesional. Itu terutama untuk mengatasi gejala putus nikotin yang muncul.
Feni menyampaikan, gejala putus nikotin yang terjadi pada setiap perokok yang berhenti merokok bisa berbeda-beda. Semakin lama seseorang merokok dan semakin banyak jumlah rokok yang diisap per hari akan semakin memperberat gejala putus nikotin yang dialami.
Gejala putus nikotin bisa menjadi situasi yang paling berat bagi perokok yang sudah mengalami adiksi saat berusaha berhenti merokok. Pada kondisi ini, seseorang merasa sulit berkonsentrasi, cemas berlebihan, depresi, insomnia, emosi meningkat, mual, nyeri kepala, batuk, nyeri tenggorokan, dan nafsu makan yang meningkat.
Gejala ini muncul sebagai reaksi dari reseptor di otak, alpha-4 beta-2, yang sebelumnya sudah terbiasa terstimulasi oleh penggunaan nikotin atau rokok. Meskipun merasa tidak nyaman dan timbul dorongan untuk merokok, seseorang harus berusaha untuk menghindari keinginan tersebut.
Efek putus nikotin bisa diminimalisasi dengan mengalihkan diri pada kegiatan lain. Pendampingan psikologis juga bisa diberikan oleh psikiater. Beberapa obat bisa diberikan untuk menekan gejala putus nikotin pada seseorang.
”Gejala putus nikotin tidak terjadi terus-menerus. Ini terjadi sekitar empat minggu. Jika bisa berhasil melewatinya, seseorang akan lebih mudah untuk melepas ketergantungan dan tidak kembali untuk merokok lagi,” kata Feni.
Bertahan untuk tidak merokok tidak mudah untuk dilakukan. Tantangan cukup berat dialami oleh seseorang yang sedang berusaha melepas kecanduan dari nikotin, yakni ketika bertemu dengan teman yang merokok. Apalagi, akses pada rokok juga cukup mudah di Indonesia.
Baca juga: Berhenti Merokok, Bukan Beralih
Risiko untuk kembali merokok masih tinggi dalam jangka waktu satu tahun sejak pertama kali berhenti merokok. Karena itu, dukungan dari orang sekitar dan sistem di lingkungan sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan dalam berhenti merokok.
Angka keberhasilan berhenti merokok tanpa intervensi hanya sekitar 5-10 persen. Sementara jika ada intervensi dengan bantuan dokter melalui konsultasi sebesar 10,2 persen. Angka keberhasilan akan semakin besar jika intervensi diberikan lewat pengobatan, psikoterapi, serta dukungan sosial, yakni sebesar 35-50 persen. Semakin banyak modalitas intervensi yang diberikan, angka keberhasilan akan semakin besar.
Feni menjelaskan, layanan berhenti merokok yang dilakukan di RS Umum Pusat Persahabatan melibatkan multidisiplin tim, mulai dari dokter umum, dokter spesialis paru, psikiater, hingga dokter rehab medik. Program berhenti merokok dilakukan selama tiga bulan dengan kunjungan minimal empat kali.
Program layanan henti rokok yang diberikan terdiri dari konseling terapi, farmakologi atau pengobatan, hipnoterapi, dan metode lain untuk mengatasi adiksi ataupun kemungkinan kembali merokok akibat nikotin. ”Penanganan adiksi pada anak akan lebih kompleks karena biasanya disertai dengan gangguan perilaku,” ujarnya.
Akan tetapi, layanan henti rokok ini belum ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Layanan yang kini disediakan oleh pemerintah dan bisa diakses luas oleh masyarakat, yakni layanan di puskesmas. Namun, layanan tersebut baru sebatas konsultasi.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menuturkan, masyarakat yang ingin berhenti merokok bisa mengakses layanan Quitline di nomor 0800-177-6565. Layanan ini tanpa biaya untuk konsultasi terkait upaya berhenti merokok.
Baca juga: Ketersediaan Layanan Berhenti Merokok Masih Minim
Selain itu, sejumlah puskesmas juga sudah menyediakan layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) di sejumlah puskesmas. Kini baru 2.813 puskesmas dari 10.260 puskesmas yang memiliki layanan UBM.
Ditargetkan 100 persen puskesmas bisa memiliki layanan UBM pada 2024. Lewat upaya yang dilakukan, pemerintah menargetkan lima juta orang di Indonesia berkomitmen untuk berhenti merokok.