Berhenti merokok artinya berhenti dari kebiasaan merokok, baik itu rokok konvensional maupun rokok elektrik. Meski tidak mudah, berhenti merokok bukan hal mustahil. Karena itu, layanan berhenti merokok perlu diperkuat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Kompas
Berbagai pesan untuk menghindari rokok saat peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu, beberapa waktu lalu. Kegiatan ini juga untuk mengampanyekan hidup sehat tanpa rokok.
Banyak orang sudah tahu dan paham akan bahaya rokok dan ancamannya bagi kesehatan. Namun, hal itu tidak juga membuat masyarakat menghindari ataupun berhenti mengonsumsi rokok. Jumlah perokok di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, terus meningkat. Bahkan, jumlah perokok usia muda yang ditargetkan bisa turun justru bertambah.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional pada 2018, prevalensi perokok pemula usia 10-18 tahun sebesar 9,1 persen. Itu lebih tinggi dari data yang dilaporkan pada 2013 sebesar 7,2 persen. Padahal, pemerintah sebelumnya telah menargetkan jumlah perokok pemula bisa turun menjadi 5,4 persen pada 2019.
Jumlah perokok pemula yang terus bertambah ini menandakan lemahnya komitmen pemerintah dalam upaya mengendalikan konsumsi tembakau. Secara tidak langsung, pemerintah pun gagal melindungi anak dari ancaman rokok.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang juga Ketua Yayasan Jantung Indonesia (YJI) Esti Nurjadin menyampaikan, rokok telah terbukti memberikan dampak buruk bagi kesehatan. Dampak ini tidak hanya terjadi pada perokok namun juga orang yang berada di sekitar perokok.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pedagang membaca brosur yang dibagikan sukarelawan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT) Jawa Timur saat peringatan Hari Antitembakau Sedunia di Pasar Keputran, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (31/5/2016). Brosur itu memuat informasi bahaya merokok serta cara praktis untuk berhenti merokok bagi perokok.
Berbagai penelitian pun membuktikan merokok sangat berhubungan dengan penyakit terkait pembuluh darah. Karena itu, perokok sangat rentan mengalami penyakit hipertensi, jantung, dan stroke. Selain itu, merokok juga dapat memicu terjadinya kanker dan penyakit saluran pernapasan, khususnya penyakit paru obstruktif kronis.
Beban biaya kesehatan
Jumlah penderita penyakit kronis tersebut telah membebani biaya kesehatan di Indonesia. Pengeluaran layanan kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) untuk biaya kesehatan terkait tembakau, seperti kanker, penyakit jantung, stroke, dan ginjal, meningkat signifikan dalam jangka waktu empat tahun. Pada 2014, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 9,9 triliun dan meningkat menjadi Rp 18,9 triliun pada 2018.
Tidak hanya itu, menurut hitungan biaya tembakau, kerugian ekonomi di Indonesia akibat kematian dini dan penyakit mencapai Rp 596 triliun atau seperempat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kementerian Kesehatan juga mencatat, Indonesia telah kehilangan hampir Rp 374 triliun dari produktivitas manusia setiap tahun terkait dengan penggunaan tembakau.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk regional Asia Tenggara menyebutkan, 225.700 kematian prematur terjadi setiap tahun dari para perokok di Indonesia. Jumlah ini hampir 15 persen dari seluruh kematian yang tercatat. Kematian prematur merupakan kematian yang terjadi sebelum usia kematian rata-rata dari penduduk. Indonesia memiliki angka harapan hidup sampai usia 70 tahun.
Berhenti merokok
Terkait hal itu, Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menyampaikan, upaya dan kerja keras untuk bisa menekan jumlah perokok di Indonesia amat dibutuhkan. Di samping mencegah perokok baru, masyarakat yang sudah terlanjur merokok perlu didukung untuk bisa berhenti merokok.
Menurut dia, rokok sudah menjadi epidemi yang tidak kunjung tuntas. Angka kematian yang ditimbulkan oleh rokok empat kali lebih banyak dari kematian akibat pandemi Covid-19. Rokok juga bisa menurunkan kualitas bangsa serta mengganggu sistem kesehatan nasional.
Orangtua yang merokok sangat merugikan anak-anak. Menurut beberapa penelitian yang dikaji oleh World Bank pada 2018, merokok di rumah dikaitkan dengan hambatan pertumbuhan anak dan berat badan rendah sehingga memperburuk kondisi tengkes (stunting) atau gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis di Indonesia.
Rokok pun sudah menjadi pengeluaran terbesar kedua dari rumah tangga setelah beras. Akibatnya, biaya rumah tangga yang seharusnya digunakan untuk membeli sumber pangan bergizi justru dipakai untuk membeli rokok. Tidak heran jika kasus malnutrisi anak di Indonesia amat tinggi.
”Pemerintah harus lebih keras lagi untuk memerangi masalah rokok. Tindakan yang tegas perlu dilakukan untuk mereduksi jumlah perokok. Anggaran untuk membantu masyarakat berhenti merokok juga harus ditingkatkan,” katanya.
Ia pun menambahkan, upaya untuk menghentikan kebiasaan merokok jangan sampai menimbulkan persoalan baru. Berhenti merokok bukan berarti bisa beralih pada produk tembakau lainnya seperti rokok elektrik. Risiko yang disebabkan oleh rokok elektrik sama berbahayanya dengan rokok konvensional.
Tindakan yang tegas perlu dilakukan untuk mereduksi jumlah perokok. Anggaran untuk membantu masyarakat berhenti merokok juga harus ditingkatkan.
Rokok elektrik juga mengandung nikotin dan bahan karsinogen yang bisa mengancam kesehatan. Hal ini pula yang menjadi dasar bahwa rokok elektrik bukan menjadi sarana terapi untuk berhenti merokok. Sebab, kenyataannya, jumlah anak sia 10-18 tahun yang menggunakan rokok elektrik meningkat dari 1,2 persen menjadi 10,9 persen pada 2018.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Ilustrasi. Sejumlah produk rokok elektrik dan rokok konvensional dipajang dalam acara forum diskusi terkait dorongan kebijakan rokok elektrik, Selasa (25/6/2019) di Jakarta.
Komitmen untuk menghentikan kebiasaan merokok ini juga menjadi tema besar yang diangkat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati setiap 31 Mei. Dengan tema “Berkomitmen untuk Berhenti Merokok”, WHO telah menargetkan 100 juta orang di seluruh dunia bisa berkomitmen untuk berhenti merokok.
Data WHO menunjukkan, dari 780 juta orang yang ingin berhenti merokok hanya 30 persen di antaranya yang memiliki akses pada layanan yang membantu mereka dapat mengatasi candu dari produk tembakau. Oleh sebab itu, upaya meningkatkan akses pada layanan henti merokok perlu lebih masif.
Pemerintah di setiap negara harus menyadari bahwa layanan tersebut amat penting sebagai bagian dari strategi pengendalian tembakau yang komprehensif. Selain memperkuat kebijakan terkait penghentian merokok, kesadaran masyarakat mengenai taktik industri rokok juga perlu ditingkatkan.
Inovasi dan teknologi pun perlu lebih dimanfaatkan untuk menjangkau masyarakat secara lebih luas. WHO telah membentuk inisiatif untuk akses berhenti merokok dengan memberikan konseling digital secara gratis. Kerjasama dengan perusahaan berbasis teknologi seperti Facebook dan WhatsApp juga telah dilakukan.
Kompas
Klinik Berhenti Merokok seperti yang ada di RS Persahabatan, Jakarta ini dapat menjadi alternatif solusi bagi perokok yang serius untuk menyetop kebiasaan merokok.
Di Indonesia, komitmen untuk memperbaiki layanan konsultasi untuk berhenti merokok juga diutarakan oleh Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono. Pemerintah menargetkan sebanyak lima juta perokok bisa berkomitmen untuk berhenti merokok. Layanan konseling berhenti merokok telah disediakan melalui layanan telepon Quitline.ina di 08001776565. Klinik henti rokok juga disediakan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang bisa diakses secara gratis.
”Meski belum semua FKTP menyediakan layanan klinik henti merokok, kita akan terus memperluasnya. Layanan yang disediakan di klinik ini antara lain, layanan psikososial, edukasi, dan konsultasi. Panduan mengenai cara berhenti rokok juga sudah disusun,” ucapnya.
Membuat perokok untuk berhenti dari kebiasaan merokok memang bukan perkara yang mudah. Nikotin yang terdapat dalam rokok menyebabkan kecanduan sehingga sulit untuk dihentikan. Meski begitu, meninggalkan kebiasan merokok tidak menjadi mustahil jika komitmen dan kesadaran akan bahaya rokok semakin kuat.
Berhenti merokok berarti benar-benar terbebas dari belenggu asap rokok apapun jenisnya. Semua jenis rokok sama bahaya. Jangan sampai orang berhenti merokok ketika maut sudah menjemput.