Iklan dan Promosi Rokok Masih Terus Membayangi Anak
Anak dan remaja belum sepenuhnya bebas dari paparan iklan ataupun promosi rokok. Perlu ketegasan dalam mengatur iklan tentang rokok ini sekaligus penguatan edukasi terkait bahaya rokok.
Iklan rokok di berbagai ruang publik memiliki dampak signifikan dalam memengaruhi perilaku dan sikap anak terhadap produk tembakau ini. Namun, sampai kini masih banyak iklan rokok yang dengan mudah dijumpai di ruang publik. Bahkan, tidak sedikit iklan tersebut yang menyasar langsung ke kelompok anak-anak.
Keberadaan iklan rokok salah satunya tertuang dalam hasil penelitian Global Youth Tobacco Surveytahun 2009, 2014, dan 2019. Hasil survei pada 2019 menunjukkan, masih ada persentase sebanyak 6 persen anak usia 13-15 tahun yang pernah ditawari produk tembakau gratis dari pihak perusahaan. Angka ini bahkan lebih tinggi untuk survei tahun sebelumnya, yakni 7,7 persen (2009) dan 7,9 persen (2014).
Selain ditawari produk tembakau gratis, anak usia 13-15 tahun juga tercatat masih memiliki barang atau sesuatu dengan logo merek rokok, seperti tas, pulpen, dan kaus, dengan persentase 10,5 persen pada 2019. Kemudian persentase anak usia 13-15 tahun yang melihat adegan merokok di televisi, video, atau film mencapai 56,8 persen pada 2019.
Ketua Kelompok Kerja Masalah Rokok Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Feni Fitriani Taufik tidak menampik bahwa banyak iklan menyasar anak dan remaja karena mereka menjadi sasaran utama untuk menjadi konsumen rokok di masa depan hingga menjadi adiksi. Oleh karena itu, perlu edukasi secara masif terkait bahaya rokok ini.
”Mereka perlu mendapat informasi yang berimbang. Selain dari iklan rokok yang begitu memesona yang membuat mereka merasa keren, kita juga harus mengedukasi secara terus-menerus bahwa di balik iklan rokok itu ada bahaya yang mengintai,” ujarnya dalam sosialisasi penapisan perilaku merokok anak usia sekolah secara daring beberapa waktu lalu.
Informasi dan edukasi tentang bahaya ini tidak hanya untuk rokok konvensional, tetapi juga rokok elektronik. Hal ini karena banyak iklan dan promosi yang menggambarkan penggunaan rokok elektronik cukup aman. Padahal, bahaya rokok elektronik sama besarnya dengan rokok konvensional.
Feni menyebut bahwa banyak faktor yang menyebabkan masih banyak remaja merokok meski telah menerima informasi terkait bahaya rokok. Beberapa faktor tersebut adalah pengaruh dari orangtua yang merokok dan teman sebaya, mengatasi stres, perilaku memberontak, berpikir terlihat keren, rasa ingin tahu, hingga paparan iklan dan media.
Selain dari iklan rokok begitu memesona yang membuat mereka merasa keren, kita harus mengedukasi secara terus-menerus bahwa di balik iklan rokok itu ada bahaya yang mengintai.
Rokok memiliki dampak yang sangat berbahaya bagi anak dan remaja. Sebab, otak mereka masih dalam perkembangan dan lebih cepat menjadi adiksi daripada orang dewasa.
Baca juga: Anak Kian Terperangkap Candu Rokok
Khusus untuk remaja, adiksi rokok ini juga membuat mereka memiliki hasrat yang sangat kuat untuk mengonsumsinya kembali. Bahkan, tidak sedikit dampak dari adiksi rokok membuat remaja sering stres, mudah tersinggung, dan memiliki perasaan yang tidak stabil atau mudah berubah dengan cepat.
Selain itu, bahaya rokok jangka pendek untuk remaja juga bisa merusak fungsi silia atau rambut kecil yang berfungsi menangkap dan membersihkan kotoran maupun bakteri yang masuk ke saluran pernapasan. Kemudian terjadi gangguan pertumbuhan dan fungsi paru sejak dini, merusak kulit wajah hingga leher, serta memengaruhi prestasi olahraga.
”Sekilas, bagi anak remaja biasanya dampak ini belum terpikirkan. Akan tetapi, kita tahu bahwa akan terjadi kerusakan paru-paru, jantung, gangguan pencernaan dan mulut, paparan zat kimia, dampak ekonomi, hingga memicu kanker,” tuturnya.
Mengingat dampaknya yang signifikan, Ketua Lentera Anak Lisda Sundari pun mendorong agar aturan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok seharusnya bisa dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Aturan terkait larangan iklan tersebut tidak cukup jika hanya dimuat dalam peraturan pemerintah. (Kompas, 23/6/2023).
Apabila aturan pelarangan iklan rokok tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Kesehatan, larangan iklan rokok hanya bisa diterapkan di kawasan luar ruang, dalam ruang, dan internet. Sementara larangan iklan di televisi, media daring, dan media cetak tidak bisa diterapkan. Padahal, anak banyak terpapar iklan rokok di media tersebut.
Kondisi di sekolah
Pengendalian rokok pada anak khususnya siswa pun telah menjadi perhatian khusus bagi pihak sekolah. Kebijakan yang ketat terhadap pengendalian rokok ini contohnya telah diterapkan oleh pihak sekolah SMP Negeri 101 Jakarta dengan memasang sejumlah papan imbauan larangan merokok di berbagai sudut baik di dalam dan luar kelas serta area taman.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMPN 101 Jakarta Luqman Hakim mengungkapkan, sekolah menerapkan aturan ketat tentang rokok. ”Tidak bisa dimungkiri masih ada guru-guru perokok. Namun, mereka kami arahkan untuk merokok di luar kawasan yang tidak terjangkau murid,” katanya, Rabu (28/6/2023).
Luqman juga memastikan, di dalam kawasan sekolah bebas dari berbagai iklan dan promosi rokok. Sementara terkait kerja sama sponsor acara, pihak sekolah juga melarang keterlibatan perusahaan rokok dan hanya menerima dari merek kopi atau minuman jenis lainnya.
Menurut Luqman, sekolah selalu mengupayakan agar paparan iklan rokok tidak memapar anak didik di sekolah. Akan tetapi, ia mengakui bahwa upaya tersebut belum sepenuhnya ampuh karena sampai sekarang angka perokok di sekolah tersebut masih cukup tinggi.
Luqman memandang bahwa pengawasan paparan iklan dan promosi rokok kepada anak harus menjadi tanggung jawab semua pihak mengingat banyak siswa menghabiskan waktu di luar sekolah. Sementara selama ini, iklan dan paparan rokok banyak ditemui di lingkungan luar sekolah. Dengan demikian, pihak sekolah tidak bisa banyak memantau siswa tersebut.
Adapun untuk pengawasan di sekitar sekolah, kata Luqman, pihaknya berkomunikasi dengan kepala lingkungan, seperti Ketua RT dan RW. Mayoritas murid merupakan anak-anak di kawasan tersebut, RT/RW bisa membantu dalam mengawasi anak dari sejumlah dampak rokok. ”Komunikasi dengan RT/RW juga untuk memberikan imbauan kepada warung-warung agar tidak menjual rokok kepada anak berseragam sekolah,” katanya.
Penerapan KTR
Upaya mengendalikan produk tembakau pada anak sekolah ini tidak terlepas dari peran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Salah satu upaya tersebut dilakukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Lingkungan Sekolah.
Peraturan tersebut menekankan bahwa KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, ataupun mempromosikan rokok. Penerapan KTR ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bersih, sehat, dan bebas rokok sehingga mengoptimalkan proses belajar mengajar.
Kepala Kelompok Kerja(Pokja) Publikasi, Komunikasi, dan Advokasi Direktorat SMAKemendikbudristek Juandanilsyah menyampaikan, sasaran pengendalian rokok dalam kebijakan KTR tersebut bukan hanya ditujukan untuk siswa, melainkan juga kepala sekolah, guru, tenaga pendidik, dan semua pihak yang ada di lingkungan sekolah.
”Aturan tata tertib sekolah harus dikuatkan. Jangan sampai ada lagi guru yang merokok dan dilihat langsung oleh anak didik karena guru merupakan contoh bagi siswa,” ujarnya.
Juandanilsyahmenegaskan bahwa pihak sekolah wajib memasukkan larangan terkait rokok dalam aturan tata tertib sekolah. Kemudian sekolah juga harus menolak penawaran iklan, promosi, pemberian sponsor, dan kerja sama dalam bentuk apa pun yang dilakukan perusahaan rokok untuk kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler.
Baca juga: Lebih dari 50 Persen Anak Kembali Merokok
Selain itu, sekolah juga wajib memberlakukan larangan pemasangan papan iklan, reklame, penyebaran pamflet, dan bentuk iklan lainnya di lingkungan sekolah. Di sisi lain, sekolah perlu melarang penjualan di kantin, warung, dan koperasi, serta memasang tanda KTR.
Rokok harus dikendalikan karena menjadi jalan masuk bagi anak maupun siswa untuk melakukan tindakan yang lebih merusak. Ke depan, siswa yang sudah kenal dengan rokok dikhawatirkan bisa mengarah ke penggunaan narkoba.
”Jadi, kita harus menerapkan pendekatan disiplin positif kepada anak didik untuk memahami, mengontrol, dan memberikan tanggung jawab. Sekolah tanpa rokok tidak hanya harus didukung, tetapi juga ditunjukkan bukti keteladanan dari pemerintah, guru, dan dunia usaha,” ungkapnya.