Kandungan Bahan Kimia Jadi Masalah Kompleks dalam Penanganan
Dalam plastik terkandung lebih dari 13.000 bahan kimia, tetapi hanya 3.000 jenis yang telah teridentifikasi jenis bahaya yang diakibatkannya beserta cara menanganinya.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kandungan berbagai bahan kimia dalam plastik menjadi masalah kompleks dalam menangani sampah plastik. Proses daur ulang sampah plastik juga tidak lepas dari potensi paparan bahan kimia berbahaya yang ada di dalamnya.
Koordinator Nasional Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) Nindhita Proboretno mengatakan, paparan bahan kimia plastik berbahaya sejak siklus awal, mulai saat ekstraksi, produksi, penggunaan, pembuangan, bahkan hingga proses daur ulang.
”Perlu menjadi perhatian juga pada saat recycling (daur ulang) sampah plastik, jangan sampai bahan kimia ikut terakumulasi (ke produk baru),” kata Nindhita saat webinar ”Bahaya Sampah Plastik”, Jumat (30/6/2023).
Nindhita menyebutkan, selama proses penanganan, sejumlah zat kimia dalam plastik perlu ditangani dengan tepat. Dalam proses daur ulang, misalnya, akumulasi racun yang lebih besar dari proses pemanasan plastik dapat saja terjadi. Zat kimia beracun justru berpeluang menyebar ke banyak tempat, seperti pada produk yang dihasilkan dan pada lingkungan.
Laporan terbaru, Program Lingkungan PBB (UNEP) menyatakan, terdapat lebih dari 13.000 bahan kimia dalam plastik. Akan tetapi, hingga kini baru 3.000 jenis bahaya yang teridentifikasi berikut cara menanganinya. Selain itu, baru 1 persen jenis bahan kimia yang telah diatur dalam perjanjian plastik internasional.
Ketua Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Bakrie Aqil Azizi menjelaskan, masalah paparan dari polusi sampah plastik sangat mengkhawatirkan bagi manusia dan lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, sampah plastik, termasuk mikroplastik, telah mengontaminasi plasenta bayi, meracuni mamalia laut, dan mengotori Antartika.
Perlu menjadi perhatian juga pada saat ’recycling’ (daur ulang) sampah plastik, jangan sampai bahan kimia ikut terakumulasi (ke produk baru).
”Dalam sejumlah penelitian, berbagai masalah kesehatan disebabkan polusi mikroplastik, seperti gangguan pada saluran pernapasan, hati, peradangan, dan potensi kanker,” kata Aqil.
Sementara, ujar Aqil, penanganan sampah plastik masih rumit mengingat penggunaan plastik baru berlangsung dalam 100 tahun terakhir. Selama ini, degradasi sampah di alam biasanya dilakukan bakteri dan jamur. Namun, status plastik sebagai limbah baru membuat enzim yang ada pada bakteri dan jamur pendegradasi belum mampu secara efektif mengurai sampah plastik.
Menurut Nindhita, perlu ada kebijakan untuk memastikan transparansi informasi tentang komposisi plastik. Dengan begitu, kesadaran produsen dan kepercayaan konsumen diharapkan meningkat sehingga serta proses daur ulang dan pembuangan menjadi lebih aman. Selain itu, juga diperlukan promosi bahan alternatif untuk menghindari limbah berbahaya. ”Namun, yang paling utama adalah pengurangan secara drastis produksi sampah plastik,” ucapnya.
Nindhita mengungkapkan, keterlibatan semua pihak menjadi kunci penting dalam penanganan masalah sampah plastik. Dia juga menyebut, AZWI terus mendorong kebijakan yang menyeluruh tentang sampah plastik.
Dalam jurnal Marine Policy volume 155 (2023), peneliti oseanografi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Zainal Arifin, mengungkapkan, pada periode 2018-2022 tercatat baru 99 pemerintah kabupaten/kota yang membuat regulasi tentang penggunaan kantong plastik. Artinya, hanya 19 persen yang memiliki aturan kantong plastik dari total 514 pemerintah daerah di Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah menaruh perhatian pada pengendalian sampah dengan daur ulang. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jakstranas) menargetkan pada 2025 penanganan sampah mencapai 70 persen.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar mengutarakan, dalam menangani sampah plastik, pemerintah fokus dalam menjalankan kebijakan reduce, reuse, recycle (3R), pemberdayaan masyarakat, dan penggunaan data ilmiah.
Novrizal menambahkan, Peraturan Menteri KLHK Nomor 75 Tahun 2019 mengatur kebijakan pengelolaan sampah dengan aturan tanggung jawab produsen yang diperluas atau extended producer responsibility.
Kebijakan tersebut mewajibkan industri aktif yang kemungkinan menghasilkan sampah, seperti industri barang konsumen, manufaktur, pusat perbelanjaan, hotel, dan restoran untuk menarik kembali sampah kemasan yang mereka hasilkan.
”Sejumlah industri botol sudah membuat industri hilir, seperti di Pasuruan, Jombang, Cikarang, Purwakarta, dan lain sebagainya,” ujar Novrizal (Kompas.id 15/6/2023).