Menawarkan Pesona Keberagaman ke dalam Hati Siswa
Pendidikan keberagaman dapat disampaikan secara kreatif, salah satunya pada masa pengenalan lingkungan sekolah.
Keberagaman bukan hal yang terpisah dari ruang kelas atau mata pelajaran. Di tangan para guru yang kreatif, kesadaran pada keberagaman hadir dalam mata pelajaran kimia, sekolah inklusi, serta masa pengenalan lingkungan sekolah saat memasuki tahun ajaran baru.
Pengenalan pada keberagaman di awal sekolah membuat kasus-kasus perundungan atau bullying di antara para siswa bisa diminimalkan. Semangat toleransi dan penghargaan pada keberagaman yang tumbuh sejak dini membuat rasa kemanusiaan dan empati siswa muncul dalam beragam aktivitas.
Gigih Wicaksono, Kepala SMP dan SMA Lazuardi Kamila GCS, Surakarta, Jawa Tengah, dalam webinar ”Melampaui Batas Ruang” yang digelar oleh Yayasan Cahaya Guru (YCG), Selasa (27/6/2023), mengatakan, semangat inklusi harus dijiwai mulai dari office boy (OB) hingga para guru di sekolah agar tidak ada diskriminasi. Sekolah inklusi membiasakan anak reguler dan anak berkebutuhan khusus (ABK) bersama-sama belajar dan berinteraksi.
Mulainya tahun ajaran baru dimanfaatkan sejumlah sekolah untuk menguatkan keberagaman. Para siswa baru yang hadir di SMP dan SMA Lazuardi Kamila GCS datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, bahkan ada yang ABK. Di tahun lalu, misalnya, sekolah meminta anak-anak berpakaian tradisional batik.
”Sekolah memanggil dalang untuk menggelar pertunjukkan wayang, tetapi cerita para tokoh wayang mengisahkan tentang (kisah) menindas teman dan akibatnya. Ternyata, anak-anak menyukai. Kegiatan seperti ini memberi pesona keberagaman sejak masa awal sekolah. Di tahun ajaran nanti, menurut rencana anak-anak mau diajak memakai baju profesi,” papar Gigih.
Penerimaan pada keberagaman pun dapat dilakukan dengan mengenali beragam emosi dalam diri tiap anak. Gigih mengisahkan, di kelas, guru meminta siswa untuk memberikan nilai 1-10 dalam menggambarkan kondisi hati saat ini.
”Kegiatan sederhana seperti ini dapat memantik anak yang tidak bersemangat karena janji orangtua mau membelikan mainan dan ternyata tidak jadi sehingga anak masih kecewa. Anak yang lain ada yang memberi angka 9 karena nilai ulangan Bahasa Indonesianya bagus. Karena semua anak punya kesempatan mengutarakan perasaannya, semua merasa dihargai,” paparnya.
Baca Juga: Tak Kenal Lelah, Pelajar Terus Menyuarakan Keberagaman dan Toleransi
Sementara itu, guru transjender, Markus Malu Uran atau akrab disapa Teacher Aurel, yang mengajar di SDK Lewouran Larantuka, Nusa Tenggara Timur, mengisahkan, para siswa di sekolahnya yang tidak mengenal keragaman suku, budaya, dan agama. Para siswa berasal dari kampung yang sama dengan suku, budaya, dan agama yang sama.
Namun, Teacher Aurel yang tahun lalu mengikuti Sekolah Guru Keberagaman YCG mengenalkan keberagaman dengan menguatkan penerimaan antara siswa kelas I yang baru masuk dengan kakak kelasnya. Di tahun ajaran baru, siswa kelas I ada yang merasa malu dan takut sehingga sulit lepas dari orangtua yang mengantar ke sekolah.
Teacher Aurel pun mencari informasi dari orangtua siswa kelas I, siapa teman kelas atas anaknya yang biasa bermain bersama di kampung. Lalu, lewat kegiatan kerja bakti, siswa kelas I dipasangkan dengan siswa kelas atas yang dikenalnya sehingga siswa baru merasa nyaman, lalu berani untuk lepas dari orangtua.
Pengenalan pada keberagaman di sekolah dilakukan guru secara kontekstual dengan membiasakan kegiatan bersama. Ada kebun sekolah yang ditanami pohon pisang, lalu siswa diajak untuk mengolah pisang menjadi makanan lokal.
Para siswa merebus pisang, menyajikannya dengan olahan sayur jantung pisang, daun ubi, bunga pepaya, dan sambal yang dilengkapi daun sintrong (sejenis rumput alami untuk membuat wangi sambal).
Kebiasaan makan bersama dengan membawa makanan lokal jadi kegiatan rutin di sekolah. Para siswa kelas atas pun kemudian berinisiatif mengatur jenis makanan yang dibawa bersama-sama setiap sekolah.
”Saya tadinya berpikir kegiatan seperti ini biasa saja. Tapi melihat siswa senang, merasa gembira, dan dapat melakukan kegiatan bersama-sama, di situlah saya sadar betapa luar biasanya acara seperti ini bagi para siswa,” cerita Teacher Aurel.
Mengaitkan dengan pelajaran
Keberagaman juga bisa dikaitkan dengan mata pelajaran. Hamka Malik, Guru SMAN 22 Makassar, Sulawesi Selatan, berusaha menyajikan teori tentang ikatan kimia. Disebutkan bahwa suatu unsur tidak akan stabil jika tidak berikatan.
”Siswa mengantuk jika cuma belajar teori. Saya coba ceritakan tentang ikatan kimia itu dengan pesan agar manusia tidak menyendiri. Bahkan, saya bilang siswa jangan jomblo alias tidak punya pacar,” papar Hamka.
Dari sini, ternyata teori kimia yang dijelaskan dengan hal-hal yang dekat dengan siswa membuat para siswa semangat dan mudah memahami mata pelajaran. Belajar Kimia pun bisa disambungkan dengan nilai-nilai Pancasila yang menghargai keberagaman.
Hamka pun jadi semangat untuk terus mencari materi yang relevan dengan teori Kimia. Permainan tradisional massalo (gobak sodor) yang mulai tak dikenal siswa dipakai untuk membahas soal mekanika kuantum. Siswa berpindah dari satu kotak ke kotak lain. Kegiatan ini diandaikan dengan perpindahan elektron dari lintasan.
”Anak-anak termotivasi dan menikmati. Para siswa jadi berdiskusi, mencari strategi untuk memenangkan permainan itu. Nilai-nilai luhur Pancasila pun dapat diterapkan, bahkan saat pelajaran Kimia,” tutur Hamka.
Ketua YCG Henny Supolo memaparkan, para guru yang berinisiatif mengenalkan keragaman dalam bentuk kegiatan pembelajaran hingga MPLS sebenarnya tidak terbatas untuk mentransfer pengetahuan dan pemahaman soal keberagaman semata. ”Aksi nyata para guru ini menunjukkan ada pengangkatan terhadap harkat kemanusiaan,” kata Henny.
Menurut Henny, pendidikan yang dilakukan dengan rasa dan welas asih serta mau mendengarkan membuat pembelajaran tentang keberagaman jadi bermakna. Hal ini dapat mengangkat kesadaran keseharian anak bahwa mereka bisa berperan. Mereka jadi memahami bahwa belajar itu demi hidup, bukan belajar demi mata pelajaran dan sekolah.
”Semua ini dapat terwujud karena para guru memiliki keberanian untuk memerdekakan diri. Mereka bisa membuka potensi-potensi yang ada di lingkungan sekitar dengan baik. Para guru ini menjadi penggerak dalam arti sebenarnya,” tutur Henny.
Ujaran kebencian
Pendidikan keberagaman di era digital ini menghadapi ancaman munculnya ujaran-ujaran kebencian. Situasi dunia yang semakin terhubung secara digital juga menyebabkan penyebaran pesan kebencian semakin mudah sehingga bisa merusak kerukunan sosial.
Di webinar internasional peringatan Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian yang jatuh setiap tanggal 18 Juni, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menekankan pentingnya literasi keagamaan lintas budaya di tengah tantangan dunia. Hal ini penting untuk menghadapi ujaran kebencian yang semakin merajalela dan sulit dikendalikan.
Muhadjir menyatakan, ujaran kebencian tidak hanya memengaruhi stabilitas sosial, tetapi juga menimbulkan kerusakan moral, mental, serta jiwa secara sistematis dan berkelanjutan. Pada gilirannya, hoaks juga menciptakan perpecahan dan konflik di berbagai belahan dunia.
”Literasi Keagamaan Lintas Budaya merupakan praktik sangat penting dalam mempromosikan pemahaman, toleransi, dan kerja sama antarbudaya. Melalui pemahaman lebih dalam tentang kepercayaan dan praktik keagamaan yang berbeda-beda, kita dapat membangun jembatan yang kokoh antarkomunitas dan menciptakan dunia lebih harmonis,” papar Muhadjir.
Mantan Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Alwi Shihab, mengatakan, pandangan agama yang berhaluan keras dan kaku telah menyebabkan derasnya arus pemikiran radikal yang mengarah bukan saja kepada intoleransi, melainkan juga terorisme. Menurut dia, pendekatan efektif untuk mencegah ujaran kebencian adalah memberikan edukasi melalui ajaran agama yang benar.
Alwi prihatin atas hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2018 yang menunjukkan sebanyak 57 persen guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. ”Data ini cukup mencemaskan mengingat guru berada di posisi strategis dan sangat penting dalam pembentukan nilai, pandangan, serta perilaku siswa dan mahasiswa yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan,” ujar Alwi yang juga Senior Fellow Institut Leimena.
Baca Juga: Mendefinisikan Ujaran Kebencian
Berangkat dari realita tersebut, ujar Alwi, Institut Leimena telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 17 institusi, termasuk Maarif Institute; Majelis Pendidikan Dasar, Menengah, dan Pendidikan Non-Formal Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Masjid Istiqlal; dan kalangan universitas untuk mengadakan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang telah meluluskan lebih dari 5.000 guru sekolah/madrasah/pesantren sejak diadakan dua tahun lalu.
Associate Professor di Teachers College, Columbia University, Amra Sabic-El-Rayess, menyebut pentingnya mengurai jalur-jalur menuju radikalisasi dan menyadari bagaimana seorang individu bisa teradikalisasi. Amra mengembangkan teori educational displacement yang mengungkapkan bahwa radikalisasi biasanya dipicu dalam ruang-ruang sosial, khususnya sekolah. Kondisi itu disebabkan minimnya pertukaran cerita atau dialog.
”Pada akhirnya, menumbuhkan rasa tidak terhubung, keterasingan. Mereka merasa tidak didengarkan atau tidak dilihat oleh para pendidik, tidak merasa bagian suatu komunitas sehingga mereka mencari sumber-sumber alternatif. Di sinilah peran dari tenaga radikalisasi,” kata Amra.
Amra berupaya mengembangkan respons yang tepat dalam mengatasi keterasingan. Dia berangkat dari pengalaman pribadinya sebagai seorang Muslim Bosnia yang melarikan diri dari Perang Bosnia.
Kisahnya untuk bertahan hidup selama 1.200 hari di bawah gempuran militer Serbia, tanpa akses dari dunia luar, termasuk listrik dan makanan, dituliskannya dalam buku berjudul The Cat I Never Named: A True Story of Love, War, and Survival.
”Cerita ini menjadi cara saya mendidik generasi muda. Bagaimana saya memiliki ketahanan. Bahkan, ketika dihadapkan dengan kebencian, kami membalas dengan rasa kasih sayang dan membangun komunitas yang tidak membalas kebencian,” tutur Amra melanjutkan.
Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho mengatakan, hubungan antaragama sejak awal menjadi dasar pertimbangan penting untuk mendorong upaya bersama melawan ujaran kebencian. ”Ibaratnya, ujaran kebencian itu seperti api yang harus secepatnya dipadamkan sebelum menjalar lebih jauh,” katanya.
Senada dengan itu, Direktur Program Maarif Institute Moh Shofan mengatakan, literasi keagamaan yang rendah berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Di sisi lain, perlu dibangun ruang-ruang perjumpaan, baik kultural maupun lintas agama, untuk membangun sikap saling memahami.