Sungai Batanghari sejak dulu jadi sumber kehidupan masyarakat Jambi dan Sumatera Barat. Kondisi itu berubah saat sungai tercemar.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Ada satu topik yang selalu disebut warga ketika bicara soal Sungai Batanghari. Sungai yang hulunya ada di Sumatera Barat dan hilirnya di Jambi itu dulu adalah tempat warga menghabiskan waktu saat kanak-kanak. Kini, warga bahkan enggan berenang di sana karena airnya yang keruh dan kotor.
Ingatan masa kecil Sambawi HB (69) mengalir bebas saat ia ditanyai soal Sungai Batanghari. Ceritanya melompat-lompat, dari tahun 1980-an, tahun 2020-an, hingga zaman ia kecil (yang jika dirunut, berarti tahun 1950-an). Sederhananya, Sambawi tahu benar bagaimana sungai ini berevolusi selama tujuh dekade terakhir.
Rumah Sambawi dulu ada di tepi Sungai Batanghari. Ia tinggal di sana sejak tahun 1950-an, lantas pindah pada tahun 1980-an karena area tepi sungai kerap longsor. Sambawi masih akrab dengan sungai walau rumah barunya jadi berjarak dengan tepi sungai.
Dalam ingatannya, Sungai Batanghari yang membentang sepanjang 800 kilometer ini adalah pusat kehidupan masyarakat. Mandi, berenang, bermain, bahkan minum pun dilakukan di sungai.
”Kalau haus, ya, ke (Sungai) Batanghari. Dulu mana ada yang jualan air. Minumlah kami di sungai saking bersihnya air di sana. Setelahnya, kami pikul air dari sungai untuk di rumah karena dulu belum ada sumur,” kata Sambawi, maestro kesenian zikir berdah di Jambi, Sabtu (24/6/2023).
Ia juga ingat betapa mudahnya mencari ikan di sungai. Orang-orang zaman dulu bahkan ada yang menangkap ikan dengan tombak saking jernihnya air di sana.
Dulu pun banyak ikan hidup di sungai, salah satunya ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis). Sambawi dan keluarganya tak perlu susah-susah mencari lauk untuk makan. Ia tinggal pergi ke sungai di belakang rumah dan menangkap ikan, sementara anggota keluarga yang lain tinggal menyiapkan bumbu untuk masak. Ia menambahkan, saking banyaknya ikan di sungai, orang-orang bisa langsung mengambil 10 kilogram ikan dalam sekali tangkap.
Selain ikan, kawasan Sungai Batanghari pun dulu ditumbuhi banyak pohon buah. Orang-orang yang beraktivitas di sekitar sungai tak perlu khawatir kelaparan karena alam sudah menyediakan makanan dan minuman.
Kondisi sungai yang terjaga masih ada jejaknya di tahun 1990-an. Anggota Pemuda Peduli Lingkungan Muara Jambi, Muhammad Amin (30), mengatakan, ia masih merasakan asyiknya main di Sungai Batanghari setiap hari. Sebelum pergi sekolah, ia ke sungai untuk mandi. Setelah pulang sekolah pun ia pergi lagi ke sungai untuk berenang.
”Kalau enggak bisa berenang, kami nanti dikatain (diolok-olok). Jadi, sebelum SD, kami harus bisa berenang karena kami anak sungai,” katanya.
Sungai Batanghari perlahan berubah karena pembabatan hutan serta pencemaran, antara lain dari aktivitas tambang emas, pasir, dan batu. Jamban di atas sungai juga ikut andil dalam pencemaran sungai.
Air sungai kini keruh dan banyak sampah. Tepian sungai pun tak lagi rimbun oleh pepohonan. Sungai tak lagi jadi tempat mandi dan bermain. Ikan-ikan yang dulu jadi sumber pangan masyarakat pun kini jarang ditemukan di sungai.
”Dulu, ibaratnya tinggal ambil saja (ikan di sungai) kalau mau makan. Tidak keluar biaya. Sekarang, kalau mau makan ikan harus beli di pasar,” ucap Sambawi.
Air Sungai Batanghari bersifat asam sehingga tak bisa dikonsumsi.
Air sungai juga tidak bisa lagi jadi sumber air minum. Amin mengatakan, komunitasnya pernah melakukan observasi sederhana di salah satu anak Sungai Batanghari pada 2020. Salah satu hasilnya adalah pH air sungai adalah 6 atau bersifat asam sehingga tak bisa dikonsumsi.
Ketua Pemuda Peduli Lingkungan Muara Jambi Rido Saputra mengatakan, ia kehilangan tempat bermain masa kecil setelah sungai tercemar. Rasanya sedih. Komunitasnya pun melawan kondisi ini dengan masuk ke sekolah-sekolah dan desa, lantas mengedukasi publik akan pentingnya menjaga sungai. Tujuannya untuk menumbuhkan kepedulian warga terhadap sungai.
Komunitas ini juga pernah menyuarakan gerakan anti-penambangan pasir dan kerikil yang membuat sungai rusak. Mereka membuat selebaran bertuliskan, ”Selamatkan Desa Kita dari Tambang Pasir”. Selebaran kemudian ditempel di rumah-rumah warga di suatu desa pada jam 02.00 pagi.
”Besoknya kami viral. Semua bertanya ini perbuatan siapa. Seminggu setelahnya, desa ini tergugah dan membuat peraturan desa agar jangan lagi ada galian pasir di desa,” ucap Rido.
Komunitasnya juga membeli lahan seluas 0,5 hektar di pinggir sungai. Menurut rencana, lahan itu bakal ditanami berbagai tanaman lokal yang sering mereka lihat di pinggir sungai saat kecil, tetapi kini hilang. Beberapa di antaranya adalah pohon mangga dan laban.
Memanggil memori
Memori Sambawi, Amin, Rido, serta warga Jambi dan Sumatera Barat lainnya diyakini sebagai modal mengembalikan kelestarian Sungai Batanghari. Pemerintah pusat dan daerah pun bekerja sama membuat acara Kenduri Swarnabhumi yang diluncurkan pada 24 Juni 2023 dan berlangsung hingga November 2023.
Ada 12 kabupaten/kota di Jambi dan Sumatera Barat yang terlibat. Mereka akan membuat festival budaya secara bergantian. Selain itu, ada pula lokakarya dan ekspedisi Sungai Batanghari. Tujuan acara ini untuk meningkatkan kepedulian dan membangkitkan memori kolektif masyarakat akan Sungai Batanghari.
”Ini (memori) harusnya diambil kembali dan kita belum terlambat. Sebab, masih ada orang yang menikmati sungai dan menjadikan sungai sebagai sumber hidup, setidaknya (orang-orang) satu generasi di atas generasi masa kini,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid.
Memori itu, antara lain, terekam dalam produk kebudayaan masyarakat sungai, seperti tarian dan tradisi lisan. Kebudayaan itu diangkat di Kenduri Swarnabhumi untuk mengingatkan publik akan lekatnya kehidupan mereka dengan sungai. Kenduri Swarnabhumi diharapkan tak hanya jadi ajang nostalgia, tapi benar-benar menggugah masyarakat untuk mengembalikan kelestarian sungai.
”Kenduri Swarnabhumi adalah media pendidikan bagi generasi muda hari ini agar ke depan mereka jadi anak-anak yang cinta budaya dan lingkungan,” kata Gubernur Jambi Al Haris.