Pembelajaran Menyenangkan Tumbuhkan Minat Belajar Siswa
Para guru di sejumlah daerah memutar otak agar siswa bisa belajar sambil bermain. Kurikulum Merdeka menuntut guru untuk menerapkan pembelajaran menyenangkan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Festival Kurikulum Merdeka yang diadakan secara daring di feskurmer.kemdikbud.go.idmengumpulkan berbagai praktik Kurikulum Merdeka di berbagai daerah. Pembelajaran yang menyenangkan diupayakan, antara lain dengan belajar di sekitar sekolah, pantai, hingga kandang sapi.
Pemerintah merancang Kurikulum Merdeka agar pembelajaran di kelas menyenangkan dan bermakna. Dengan kurikulum ini, materi pelajaran dipangkas dan hanya fokus ke materi esensial. Materi di kelas pun disesuaikan dengan minat, bakat, dan kebutuhan siswa.
Guru dan sekolah juga diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum, kemudian menerjemahkannya menjadi materi ajar. Mereka bebas berkreasi agar pelajaran yang diajarkan menyenangkan.
Hal ini dipandang sebagai kesempatan bereksplorasi bagi guru Sekolah Dasar Negeri Butuh 1 Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Eka Nurviana Fatmawati. Menurut dia, matematika distigma sebagai pelajaran yang sulit dan gurunya galak.
Istilah belajar pun dimaknai secara kaku, yaitu murid mesti duduk secara tenang sambil mendengarkan guru di depan kelas. Pelajaran juga berlangsung satu arah. Guru diibaratkan sebagai pihak yang memegang kuasa penuh di kelas.
Eka berupaya mengikis stigma ini dengan mengajak siswa belajar sambil bermain. Ia membawa permainan UNO Stacko dan membuat kartu soal-soal dengan beragam tingkat kesulitan. Ia juga menyusun misi khusus yang mesti diselesaikan siswa dengan bergotong royong.
”Anak SD kelas 1-6 ada di usia bermain. Aktivitas utama mereka adalah bermain sehingga kalau dipaksa belajar, mereka akan merasa terjajah dan terpenjara,” kata Eka pada peluncuran Festival Kurikulum Merdeka di Jakarta, Selasa (27/6/2023).
Ide membuat pelajaran menjadi menyenangkan muncul karena Eka kerap bertanya ke diri sendiri bagaimana ia akan mengajar besok. Ide juga kadang muncul tiba-tiba. Saat ide muncul, ia buru-buru mencatatnya di ponsel pintar. Ia juga memanfaatkan Platform Merdeka Mengajar untuk referensi membuat modul ajar.
Sebelum mengajar lebih jauh, Eka lebih dulu melakukan asesmen di kelas. Dengan demikian, ia tahu kemampuan para peserta didik. Beberapa pertemuan awal di kelas juga diisi dengan mengulang kembali pelajaran di kelas-kelas sebelumnya.
Hal ini berkaitan dengan learning loss atau kehilangan hasil capaian belajar pada siswa. Learning loss terjadi, antara lain, karena kurikulum yang tidak fleksibel serta penutupan sekolah akibat pandemi Covid-19.
Anak SD kelas 1-6 ada di usia bermain. Aktivitas utama mereka adalah bermain sehingga kalau dipaksa belajar, mereka akan merasa terjajah dan terpenjara.
”Siswa saya secara fisik memang kelas 5 SD, tetapi secara kognitif mereka stuck di kelas 3 SD. Jadi, kemampuan mereka setara dengan siswa kelas 3 SD. Dengan Kurikulum Merdeka, dua minggu awal digunakan untuk fokus membenahi materi dasar,” ucap Eka menambahkan.
Praktik pembelajaran menyenangkan juga terjadi, antara lain, di Kecamatan Cipicung, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Guru TK Islam Terpadu Alfarabi, Cucu Cunayah, misalnya, mengajak siswanya ke kandang sapi untuk belajar tentang lingkungan. Siswa juga diberi kesempatan memerah sapi, memberi makan sapi, serta membawa pulang susu hasil perahan.
”Anak mendapat pemahaman baru tentang siapa penciptanya, menumbuhkan sikap mandiri, kreatif, dan bernalar kritis dengan berdiskusi ke sesama teman dan guru,” kataya melalui catatan di Festival Kurikulum Merdeka. Di sinilah peran guru sangat penting untuk membimbing, mengobservasi, dan menilai aktivitas anak.
Guru SMA Negeri 1 Bebandem di Karangasem, Bali, Ni Wayan Adnyani, juga mengajak siswanya ke luar kelas untuk belajar soal lingkungan. Luasnya halaman sekolah ditambah banyaknya pohon membuat ada banyak sampah ranting dan daun-daun kering. Siswa lantas diajari membuat pupuk kompos organik, lalu pupuknya didistribusikan ke masyarakat.
Guru SD Negeri 6 Banda Aceh, Mudassir, pun membawa siswa ke luar kelas untuk belajar tentang listrik. Dengan mengamati gardu listrik terdekat, ia menjelaskan komponen-komponen utama gardu serta mekanisme distribusi listrik ke rumah masyarakat.
Ia juga mengajak siswa bermain peran. Ada siswa yang berpura-pura menjadi petugas di gardu, teknisi, serta pengawas. Mereka bertugas memecahkan masalah soal listrik berbekal materi yang dipelajari tadi.
”Saya menggunakan cerita atau contoh nyata untuk menjelaskan konsep-konsep itu. Saya berusaha mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari siswa agar mereka bisa melihat relevansi dan manfaatnya,” tuturnya.
Belum optimal
Di sisi lain, belum semua guru punya kompetensi mengembangkan Kurikulum Merdeka secara optimal. Menurut Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, sebagian guru hanya menyalin modul ajar yang tersedia di platform Merdeka Mengajar.
Padahal, belum tentu modul ajar itu sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa di sekolahnya. ”Guru-guru kita belum memiliki kompetensi optimal untuk mengembangkan kurikulum,” ujarnya.
Kondisi ini terjadi karena para guru terbiasa ”disuapi” pemerintah pusat selama puluhan tahun. Misalnya, KIKD (Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar) sudah ditentukan Kemendikbudristek, lalu guru tinggal melaksanakan saja. Kini pemerintah menyiapkan capaian belajar, tetapi guru yang menerjemahkan itu menjadi tujuan pembelajaran.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Muhammad Nahar mengatakan, sebagian guru melihat perubahan kurikulum sebagai kebijakan politis. Mereka belum memahami ini sebagai momentum memperbaiki kualitas sistem pendidikan.