Belum Semua Guru Mampu Menerjemahkan Kebutuhan Siswa
Dalam penerapan Kurikulum Merdeka, guru harus mampu menerjemahkan kebutuhan siswa. Setelah itu, guru dapat menjadi sahabat dan rekan belajar siswa.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam penerapan Kurikulum Merdeka, pendidik harus mengetahui karakter dan potensi peserta didik, tidak hanya berbasis pengetahuan yang luas terhadap mata pelajaran. Oleh sebab itu, program pengembangan guru perlu dilakukan secara terus-menerus dan konsisten.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), pada tahun ajaran 2023/2024, sebanyak 306.995 satuan pendidikan sudah mendaftar dan siap menjalankan Kurikulum Merdeka. Sekolah penggerak dan SMK pusat keunggulan wajib menjalankan Kurikulum Merdeka, sedangkan satuan pendidikan lainnya melaksanakan implementasi sesuai dengan kemampuan sekolah secara mandiri.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo mengatakan, kemampuan yang diperlukan guru dalam penerapan Kurikulum Merdeka adalah menerjemahkan kebutuhan siswa. Setelah itu, guru dapat menjadi sahabat dan rekan belajar siswa.
”Guru dan siswa dapat bersama-sama mencari kedalaman talenta setiap siswa. Siswa membutuhkan guru sebagai rekan belajar yang menemani proses belajar mereka,” ujar Anindito dalam acara seminar nasional bertajuk Kurikulum Merdeka Pendidikan Khas De Britto di Era Disrupsi dan Perkembangan Teknologi, Sabtu (13/5/2023). Seminar nasional ini digelar dalam rangka Lustrum XV SMA Kolose De Britto.
Untuk mewujudkan penerapan Kurikulum Merdeka yang merata, pihaknya sudah mengupayakan alat bantu, seperti mengadakan pelatihan atau webinar agar guru dapat mengadopsi pola pikir yang tepat dan meningkatkan keterampilan saat mengajar. Untuk itu, inisiatif guru juga harus berubah.
”Kesempatan dan ruang inovasi yang sudah tersedia diharap dapat mengubah pelan-pelan pola pikir guru. Perlu diketahui, membantu guru tidak hanya tugas Kemendikbudristek saja, tetapi juga pemerintah daerah,” ucapnya.
Guru harus tahu apakah siswa yang diajar berkembang atau tidak.
Anindito mengatakan, satu-satunya cara untuk mengetahui apakah siswa sudah merdeka dalam proses belajar ialah melihat dampak yang dirasakan siswa. Guru harus tahu apakah siswa yang diajar berkembang atau tidak.
”Banyak pendidik yang bertanya kepada saya, apakah mereka sudah memerdekakan siswa atau belum? Namun, saya tidak bisa menjawabnya karena implementasinya adalah dampak terhadap siswa. Jadi, guru yang lebih tahu karena dia yang menjalankan,” ujar Anindito.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kemendikbudristek Iwan Syahril menambahkan, untuk mewujudkan pendidikan yang merdeka, bantuan dari orang-orang yang sudah merdeka sangat diperlukan. Pengajar yang sudah mampu menerapkan Kurikulum Merdeka harus membantu rekannya dalam implementasi kurikulum tersebut.
Selain itu, pengajar yang merasa kurang memahami konsep Kurikulum Merdeka diharap lebih aktif bertanya dan membaca referensi. Iwan berharap penerapan merdeka belajar dapat diimplementasikan lebih banyak lagi di sekolah Indonesia.
Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengatakan, Kurikulum Merdeka mengurangi konten pembelajaran sebanyak 30-40 persen materi dibandingkan dengan Kurikulum 2013 guna menekankan pada pembelajaran yang mendalam. Selain itu, terdapat alokasi sekitar 20 persen waktu untuk pembelajaran berbasis proyek dan memberikan keleluasaan bagi guru mengatur melihat kebutuhan dan kemampuan peserta didik (Kompas, Sabtu 13 Mei 2023).
Era disrupsi
Menurut akademisi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, sistem pendidikan di Indonesia memang harus berubah mengikuti arah zaman agar tidak tersisihkan. Namun, pendidik memiliki kecenderungan membawa sistem pembelajaran kemarin ke hari esok.
Seiring dengan kemajuan pendidikan yang terus berkembang dan meningkat, kurikulum selalu mengalami perubahan, pembaruan, dan penyempurnaan. Perubahan tersebut tentu didasari banyak faktor, salah satunya adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
”Jika bicara mengenai disrupsi, ada hal bersifat inovatif yang meninggalkan masa lalu. Sementara pengajar merupakan produk masa lalu. Pendidik dan peserta didik merupakan generasi yang berbeda,” ujar Rhenald.
Rhenald menegaskan bahwa disrupsi akan menyisihkan orang-orang yang terpaku pada masa lalu. Dengan begitu, ia berharap semua pengajar melihat disrupsi sebagai satu peluang, bukan hambatan.