Menggali Potensi Anak untuk "Membungkam" Keterbatasan
Penting bagi orangtua untuk tahu keahlian dan kemauan anak berkebutuhan khusus.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·6 menit baca
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
Beberapa anak berkebutuhan khusus sedang mengikuti kelas jimbe dan drumband di Rumah Ceria Down Syndrome Potads, Jakarta Selatan, Jumat (23/6/2023).
Sekitar 17 tahun lalu, Teti Salmiati (52) melahirkan anak ketiganya dengan keistimewaan menderita down syndrome jenis trisomi 21. Awalnya, kenyataan itu memang sulit diterima dan menguras air mata. Namun, setelah memahami dan menerima kondisi putranya, Teti bertekad memberikan pendidikan terbaik untuk sang buah hati, Mohammad Farhan Rizqullah (17), yang kini telah menemukan bakatnya.
Bersama belasan temannya, Farhan memainkan alat musik xylophone saat mengikuti kelas jimbe dan drum band di Rumah Ceria Down Syndrome Potads, Jakarta Selatan, Jumat (23/6/2023). Alat musik diberikan sesuai dengan keinginan dan bakat anak.
Gabungan dari berbagai instrumen musik itu menghasilkan sebuah alunan lagu. Di sela-sela latihan, mereka bermain dan bergurau. Tidak ada kecanggungan di antara mereka.
Menurut Teti, penting bagi orang tua untuk tahu keahlian dan kemauan anak berkebutuhan khusus (ABK). Untuk menggalinya, orang tua dapat mengenalkan anak dengan berbagai hal dan kegiatan. Nantinya, anak-anak akan menunjukkan reaksi jika ia menyukainya atau sebaliknya.
Mendidik anak dengan kondisi seperti Farhan memang tidak mudah. Agar Farhan tumbuh maksimal, Teti memutuskan mengambil berbagai kursus untuk mengembangkan bakat Farhan. Tentu saja, pemilihan tempat kursus maupun sekolah harus sesuai dengan kenyamanan anak.
Bahkan, Teti pernah menyekolahkan Farhan di SD umum untuk melatih komunikasi dan interaksinya. Hasilnya, saat kelas I SD, Farhan mulai bisa berbicara dengan lancar dan dapat meniru kosakata yang didengarnya. Farhan juga mulai mendapatkan teman saat ia menunjukkan bakatnya dalam kesenian.
ARSIP TETI SALMIATI
Mohammad Farhan Rizqullah (17) dan beberapa temannya sedang persiapan untuk tampil di sebuah acara.
Kini, Farhan tengah menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Asih, Depok. Ia juga mengikuti empat kursus sekaligus, yakni kursus piano di Yamaha Mahkota Musik, kursus menari di Gandrung Dance Studio, kelas jimbe dan drum band di Rumah Ceria Down Syndrome Potads, serta kelas operet di ABK UMKM Pasar Gintung.
Teti percaya bahwa ABK mampu mengembangkan potensinya bila diberikan kesempatan dan dukungan oleh orang tua. Melalui musik dan melafalkan lirik lagu, misalnya, anak-anak tersebut dapat melatih kemampuan komunikasi dan berbahasanya. Ketika mereka memainkan musik secara grup, kemampuan sosialisasinya juga terasah.
Penting bagi orang tua untuk tahu keahlian dan kemauan anak berkebutuhan khusus. Untuk menggalinya, orang tua dapat mengenalkan anak dengan berbagai hal dan kegiatan.
Menyukai kesenian membuat Farhan kerap tampil di berbagai panggung acara. Selain itu, ia berhasil meraih banyak penghargaan.
Beberapa pencapaian Farhan, antara lain pemenang II kategori down syndrome pada Kompetisi Tari Kreasi Nusantara 2022 antarpelajar dan UMKM se-Jabodetabek, serta Juara Lomba Tari Jaranan saat peringatan Hari Cerebral Palsy Sedunia pada 2022, dan masih banyak lagi.
Teti berpesan agar orang tua yang memiliki ABK tidak merasa kecil hati dan memilih menyembunyikan anak mereka. Kunci utama ialah harus menerima kondisi anak. Setelah itu, orang tua perlu berada di samping anak untuk membantu setiap prosesnya, bukan membiarkannya sendiri.
”Semua ada prosesnya. Dulu, Farhan juga tidak percaya diri, tidak bisa berbicara dengan lancar, dan suka menunduk. Sekarang dia sudah jauh lebih berkembang. Farhan suka bertanya, lebih percaya diri, dan aktif,” ujar warga Depok, Jawa Barat, tersebut.
ARSIP TETI SALMIATI
Mohammad Farhan Rizqullah (17) dan beberapa temannya saat menghadiri suatu acara.
Namun, peran pemerintah terhadap anak disabilitas intelektual, menurut Teti, masih kurang. Bahkan, di sekitar rumahnya, belum ada sosialisasi terkait ABK.
Sosialisasi hanya dilakukan dari sekolah ke sekolah. Padahal, faktanya masih banyak ABK yang tidak mendapatkan pendidikan.
Teti juga belum pernah mendapatkan bantuan apa pun dari pemerintah hingga saat ini. Bahkan, untuk mendapatkan kartu disabilitas atau kartu ABK pun masih dipersulit. Menurut Teti, ABK baru dihargai pemerintah saat menorehkan prestasi di tingkat internasional dan diketahui banyak orang.
Bersyukur
Peran orang tua juga sangat berpengaruh bagi karier Sholahudin Al Ayubi (16), atlet cabang olahraga atletik. Berkat motivasi dan dukungan tanpa henti dari orang tuanya, Al (sapaan akrab Al Ayubi) yang bertubuh pendek atau short stature mampu menorehkan prestasi gemilang.
”Orang tua selalu mengingatkan saya untuk bersyukur, apa pun dan bagaimanapun keadaan saya. Mereka juga berpesan, sebagai manusia, yang paling penting harus berguna bagi diri sendiri maupun sesama,” kata peraih medali perak dan perunggu cabang olahraga atletik pada ASEAN Para Games 2023 di Kamboja tersebut.
Al mengenal olahraga atletik dan tertarik untuk serius menekuninya sejak kelas I SMP. Melihat potensi Al, guru olahraganya pun mengenalkannya kepada pelatih atletik. Mengetahui hal itu, orang tua Al juga mulai mengarahkan dan terlibat dalam setiap proses putranya.
ARSIP PRIBADI AL AYUBI
Sholahudin Al Ayubi (16), atlet cabang olahraga atletik.
”Setelah itu, saya masuk pemusatan latihan daerah untuk persiapan Pekan Paralimpiade Nasional Papua pada tahun 2020. Saat itu, saya berusia 14 tahun. Bersyukur, saya bisa membawa pulang tiga medali perak pada nomor lempar. Itu merupakan medali pertama saya," kata atlet asal Karanganyar, Jawa Tengah, itu.
Sepanjang kariernya, orang tua merupakan seseorang yang paling berkontribusi bagi Al. Ia mengingat, saat menjalani latihan di daerah yang jauh dari rumahnya (sekitar 30 kilometer), dirinya selalu diantar oleh ayah atau kakaknya. Orang tuanya selalu mengusahakan yang terbaik baginya, baik dalam pembiayaan maupun tenaga.
Al mengatakan, banyak lika-liku yang dihadapi selama menjadi atlet. Apalagi, ia masih berstatus sebagai siswa SMA saat ini. Namun, hal tersebut tidak menjadi beban berat selama keluarganya masih menjadi garda terdepan dalam memenuhi segala kebutuhannya.
Pendekatan berbasis keluarga
Menurut Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Jasra Putra, pola pengasuhan ABK memerlukan pendekatan berbasis keluarga yang berpartisipasi penuh dalam membesarkan sekaligus mendidik tanpa menyakiti anak. Keluarga dan masyarakat harus membuka kesempatan dan ruang kepada ABK untuk tumbuh dan berkembang setara dengan anak-anak lainnya.
Jika anak tumbuh di lingkup keluarga yang hangat dan menerima kondisi anak, ABK dapat berkembang dan mampu menorehkan prestasi seperti anak lainnya. Pola asuh orang tua juga sangat memengaruhi rasa kepercayaan diri anak. Apalagi, ABK rentan kehilangan kepercayaan diri. Namun, sebelum itu, orang tua perlu menerima kondisi anak seutuhnya.
”Jika anak tumbuh di lingkup keluarga yang hangat dan menerima kondisi anak, maka anak berkebutuhan khusus dapat berkembang dan mampu menorehkan prestasi seperti anak lainnya,” tutur Jasra.
Kurangnya peran pemerintah dalam memenuhi hak-hak ABK juga menjadi salah satu faktor banyaknya orang tua yang menelantarkan anaknya. Penelantaran anak tentu saja berdampak negatif bagi perkembangan dan akademik anak.
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS
Jasra Putra
Peran pemerintah sangat memengaruhi, terutama dalam penyediaan layanan pendidikan, layanan sosial, fasilitas umum, dan penegakan hukum yang adil bagi perlindungan dan pemenuhan hak ABK.
Pemerintah harus melakukan penyuluhan yang menjangkau masyarakat luas dan turut berperan aktif dalam menangani hal tersebut. Di sini, peran pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan. Pemerintah daerah dapat membuat berbagai program untuk mengasah kreativitas dan kemampuan ABK di lingkungan mereka.
Jasra mengatakan, perangkat daerah juga perlu memetakan situasi keamanan di daerahnya, terutama jika terdapat ABK di wilayahnya. Lingkungan sekitar juga perlu memiliki pemahaman untuk turut memberikan pengasuhan terhadap ABK.