Pembangunan untuk Punan Batu tidak dengan memaksa mereka keluar dari hutan, tetapi justru dengan menjaga rimba yang menjadi sumber hidup dan kebudayaan berburu dan meramu mereka.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Punan Batu, yang hidup seminomaden di Hutan Banau Sajau, kini telah diakui sebagai masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Tantangan ke depan adalah bagaimana memenuhi hak-hak dasar mereka, tanpa memaksa mereka mengubah budaya mereka sebagai pemburu dan peramu.
”Dengan pengakuan Punan Batu sebagai masyarakat hukum adat, saya berharap hutan mereka bisa terjaga. Selain itu, budaya yang sudah turun-temurun jangan sampai hilang,” kata Bupati Bulungan Syarwani saat menyampaikan surat keputusan yang ditandatanganinya pada 3 April 2023 kepada perwakilan masyarakat Punan Batu yang tinggal di sekitar Goa Benau Sajau, Jumat (2/6/2023).
Masyarakat Punan Batu yang sebelumnya tidak dianggap ada oleh negara, termasuk tidak ada di dalam daftar Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kementerian Sosial, kini telah diakui. Syarwani mengatakan, pengakuan ini juga membawa konsekuensi untuk memenuhi hak-hak dasar Punan Batu, termasuk pendidikan dan kesehatan.
Namun, pemerintah tidak bisa menggunakan model lama dengan memaksa Punan Batu untuk menetap sehingga bisa memudahkan akses terhadap layanan dasar. ”Membiarkan Punan Batu tinggal di hutan, bukan berarti kami tidak peduli, tapi kami tidak ingin merusak budaya dan ciri khas mereka,” kata Syarwani.
Di masa lalu, pendekatan pembangunan untuk masyarakat adat yang tinggal di hutan identik dengan memindahkan mereka, baik dalam bentuk pemukiman di tempat asal (in-situ) maupun pemukiman di tempat baru (exitu). Istilah itu di masa Orde Baru dikenal sebagai proyek respen (resettlement penduduk) dan kerap identik dengan paksaan hingga kekerasaan.
Upaya merumahkan masyarakat adat ini misalnya dialami Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, yang telah dilakukan sejak tahun 1970-an.Kelompok Punan Tubu, yang sebelumnya juga hidup di pedalaman Sungai Tubu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, juga menjadi sasaran bagi proyek respen ini.
Membiarkan Punan Batu tinggal di hutan bukan berarti kami tidak peduli, tapi kami tidak ingin merusak budaya dan ciri khas mereka.
Selama kurun 1972-1980, Kementerian Pertanian telah mengeklaim sukses memukimkan 7.682 keluarga peladang di 17 provinsi.Sebagaimana diungkapkan Menteri Pertanian saat itu, Soedarsono Hadisaputro, selain disebut untuk ”mengangkat derajat saudara kita yang hidup di pedalaman”, proyek respen bagi peladang ini juga ditujukan ”untuk mengakhiri perusakan hutan karena kegiatan menebang hutan, membakar, dan berladang secara berpindah-pindah” (Kompas, 10 April 1980).
Namun, praktiknya, setelah masyarakat adat ini dipindahkan dari hutan mereka, kawasan hutan mereka kemudian diambil alih dan diserahkan kepada perusahaan untuk dieksploitasi kayunya hingga dijadikan perkebunan sawit atau hutan tanaman industri lain.
Di sisi lain, kehidupan masyarakat yang dipaksa menetap juga sarat masalah, baik masalah ekonomi, kesehatan, budaya, hingga agraria, sebagaimana dilaporkan Patrice Levang (2009) dalam studinya terkait Punan Tubu.
Mencari pendekatan baru
Taufik Hidayat, Community Engagement and Protected Area Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), mengatakan, perlu dicari model pembangunan lain yang lebih sesuai dengan budaya Punan Batu. ”Kami sedang mencari cara untuk menghadirkan layanan pendidikan dan kesehatan ke hutan, bukan sebaliknya memaksa Punan Batu dirumahkan atau meninggalkan hutan,” katanya.
Populasi Punan Batu yang masih aktif berburu-meramu di sekitar Hutan Benau Sajau sekitar 35 keluarga atau 103 individu. Di luar kelompok ini, diduga masih ada yang hidup terpisah di kawasan hutan lain di sekitar Bulungan, tetapi sejauh ini belum terdata. Sebagian lagi sudah menetap dan tinggal di Desa Wonomulyo, desa transmigran.
”Untuk Punan Batu yang di Benau Sajau sudah kami bantu untuk memiliki kartu identitas penduduk,” kata Taufik.
Dengan kartu identitas ini, anggota komunitas Punan Batu seharusnya sudah bisa mendapatkan Kartu Indonesia Sehat sehingga bisa mendapat layanan kesehatan gratis. ”Namun, yang masih menjadi kendala adalah jauhnya akses ke fasilitas kesehatan,” ucapnya.
Pradiptajati Kusuma, peneliti genetika populasi dari Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN), mengatakan, ”Punan Batu merupakan pemburu dan peramu terakhir yang masih aktif di Kalimantan.”
Pradiptajati dan tim pertama kali mengidentifikasi keberadaan Punan Batu saat masih bekerja untuk Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada 2018 dan melakukan serangkaian riset tentang kelompok masyarakat ini. Salah satu kajiannya bersama tim internasional ini ditulis di jurnal Evolutionary Human Science-Cambridge University Press edisi Februari 2022.
Pemetaan dilakukan dengan memberikan GPS portabel pada 27 orang Punan Batu untuk memahami pola dan pergerakan mereka di hutan. Secara total, dia berhasil mengumpulkan 713 hari data pergerakan selama Oktober 2018 dan Maret-Juni 2019.
Hasilnya, orang Punan Batu rata-rata pindah tempat tinggal setiap 8-9 hari untuk berburu binatang, mengumpulkan makanan, madu, dan berbagai produk hutan lain. Beberapa gerakan adalah gerakan jangka pendek individu, yang lain adalah seluruh keluarga. Ketika mereka pindah, mereka melakukan perjalanan sekitar 5 kilometer antarkamp.
Dengan karakteristik seminomaden, menurut Pradiptajati, solusi pembangunan untuk Punan Batu tidak dengan merumahkannya. Kalau mereka dipaksa menetap dan dibangunkan rumah-rumah sebagaimana kerap dilakukan pemerintah sebelumnya, budaya berburu dan meramu mereka akan hilang. ”Paling penting dan utama adalah melindungi hutan yang menjadi ruang hidup mereka,” katanya.
Berdasarkan hasil kajian Pradiptajati dan tim, Pemkab Bulungan tengah menyiapkan pengajuan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar hutan seluas 18.497 hektar, yang menjadi ruang hidup Punan Batu, dikeluarkan dari konsesi HPH.
Selain dengan skema hutan adat, menurut Taufik, upaya lain untuk melindungi hutan yang dihuni Punan Batu ini adalah mengusulkannya sebagai kawasan taman bumi atau geopark. Itu karena kawasan ini juga kaya dengan gugusan karst dengan goa-goa dan sungai bawah tanah yang masih aktif.
Berpusat pada hutan
Akim Asut, tetua Punan Batu, mengatakan, anggota keluarganya tidak akan mau jika dipaksa meninggalkan hutan dan hidup di perkampungan. ”Bagi kami, cara hidup seperti sekarang inilah yang kami kenal. Dari dulu kami pindah-pindah di hutan. Anak-anak dan cucu-cucu juga lahir di hutan,” tuturnya.
Sekalipun demikian, dia mengatakan, kehidupan di hutan saat ini semakin susah karena luasan hutan semakin sempit dan rusak. ”Mencari makan di hutan sekarang susah,” katanya.
Masyarakat Punan Batu biasanya makan umbi-umbian hutan, seperti tubong, kriting, dan jaranang. Mereka juga bergantung pada umbut lalihit, sejenis sagu-saguan. Tanaman liar ini hanya bisa tumbuh di hutan yang masih terjaga.
Untuk protein, mereka bergantung pada hewan buruan, terutama babi hutan. Namun, belakangan babi liar semakin sulit didapatkan karena terserang wabah flu babi Afrika (African swine fever).
”Bagi kami saat ini, yang terutama kami harapkan adalah terjaganya hutan tempat kami hidup dan membesarkan anak-anak. Kalau hutan terjaga, makanan pasti ada, kami pasti bisa bertahan. Tapi kalau hutan hilang, Punan Batu juga habis,” kata Asut.