Pendidik Berperan Memastikan Tumbuh Kembang Anak Difabel
Pendidikan menjadi hak semua warga nagara, termasuk anak difabel tanpa terkecuali yang dijamin oleh Undang-Undang.
Rabu (21/6/2023) siang, Nina Riana (40), guru SLB Dian Kahuripan Jakarta sedang menerima Aryan (7) sebagai calon murid baru. Aryan yang diantar ibunya, tampak gelisah saat diajak berkenalan.
Ketika Nina mencoba bersalaman dan berkenalan dengan Aryan. Aryan yang berstatus disabilitas tunagrahita enggan membalas uluran tangan Nina.
”Penyandang tunagrahita kebanyakan pada awalnya seperti ini. Bahkan, dulu ada anak yang sejak pagi sampai jam pulang hanya menutup muka pakai buku. Guru harus ekstra sabar,” kata Nina.
Sejatinya Nina tidak memiliki latar belakang lulusan Pendidikan Luar Biasa (PLB). Meski demikian, ia telah berpengalaman mengajar di SLB selama lima tahun.
”Banyak cerita. Meskipun berat, tetapi saya bahagia bisa melihat setiap perkembangan anak-anak,” ujarnya.
Baca Juga: Mengajarkan Kesetaraan sejak Dini di Bangku Sekolah Inklusi
SLB Dian Kahuripan berstatus sekolah swasta dengan jumlah murid lebih dari 50 orang. Setiap kelas biasanya terisi 5-7 anak.
Sekolah tersebut hanya menerima murid disabilitas, tunarungu (gangguan pendengaran) dan tunagrahita (keterbelakangan intelektual dan mental).
Nina mengungkapkan, anak penyandang tunagrahita dan disabilitas secara umum tidak boleh dimanjakan, baik di rumah maupun di sekolah. Anak harus dilibatkan dalam segala hal sehingga menjadi kebiasaan.
Perlu ada sinkronisasi pendidikan anak di sekolah dan di rumah agar peningkatan tumbuh kembang anak bisa maksimal. ”Dalam sejumlah kejadian, orang menjadikan SLB hanya sebagai tempat penitipan anak difabel,” kata Nina.
Baca Juga: Perluasan dan Pemerataan Sekolah Inklusif Tak Mudah
Menurut Nina, peran berlebih yang dibebankan pada guru SLB semakin berat ketika ada orangtua yang berharap anaknya bisa meningkatkan kemampuan, baik akademik maupun non-akademik. Ekspektasi tersebut membuat anak menjadi tertekan, apalagi tidak semua orangtua mengerti tentang anaknya.
Biasanya anak penyandang tunagrahita berpotensi dalam kegiatan non-akademik. Karena itu, Nina kerap memberikan pelatihan di bidang olahraga dan seni.
”Biasanya ketika mereka bisa menguasai salah satu bidang, anak-anak semakin percaya diri,” ujar Nina.
Menurut Nina, mengarahkan anak pada kegiatan non-akademik akan melatih mental dan merasa memiliki satu kemampuan yang dibanggakan. Ia juga menganjurkan kepada para orangtua agar tidak mendikte pilihan anak.
Sementara itu, guru lainnya di SLB Dian Kahuripan, Yance Rahdiani (42) mengungkapkan, menjadi pengajar murid penyandang disabilitas harus memiliki kesabaran dan kreativitas berlebih.
”Saya mengajar di kelas tunarungu. Pembelajaran yang diberikan biasanya sering berulang sehingga kami harus ekstra sabar dan kreatif untuk target pembelajaran,” ujarnya.
Baca Juga: Nuraga untuk Mereka yang Berbeda…
Pendidik di sekolah inklusi
Sekolah Menengah Atas Diponegoro Jakarta menjadi salah satu sekolah yang menerima murid penyandang disabilitas. Wakil Kepala Sekolah Bidang Akademik SMA Diponegoro Robi Amarullah mengatakan, kendati tidak dilabeli secara resmi sebagai sekolah inklusi, sejak 2007 mereka menerima anak berkebutuhan khusus, baik itu disabilitas fisik, sensorik, intelektual, maupun mental.
”Dalam keseharian murid difabel mendapatkan layanan pendidikan yang sama dengan murid reguler. Mereka dibiasakan bersosialisasi di lingkungan yang normal,” kata Robi, Kamis (22/6/2023).
Robi menjelaskan, setiap orangtua harus menunjukkan surat keterangan jika anaknya memiliki keterbatasan. Dengan demikian, sekolah akan melakukan penyesuaian, seperti standar nilai kriteria ketuntasan nilai (KKM) bagi anak penyandang disabilitas intelektual.
Hal ini dilakukan agar anak tidak mendapat tekanan berlebih untuk mencapai target nilai. Dengan demikian orangtua juga bisa turut menerima hasil yang diperoleh anaknya.
Status disabilitas hanya sebagai diagnosis, sedangkan dalam keseharian proses belajar akan diberikan perlakuan sama.
”Biasanya ada penyesuaian nilai KKM sehingga mereka diberikan standar tersendiri. Hal ini tidak terlepas koordinasi dan mendengarkan masukan guru BK (bimbingan konseling),” kata Robi.
Namun, lanjut Robi, sekolah kerap terkendala orangtua yang menutupi keterbatasan anaknya. Kendati demikian, sekolah tetap berupaya melakukan diagnosis sehingga pihaknya tetap bisa memberikan penyesuaian.
Selain orangtua, tenaga pendidik punya peran penting untuk memastikan tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas. Baik di sekolah khusus maupun sekolah reguler, pembinaan yang tepat akan berpengaruh positif bagi anak.
Pendidikan menjadi hak semua warga negara, tanpa terkecuali. Hak pendidikan bagi penyandang disabilitas dijamin dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Anak difabel bisa memperoleh pendidikan lewat Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun sekolah inklusi.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2021, baru 12,26 persen dari total penyandang disabilitas usia 5-19 tahun (sekitar 2,2 juta orang) yang menikmati layanan pendidikan formal.
Baca Juga: Sekolah Inklusi Impian bagi Penyandang Disabilitas
SMA Diponegoro juga memastikan guru diberikan pemahaman dalam menangani murid penyandang disabilitas. Beberapa di antaranya mengikuti program Guru berstatus Pendamping khusus (GPK). Salah satu GPK Muhamad Zulkarnain (38) mengatakan, dalam mendidik anak difabel tidak boleh diskriminatif. Status disabilitas hanya sebagai diagnosis sedangkan dalam keseharian proses belajar akan diberikan perlakuan sama.
Dalam sembilan tahun terakhir menjadi guru, dia beberapa kali harus mengajar di kelas dengan murid penyandang disabilitas. Guru harus lebih sabar dalam memberikan pengajaran. Di sisi lain, guru tidak boleh terlihat menunjukkan perlakuan istimewa kepada murid penyandang disabilitas.
Zulkarnain menyebutkan, fenomena yang paling sering ditanganinya adalah anak dengan disabilitas lambat belajar (slow learner) dan gangguan emosional.
Baca Juga: Sekolah Ramah Anak Berkebutuhan Khusus Dapat Diwujudkan
Di dalam kelas, guru akan mengatur formula pembelajaran yang bisa diterima oleh anak difabel. Di sisi lain, guru juga harus memastikan murid yang lain tidak terganggu dengan siasat yang dilakukan oleh guru.
”Misalnya saat pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Jika anak lain menulis cerita tentang toleransi, yang difabel diarahkan untuk menggambar yang berkaitan dengan toleransi,” ujar Zulkarnain.
Untuk memastikannya kenyamanan murid difabel, SMA Diponegoro menetapkan aturan tegas. Bagi murid yang melakukan aksi perundungan akan dikeluarkan dari sekolah.
Selain itu, pihak sekolah harus memberikan pemahaman jika terjadi penolakan dari orangtua dari murid reguler yang gusar jika anaknya sekelas dengan murid difabel.
”Kami selalu memberikan pemahaman kepada semua pihak, termasuk orangtua, bahwa penyandang disabilitas itu bukan penyakit berbahaya dan menular. Tidak boleh ada pembatasan. Itu terlihat, anak-anak bisa bersama hingga lulus,” kata Robi.