Mereka Terus Bersuara Menggugah Nurani Wakil Rakyat
Desakan kepada DPR dan pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT menjadi UU tak kunjung berhenti.
Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional yang diperingati setiap 16 Juni menjadi momentum untuk kembali mengingatkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, betapa mendesaknya kehadiran Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Sudah saatnya mengakhiri perjalanan legislasi yang hampir mendekati dua dekade.
Pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi Undang-Undang PPRT merupakan pintu masuk negara untuk memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga, pemberi kerja, hingga lembaga penyalur.
Karena itulah, seharusnya pengesahan UU PPRT yang sudah di ambang pintu segera diwujudkan. Apalagi, proses penyusunan draf daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU PPRT di tingkat pemerintah sudah rampung semenjak pertengahan Mei 2023.
Baca juga: Daftar Inventarisasi Masalah RUU Perlindungan PPRT Selesai Disusun
Demi percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT, proses penyusunan draf DIM RUU PPRT pun dikebut tim pemerintah, yang kemudian menyerahkan kepada DPR. Namun, sejak dibuka masa sidang DPR pada akhir Mei hingga pertengahan Juni 2023 ini, tanda-tanda pembahasan RUU PPRT masuk agenda pembahasan tak kunjung muncul.
Karena itulah, sejumlah kalangan, termasuk tokoh agama dan masyarakat, kembali bersuara untuk mengugah hati para wakil rakyat agar segera mewujudkan UU PPRT. Peringatan Hari PRT Internasional 2023 menjadi momen untuk menyuarakan dukungan kepada PRT.
Pada acara Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dengan topik ”Mewujudkan UU PPRT: PRT Terlindungi, Pemberi Kerja Terjamin”, Kamis (15/6/2023), secara daring, para tokoh mengimbau pemerintah dan DPR agar segera mengesahkan UU PPRT.
”Kita harusnya sadar RUU PPRT ini sudah terlalu lama. Karena itu, saya ingin mengetuk hati nurani sahabat-sahabat saya di parlemen, sudah waktunya perjuangan ini berakhir dengan sebuah kemenangan,” tegas Musdah Mulia, Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
Selain akan memberikan pengakuan dan penghargaan kepada profesi PRT, Musdah menegaskan, dengan berlakunya UU PPRT, akan membuka mata masyarakat dan pemangku kebijakan bahwa sebenarnya pekerjaan PRT bukan pekerjaan sederhana.
”Jadi PRT bukan pekerjaan abal-abal yang gampang, tapi pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan tenaga seperti pekerjaan yang lain. Dengan UU PPRT, pada ujungnya kita semua akan menghargai pekerjaan RT. Jadi, kalau misalnya ada yang memilih jadi ibu RT, itu patut kita hargai, jangan dikatakan tidak punya pekerjaan,” kata Musdah.
Jadi PRT bukan pekerjaan abal-abal, yang gampang, tapi pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan tenaga seperti pekerjaan yang lain. UU PPRT pada ujungnya kita semua akan menghargai pekerjaan RT.
Karena itulah, UU PPRT bukan hanya diperlukan, melainkan juga merupakan sebuah kewajiban negara. Sebab, tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada semua warga tanpa diskriminasi apa pun.
Selain Musdah, ada juga beberapa tokoh dan aktivis seperti Pendeta Gomar Gultom (Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), Rinawati Prihatiningsih (Wakil Ketua Umum DPP Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia), Sandrayati Moniaga (Komisioner Purnabakti Komnas Hak Asasi Manusia), Uni Zulfiani Lubis (jurnalis senior), Siti Mazumah (Dewan Pengurus Nasional Forum Pengada Layanan), Margianta Surahman (aktivis Muda), dan Fajar (PRT Migran/Ganas Community Taiwan).
Pdt Gomar Gultom prihatin melihat lambatnya proses RUU PPRT di DPR. RUU itu sangat penting karena fakta di depan mata betapa nasib PRT tidak ada kepastian tanpa perlindungan. Lemahnya kehadiran negara dalam melindungi warga negara, termasuk PRT.
”Kita menyaksikan betapa rentannya PRT selama ini, kebanyakan bekerja 24 jam, tidak punya libur, dan mendapat perlakuan sangat menggenaskan, dan tidak ada perlindungan sama sekali, kesejahteraan, masa tuanya, sepenuhnya sangat tergantung pada kemurahan hati majikannya,” kata Gomar.
Praktik kekeluargaan, menurut Gomar, terdengar indah karena PRT masuk dalam sistem kekeluargaan. Akan tetapi, hal tersebut sumir karena kemudian nasib PRT sangat bergantung pada kemurahan hati majikannya. Padahal, PRT membutuhkan perlindungan, yang sampai saat ini belum ada payung hukumnya.
Sandrayati Moniaga berharap semakin cepat pembahasan dan pengesahan UU PPRT, semakin cepat juga perlindungan terhadap PRT, dan berharap tidak ada lagi PRT yang menjadi korban kekerasan dan pelanggaran HAM.
”Pesan kepada DPR yang kita hormati: cukuplah penderitaan teman-teman PRT yang menjadi korban pelanggaran HAM selama ini. Jangan kita biarkan ada korban-korban lain. Anda semua akan selalu dikenang apabila segera mengesahkan RUU PPRT saat ini. Justice delayed is justice denied, keadilan yang ditunda adalah keadilan yang ditiadakan,” ujar Sandrayati.
Hal yang sama ditegaskan komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Tiasri Wiandani. Pengesahan UU PPRT akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum di dalam relasi hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja serta memberikan posisi tawar bagi Indonesia di negara tujuan pekerja migran Indonesia (PMI) yang banyak bekerja sebagai PRT.
UU PPRT akan memberikan jaminan bagi PRT yang hingga kini nasibnya masih terlupakan. Selain sangat rentan menjadi korban berbagai kekerasan, mayoritas PRT sampai sekarang masih bekerja dengan upah di bawah standar kelayakan, tidak mendapat jaminan perlindungan ketenagakerjaan dan kesehatan serta hak libur/cuti.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan, selama periode 2005-2022 ada 2.344 kasus kekerasan terhadap PRT yang dilaporkan oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan. Sementara itu, Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung sebanyak 29 kasus PRT periode tahun 2017-2022, dengan bentuk kekerasan yang beragam, seperti kekerasan fisik dan gaji yang tidak dibayarkan kepada PRT.
Mencari keadilan
Hingga kini, kekerasan demi kekerasan masih menimpa PRT. Beberapa sampai ke pengadilan, seperti kasus penganiyaan yang menimpa PRT Siti Khotimah (23) asal Pemalang, Jawa Tengah, yang saat ini kasusnya tengah disidangkan di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Korban mengalami kekerasan berlapis, di antaranya kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual. Kekerasan yang dialami korban dilakukan secara berkelompok oleh majikannya sebagai pemberi kerja dan rekan kerjanya.
Baca juga Siti Khotimah, Pekerja Rumah Tangga yang Disiksa Majikan, Berjuang Mencari Keadilan
Selama berbulan-bulan, dia disiksa oleh majikan dan PRT lain saat bekerja di sebuah apartemen di Jakarta Selatan. Sejak Mei 2022, Siti disiram air panas, disundut puntung rokok, ditendang, dipukul, dirantai/diborgol, hingga disekap di kandang anjing.
Siksaan itu berakhir saat ia berhasil dibawa keluar dari apartemen majikannya pada 5 Desember 2022 dan pulang ke rumah pada 7 Desember 2022. Berbagai kekerasan yang dialaminya mendorong Siti dan keluarganya untuk mencari keadilan.
Siti hanyalah salah satu contoh PRT yang memperlihatkan bagaimana PRT di Tanah Air terus rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan. Padahal, di Tanah Air diperkirakan saat ini ada 5 juta PRT yang didominasi oleh perempuan. ”Kami berharap tidak akan ada lagi Siti Khotimah yang lain yang mengalami kekerasan,” ujar Siti Mazuma.
Veryanto Sitohang, komisioner Komnas Perempuan, menambahkan, dukungan untuk percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi UU terus meningkat dari berbagai pihak. Kelanjutan proses legislasi RUU PPRT masih menanti lampu hijau dari pimpinan DPR.
Semoga semua harapan yang disuarakan mendorong pengesahan UU PPRT. Selamat Hari PRT Internasional 2023.