Perkuat RUU Kesehatan untuk Menekan Prevalensi Perokok Anak
RUU Kesehatan dinilai dapat menjadi instrumen hukum yang kuat untuk melarang penjualan rokok eceran atau batangan. Harapannya, prevalensi merokok anak-anak menurun.
JAKARTA, KOMPAS — Rokok yang dijual batangan dan harganya murah memicu banyaknya anak yang merokok. Pemerintah perlu memperkuat aturan pengendalian produk tembakau, seperti menambah pembatasan penjualan rokok eceran dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan agar prevalensi perokok di Indonesia, khususnya pada remaja dan anak, menurun.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun meningkat, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 menargetkan angka perokok anak turun menjadi 8,7 persen pada 2024.
Hasil survei Tim Kerja Bidang Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bogor tahun 2019 menunjukkan, rata-rata siswa mengaku pertama kali merokok pada usia 12 tahun, 32 persen merokok konvensional dan 30,8 persen merokok elektronik. Sebanyak 21,4 persen siswa yang disurvei mengatakan masih merokok.
Pada tahun 2019, Kepala Seksi Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota BogorIka Lastyaningrum menyurvei 30 sekolah di Bogor dengan hasil yang cukup memprihatinkan.
Baca juga: Semua Daerah Ditargetkan Memiliki Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
Sekretaris Jenderal Forum Warga Kota Jakarta Tubagus Haryo Karbyanto pada webinar ”Diseminasi Hasil Penelitian Distribusi Spasio-Temporal Penyedia Rokok di Kota Medan, Bogor, dan Malang”, Rabu (14/6/2023), mengatakan, saat ini merupakan situasi tepat untuk mengendalikan jumlah perokok di Indonesia, yakni melalui RUU Kesehatan. RUU Kesehatan bisa menjadi landasan yang kuat untuk menangani persoalan pengendalian tembakau.
Menurut dia, perlu ada indikator-indikator pengendalian tembakau yang signifikan, seperti larangan penjualan rokok eceran dan penjualan rokok pada anak di bawah 18 tahun dalam RUU tersebut. Anak-anak harus menunjukkan identitas diri sebelum membeli rokok.
”Saat ini, perlu peraturan yang lebih konkret dan jelas, termasuk sanksi dan siapa pihak yang akan mengawasinya,” ujar Tubagus.
Namun, meski penjualan rokok pada anak dan penjualan rokok eceran dilarang, pemerintah juga harus memikirkan dampak pada petani tembakau dan pekerja yang terlibat. Untuk itu, perlu ada bantuan bagi petani tembakau untuk alih tanam dan bantuan untuk para pekerja beralih profesi.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan Benget Suragih mengatakan, berdasarkan data Sistem Produksi Terintegrasi (IPS) pada 2018, terdapat 107 negara yang telah melarang penjualan rokok eceran untuk menekan angka perokok. Di Indonesia, penjualan rokok eceran belum dilarang.
Benget mengatakan, larangan penjualan rokok batangan sebenarnya sudah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023. Salah satu isi keppres itu ialah terkait dengan perubahan PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang akan mengatur penjualan rokok batangan. PP ini merupakan turunan UU No 36/2009 tentang Kesehatan.
Meski demikian, revisi PP Noo 109/2012 belum dapat dilakukan karena perubahan UU Kesehatan sedang berproses. Bulan Juni ini, pembahasan RUU Kesehatan dengan DPR akan selesai. Baru setelah itu, PP turunan UU Kesehatan yang melarang penjualan rokok batangan akan segera dibahas.
Baca juga: Cukai Tidak Cukup Kendalikan Perokok
”Ini mungkin akan ada perdebatan panjang dengan industri rokok, Kementerian Perdagangan, yang tidak sepaham atau sepakat,” kata Benget.
Menurut Benget, larangan penjualan rokok eceran memerlukan kerja sama multisektor. Selain itu, juga perlu penegakan dan pengawasan yang kuat di lapangan.
Sofyansyah, Pengawasan Perdagangan Ahli Muda Kementerian Perdagangan, mengatakan, hal pertama yang perlu dilakukan untuk mengendalikan produk tembakau ialah memperkuat regulasi berikut sanksinya.
”Dalam hal ini, pedagang menjadi pelaku utama. Namun, kita tidak tahu apakah mereka berdagang untuk diri sendiri atau bekerja di orang lain. Untuk penerapan yang lebih efektif, produsen rokok juga dilarang atau dibatasi. Melalui si produsen, kita juga akan tahu distributornya yang terdaftar,” ujar Sofyan.
Warung rokok eceran
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia Renny Nurhasana menyebut, berdasarkan riset, jumlah warung rokok batangan di Kota Medan pada 2015-2022 meningkat 25 persen. Penambahan jumlah warung rokok batangan juga terjadi di Bogor, yaitu 5 persen pada periode 2015-2022. Begitu halnya di Malang yang naik 3,5 persen pada 2015-2022.
Ketiga kota tersebut memiliki kepadatan penduduk yang tinggi disertai perkembangan urbanisasi, perbaikan lingkungan, serta pertumbuhan perekonomian yang cukup signifikan.
Renny menambahkan, banyak anak di bawah usia 18 tahun tertarik dengan harga rokok eceran yang relatif murah. Jika membeli eceran, mereka juga tidak melihat bungkus rokok yang menunjukkan bahaya merokok.
Baca juga: Kawal Pembahasan RUU Kesehatan Terkait Pengendalian Tembakau
Direktur Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Makmur Marbun menyatakan, adanya regulasi pengendalian rokok tingkat daerah, seperti kawasan tanpa rokok, memang dapat menekan laju penjualan rokok batangan, tetapi belum dapat menurunkan kepadatan warung rokok batangan atau eceran.
Lokasi warung penjual rokok batangan memengaruhi keputusan seseorang untuk membuka penjualan serupa di area sekitarnya. Faktor lokasi sekolah juga berperan dalam mendorong peningkatan kepadatan warung penjual rokok batangan dan penyedia rokok elektronik.
Hal pertama yang perlu dilakukan untuk mengendalikan produk tembakau ialah memperkuat regulasi berikut sanksinya.
Memperkuat regulasi KTR
Menurut peneliti PKJS-UI, Risky Kusuma Hartono, berdasarkan penelitian, sebagian warung mendukung rencana pelarangan penjualan rokok batangan. Mereka juga mendukung implementasi larangan penjualan rokok kepada anak yang lebih jelas.
Risky menyarankan, pemerintah daerah segera melengkapi revisi peraturan daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dengan memasukkan klausul larangan penjualan rokok kepada anak-anak, baik penjualan rokok konvensional batangan maupun elektronik.
Selanjutnya, Kementerian Perdagangan perlu mengembangkan larangan penjualan rokok kepada anak. Ini bisa dilakukan dengan memasang pemberitahuan bahwa toko tidak menjual rokok kepada anak-anak, pembelian rokok harus menunjukkan KTP, dan melarang distributor menyediakan rokok batangan kepada warung.
Sementara dinas kesehatan dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dapat mengoptimalkan penegakan KTR melalui pajak rokok daerah. Selain memperbarui regulasi pengendalian produk tembakau di tingkat nasional dengan melarang penjualan rokok batangan, Kementerian Kesehatan juga dapat mendorong target KTR di tiap daerah hingga tahap implementasi.
Baca juga: Regulasi Pertembakauan Belum Optimal, Perokok Anak Meningkat
Pemerintah sebenarnya sudah meminta setiap daerah membuat regulasi KTR yang bermakna. Namun, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, hingga saat ini terdapat 12 provinsi yang belum memiliki peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah terkait KTR. Provinsi tersebut ialah Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya.
Sementara itu, Tenaga Ahli Fraksi PAN (Komisi VI DPR-RI) Yusran Isnaini menyampaikan perlunya pemerintah pusat dan daerah menyelaraskan kebijakan pembatasan merokok, khususnya bagi anak-anak dan remaja.