Diragukan, Komitmen Sebagian Besar Negara untuk Mencapai Emisi Nol Bersih
Suhu global terus meningkat. Namun, 35 negara, termasuk Indonesia, yang menyumbang lebih dari empat perlima emisi gas rumah kaca mendapat nilai rendah untuk rencana nol bersih mereka.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir semua dari 35 negara, termasuk Indonesia, yang menyumbang lebih dari empat perlima emisi gas rumah kaca global mendapat nilai rendah untuk rencana nol bersih mereka. Temuan ini sangat mengkhawatirkan karena indikator iklim terbaru juga menunjukkan, pemanasan global yang disebabkan oleh manusia terus meningkat pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dari empat pencemar karbon terbesar, hanya rencana Uni Eropa yang dianggap kredibel dalam rencana emisi nol bersih mereka, sedangkan China, Amerika Serikat, dan India dianggap kurang. Indonesia termasuk yang dinilai belum memadai.
Dalam studi baru, yang dipimpin oleh para peneliti Imperial College London dan diterbitkan di jurnal Science pada Kamis (8/6/2023), para peneliti merekomendasikan negara-negara untuk membuat target penurunan emisi mereka mengikat secara hukum dan mendukungnya dengan rencana jangka panjang dan kebijakan implementasi jangka pendek. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan kemungkinan dampak terburuk perubahan iklim.
Peneliti utama Joeri Rogelj yang juga menjadi Direktur Institut Grantham di Imperial College London, mengatakan, "Kebijakan iklim bergerak dari menetapkan target yang ambisius menjadi mengimplementasikannya. Namun, analisis kami menunjukkan sebagian besar negara tidak memberikan keyakinan yang tinggi bahwa mereka akan memenuhi komitmen mereka."
Mayoritas negara telah menetapkan target untuk menghilangkan jejak karbon mereka sekitar pertengahan abad, dengan komitmen dari China dan India masing-masing untuk tahun 2060 dan 2070. Indonesia juga telah berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060.
Sejauh mana Bumi tetap ramah di dunia yang memanas sangat bergantung pada apakah janji ini ditepati, tetapi menilai kredibilitasnya terbukti sulit. Para peneliti menemukan, banyak emisi nol bersih yang dibuat kurang detail, dan beberapa negara bahkan tidak menentukan apakah mereka hanya mencakup karbon dioksida (CO2) atau gas penting lainnya yang menghangatkan planet, seperti metana dan dinitrogen oksida.
Ketidakpastian ini pada gilirannya mengacaukan upaya memproyeksikan peningkatan suhu global. Jika rencana jangka pendek dan jangka panjang dari semua negara itu dijalankan, masih ada peluang pemanasan global dapat stabil dalam kisaran kritis antara 1,5 derajat celsius dan 2 derajat celsius.
Namun jika hanya berupa kebijakan dan janji-janji yang tidak jelas penerapannya, suhu global cenderung meningkat antara 2,5 derajat celsius dan 3 derajat celsius di akhir abad ini.
Jalur berisiko tinggi
Dalam kajian ini, para peneliti menemukan, beberapa negara Uni Eropa Inggris dan Selandia Baru mendapat penilaian tertinggi. Akan tetapi sekitar 90 persen negara yang dinilai, termasuk Amerika Serikat (AS) dan China, yang bersama-sama menyumbang lebih dari sepertiga emisi global, mendapat penilaian rendah. Australia termasuk berada di tingkat paling tidak kredibel.
Kebijakan iklim bergerak dari menetapkan target yang ambisius menjadi mengimplementasikannya. Namun, analisis kami menunjukkan sebagian besar negara tidak memberikan keyakinan yang tinggi bahwa mereka akan memenuhi komitmen mereka.
Sebagian besar negara berkembang utama dunia, seperti Brasil, India, Afrika Selatan, India, dan Indonesia juga mendapat peringkat rendah, begitu pula negara-negara Timur Tengah, seperti Mesir dan Uni Emirat Arab, yang masing-masing menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-27 atau COP27 tahun lalu dan COP28 di Dubai pada bulan Desember mendatang.
Menurut laporan ini, sepertiga dari 35 negara memiliki kebijakan net zero yang diabadikan dalam undang-undang. "Membuat target yang mengikat secara hukum amat penting untuk memastikan rencana jangka panjang diadopsi. Kita perlu melihat undang undang yang konkret untuk percaya bahwa tindakan akan mengikuti janji," kata rekan penulis Robin Lamboll, dari Centre for Environmental Policy, Imperial College.
Menurut mereka, rencana yang menunjukkan bagaimana pemotongan emisi akan didistribusikan dari waktu ke waktu di semua sektor ekonomi dan sosial merupakan kunci untuk mencapai target nol emisi.
Indikator Iklim
Ketika komitmen penurunan emisi negara-negara diragukan, data menunjukkan pemanasan global yang disebabkan oleh manusia terus meningkat pada "tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya" sejak penilaian besar terakhir dari sistem iklim yang diterbitkan dua tahun lalu. Sebanyak 50 ilmuwan terkemuka menulis temuan terbaru mereka mengenai perkembangan terkini pemanasan global ini di Earth System Science Data pada hari yang sama.
Mengingat kecepatan perubahan sistem iklim global, para ilmuwan berpendapat pembuat kebijakan, negosiator iklim, dan kelompok masyarakat sipil perlu memiliki akses ke bukti ilmiah terkini dan kuat untuk mendasari keputusan. Sebelumnya, sumber otoritatif informasi ilmiah berasal dari laporan berkala Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC).
Namun, penilaian yang dikeluarkan tiap lima atau sepuluh tahun itu menciptakan kesenjangan informasi, terutama ketika indikator iklim berubah dengan cepat.
Para ilmuwan dipimpin Piers Forster, Direktur Priestley Center for Climate Futures, University of Leeds, mengembangkan platform sains terbuka berupa Indikator Perubahan Iklim Global dan situs https://igcc.earth/ yang akan diperbarui tiap tahun. "Ini jadi dekade kritis perubahan iklim. Keputusan yang dibuat sekarang akan berdampak pada seberapa banyak suhu akan naik dan tingkat keparahan dampak sebagai hasilnya," kata Forster.
Para ilmuwan mengungkapkan bagaimana indikator kunci telah berubah sejak publikasi laporan Kelompok Kerja Penilaian Keenam IPCC 1 pada tahun 2021, yang menghasilkan data kunci yang dimasukkan ke dalam Laporan Sintesis Keenam IPCC berikutnya.
Dalam Indikator Perubahan Iklim Global yang diperbarui ini, pemanasan yang disebabkan oleh manusia, sebagian besar bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil, kini mencapai rata-rata 1,14 derajat celsius selama dekade terakhir (2013 hingga 2022) di atas tingkat pra-industri. Hal ini naik dari 1,07 derajat celsius antara 2010 dan 2019. Pemanasan yang disebabkan oleh manusia sekarang meningkat dengan kecepatan lebih dari 0,2 derajat celsius per dekade.
Analisis tersebut juga menemukan bahwa emisi gas rumah kaca mencapai titik tertinggi sepanjang masa, yaitu setara dengan 54 gigaton karbon dioksida setiap tahun selama dekade terakhir (2012-2021).