Presiden baru saja menegaskan komitmen untuk penstopan operasi semua PLTU batubara pada 2050. Namun, ada berbaga tantangan dalam mewujudkan itu, termasuk masih tingginya ketergantungan akan batubara.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Akivitas di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (11/10/2021). PLTU Sintang salah salah satu lokasi yang memiliki ketersediaan bahan bakar co-firing dalam hal ini cangkang sawit yang besar.
Diskusi peralihan dari energi fosil ke energi bersih terus menguat seiring komitmen Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060 atau lebih cepat. Pada 2050, ditargetkan sudah tak ada lagi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU di Indonesia. Dengan sederet tantangan yang ada, siapkah Indonesia?
Terbaru, komitmen tersebut ditegaskan Presiden Joko Widodo dalam pameran industri Hannover Messe 2023, Jerman, pertengahan April lalu. Kendati sempat menyebut ”2025”, Presiden bermaksud menyampaikan bahwa seluruh pembangkit batubara di Indonesia akan ditutup pada 2050.
Disaksikan Kanselir Jerman Olaf Scholz, dalam pidato itu Presiden mengundang para investor Jerman, negara dengan perekonomian terbesar di Eropa, untuk menanamkan modalnya dalam pembangunan ekonomi hijau di Indonesia. Dukungan investasi dari negara-negara lain akan sangat dibutuhkan dalam agenda transisi energi di Tanah Air.
Penegasan pengakhiran dini operasi PLTU tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang diundangkan pada 13 September 2022.
Sementara itu, jika menilik kondisi saat ini, melepaskan diri dari batubara bukanlah perkara mudah. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2022, batubara berperan 67,21 persen dalam bauran energi pembangkit atau melebihi target APBN Perubahan 2022 yang 66 persen.
Batubara juga berperan membentuk harga listrik saat ini. Pasalnya, ada kebijakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) batubara untuk kelistrikan. Harga batubara DMO dipatok 70 dollar AS per ton. Dengan demikian, dalam mengamankan pasokan, PLN tak terpengaruh tingginya harga batubara internasional.
Pakar energi dari Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Guru Besar Bidang Teknik Mesin Fakultas Teknik UGM Deendarlianto mengatakan, melihat besarnya peran batubara, pengakhiran dini operasi PLTU tak bisa sekejap mata. Pelaksanaannya perlu bertahap.
Oleh karena itu, langkah yang perlu dilakukan ialah dengan terus menggenjot pengurangan batubara dengan penggunaan biomassa untuk pencampuran batubara pada PLTU (co-firing). Menurut analisis Deendarlianto, dari sisi teknis, upaya bertahap penggunaan biomassa sebagai bahan campuran bersama batubara bisa diterapkan hingga nantinya sebesar 15 persen (porsi biomassa dalam co-firing).
Masih menurut Deendarlianto, strategi dalam meningkatkan peran energi terbarukan bukan dengan mengganti pembangkit barubara secara mendadak. Namun, saat ada penambahan permintaan daya listrik langsung disubstitusi seoptimal mungkin dengan sumber energi terbarukan. Dengan demikian, saat teknologi dan industrinya semakin matang, optimalisasi energi terbarukan bisa stabil.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Truk membawa cangkang sawit yang digunakan untuk campuran bahan bakar batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Selasa (12/10/2021). Alat berat mencampur batubara dengan cangkang sawit di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (11/10/2021). PLTU Sintang yang memiliki kapasitas terpasang 21 megawatt (MW) menggunakan bahan bakar co-firing atau pencampuran biomassa dengan batubara dalam hal ini cangkang sawit. Penggunaan cangkang sawit membantu meningkatkan bauran energi terbarukan.
Target pemerintah bahwa tidak akan ada lagi PLTU batubara yang beroperasi pada 2050 cukup ambisius. Bagaimanapun, dengan memperhatikan kondisi yang terjadi saat ini, pengembangan energi terbarukan harus terus dipacu. Terlebih potensi energi terbarukan di Indonesia sangatlah besar, salah satunya pada panas bumi.
Perlu cermat
Mengenai pengakhiran dini operasi PLTU, Pemerintah Indonesia telah mendapat komitmen pendanaan, antara lain, melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM). Komitmen itu disepakati saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022.
Sekretariat JETP untuk Indonesia di Kementerian ESDM, Jakarta, pun telah diresmikan pada pertengahan Februari 2022. Komitmen dukungan lewat JETP itu senilai 20 miliar dollar AS. Adapun proyek-proyek transisi energi yang akan didanai masih disusun dalam beberapa bulan ke depan. Bentuknya beragam, baik berupa hibah, pinjaman, maupun bantuan.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjamin bahwa pengakhiran dini operasi PLTU batubara tidak akan merugikan pengusaha pemilik pembangkit listrik. Menurut dia, pemerintah tengah menyusun lini masa ”pensiun dini” PLTU di Indonesia. PLTU tersebut bakal digantikan dengan sumber energi yang lebih bersih.
Sekiranya, diperlukan penghitungan yang matang demi mencapai target ambisius di 2050 tersebut. Jangan sampai ambisi itu bakal mengorbankan keterjangkauan energi dalam hal pasokan dan harga.