Satu dari dua peserta didik di Tanah Air belum mencapai kompetensi minimum literasi. Penguatan literasi diperlukan untuk mengatasi krisis pembelajaran.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Krisis pembelajaran di Indonesia tidak terbantahkan. Hal ini tergambar dari rendahnya kompetensi dasar siswa, salah satunya literasi. Penguatan literasi sangat dibutuhkan untuk mendukung pemulihan pembelajaran.
Pelaksana Tugas Direktur Sekolah Menengah Pertama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) I Nyoman Rudi Kurniawan mengatakan, berdasarkan Asesmen Nasional 2021, satu dari dua peserta didik di Tanah Air belum mencapai kompetensi minimum literasi. Sementara dua dari tiga siswa belum mencapai kompetensi minimum numerasi.
“Kita sekarang mengalami krisis pembelajaran di mana kualitas hasil belajar masih menjadi tantangan yang paling besar,” ujarnya dalam webinar "Pemulihan Pembelajaran Episode 5", Selasa (6/6/2023).
Sejumlah episode kebijakan Merdeka Belajar pun diharapkan memulihkan krisis pembelajaran yang semakin parah akibat pandemi Covid-19. Sejak diterapkan tiga tahun lalu, program ini telah meluncurkan 24 episode yang meliputi berbagai aspek, seperti kurikulum, peningkatan kualitas guru, dan pengembangan satuan pendidikan.
“Kita ingin mengetahui bagaimana bentuk dukungan memulihkan pembelajaran dengan menguatkan kompetensi fondasi, khususnya literasi,” ucapnya.
Rudi menuturkan, terdapat lima dukungan dari Kemendikbudristek untuk memperkuat literasi. Pertama, mengangkat kepala sekolah dan pengawas sekolah dari program Guru Penggerak. Program ini diharapkan menempa guru sebagai pendorong transformasi pendidikan di Indonesia.
Dukungan kedua dengan menempatkan mahasiswa peserta program Kampus Merdeka di SD dan SMP yang menjadi prioritas untuk diintervensi. Ketiga, menyediakan dan mendistribusikan buku bacaan bermutu di sekolah prioritas.
Pemetaan awal kemampuan siswa dalam membaca menjadi pintu masuk untuk membentuk kompetensi literasi. Sebab, dengan begitu, rancangan pembelajaran akan berbasis data asesmen. Metode belajar pun disesuaikan dengan metode dan media belajar yang relevan.
Dua dukungan lainnya adalah bekerja sama dengan mitra pembangunan dan melakukan advokasi perencanaan berbasis data khususnya untuk membenahi kompetensi dasar literasi. “Kelima dukungan ini penting untuk meningkatkan literasi,” ucapnya.
Buku saku
Dalam webinar itu juga diluncurkan dua buku saku untuk menjadi inspirasi membenahi literasi. Kedua buku itu berjudul Benahi Literasi Melalui Pembelajaran dan Asesmen serta Benahi Literasi Melalui Lingkungan Belajar. Buku tersebut bisa diakses dan diunduh melalui laman ditsmp.kemdikbud.go.id/panduan-direktorat.
Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang, Titik Harsiati, mengatakan, buku saku itu diharapkan memudahkan pendidik dalam membenahi literasi siswa. Buku berjudul Benahi Literasi Melalui Pembelajaran dan Asesmen berisi tentang berbagai hal, di antaranya merancang pembelajaran, cara melakukan asesmen, dan kekayaan referensi karena dihubungkan dengan Platform Merdeka Mengajar.
“Buku ini diperuntukkan bagi pejuang literasi yang barangkali mulai lelah berjuang mati-matian, tetapi hasilnya Asesmen Nasional-nya rendah. Jangan frustasi, kita sama-sama cari solusi,” katanya.
Pemetaan awal kemampuan siswa dalam membaca menjadi pintu masuk untuk membentuk kompetensi literasi. Sebab, dengan begitu, rancangan pembelajaran akan berbasis data asesmen. Metode belajar pun disesuaikan dengan metode dan media belajar yang relevan.
Pembelajaran literasi harus terdiferensiasi karena kemampuan setiap siswa berbeda. Jadi, dibutuhkan bahan ajar multimoda sesuai jenjang kemampuan siswa.
“Sebelum menjalankan program penguatan literasi, guru semestinya mengetahui kesiapan belajar, minat, dan emosi siswa. Kalau belajar membaca dengan emosi yang baik, prosesnya akan lebih mudah dan menyenangkan,” ujarnya.
Mispersepsi
Titik menambahkan, masih terdapat mispersepsi terkait tanggung jawab literasi siswa. Tanggung jawab ini sering kali hanya dibebankan kepada guru bahasa Indonesia.
“Padahal tidak begitu. Sebetulnya, literasi, numerasi, dan karakter menjadi tanggung jawab semua guru mata pelajaran. Para guru bisa berbagi peran. Guru bahasa Indonesia, misalnya, mengenalkan struktur teks, guru lainnya bisa membantu siswa agar lancar membaca,” jelasnya.
Konsultan Literasi Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek Billy Antoro menyebutkan, buku saku Benahi Literasi Melalui Lingkungan Belajar membantu menata ekosistem belajar bagi siswa untuk meningkatkan kapasitas literasi dan numerasi. Buku ini terdiri dari empat bagian, yaitu menumbuhkan minat baca siswa, membangun lingkungan kaya teks, membangun lingkungan belajar yang kaya kegiatan literasi, serta membangun kecakapan berpikir melalui aktivitas membaca.
Menurut Billy, dengan beraneka warna serta dilengkapi ilustrasi, buku saku itu tidak membosankan untuk dibaca. Selain itu, lebih gampang dicerna karena memakai konsep tanya-jawab.
“Buku ini juga kaya referensi dengan dilengkapi beberapa rujukan, baik dalam bentuk teks cetak maupun audio visual (melalui link),” ucapnya.