Ulah manusia telah menyebabkan Bumi melewati hampir seluruh batas aman untuk mendukung kehidupan.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
Laporan terbaru ilmuwan internasional yang tergabung dalam Earth Commission pada 31 Mei 2023 di jurnal Nature menunjukkan bahwa Bumi, satu-satunya tempat di mana kita bisa tinggal, mulai kehilangan daya dukungnya terhadap kehidupan yang aman dan adil.
Tim yang terdiri atas 51 ilmuwan ini menciptakan batasan terukur untuk setiap kategori lingkungan, baik yang aman untuk planet ini maupun titik di mana ia menjadi berbahaya bagi sekelompok orang yang oleh para peneliti disebut sebagai masalah keadilan.
”Kita berada di zona bahaya untuk sebagian besar batas sistem Bumi,” kata anggota tim peneliti, Kristie Ebi, seorang profesor iklim dan kesehatan masyarakat di University of Washington, dalam keterangan pers.
Generasi yang lahir antara 1946-1964 ini memiliki jejak iklim terbesar, di antaranya ditandai dengan percepatan kenaikan emisi dan suhu yang dimulai sejak 1970-an.
Jika planet Bumi baru saja melakukan pemeriksaan menyeluruh, mirip dengan pemeriksaan fisik seseorang, ”Dokter akan mengatakan bahwa Bumi benar-benar sakit saat ini dan sakit dalam banyak area atau sistem yang berbeda dan penyakit ini juga memengaruhi orang yang hidup di Bumi,” kata ketua tim peneliti Earth Commission, Joyeeta Gupta, seorang profesor lingkungan di Universitas Amsterdam.
Dalam studi ini, para peneliti menganalisis kondisi terkini dari batasan yang membuat Bumi layak huni, yaitu iklim, biosfer, siklus air dan nutrisi, serta kualitas udara pada skala global dan subglobal. Hanya kondisi udara yang dinilai tidak berada pada titik bahaya secara global.
Sebagian udara di Bumi memang masih aman. Namun, jika dilihat dari dimensi keadilan, banyak wilayah yang kualitas udaranya sangat buruk sehingga membahayakan kesehatan jutaan orang, dengan kelompok rentan yang terkena dampak secara tidak proporsional. Setidaknya 4,2 juta orang meninggal per tahun karena terpapar polusi partikel halus PM 2,5.
Untuk batas iklim, kita tahu bahwa tujuan Perjanjian Paris adalah menjaga kenaikan suhu tidak melebihi 1,5 derajat celsius dibandingkan suhu Bumi pra-industri (1850-1900) guna menghindari titik kritis iklim yang berbahaya. Laporan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia menyebutkan, rekor panas terus terpecahkan dan titik kritis 1,5 derajat celsius kemungkinan bakal terlampaui dalam lima tahun mendatang.
Bahkan sekarang, dengan pemanasan 1,2 derajat celsius, banyak orang di dunia telah dilanda bencana terkait iklim, seperti panas ekstrem, kebakaran hutan dan lahan, banjir parah, dan kekeringan. Para petani di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, misalnya, tidak bisa lagi bekerja di siang hari karena panas yang membakar. Secara keseluruhan, tingkat kematian populasi akibat serangan panas juga meningkat (Kompas, 4/7/2023).
Ironisnya, mereka yang paling rentan terdampak krisis iklim saat ini umumnya memiliki jejak karbon paling kecil. Ketimpangan jejak karbon ini diungkap dalam laporan penelitian yang dilakukan Institute for European Environmental Policy dan The Stockholm Environment Institute (2021). Dengan gaya hidup mewah seperti bepergian menggunakan pesawat jet atau kapal pesiar pribadi, 1 persen dari populasi di Bumi yang masuk kategori terkaya rata-rata melepaskan 70 ton karbon dioksida per orang per tahun. Sementara itu, 50 persen orang termiskin di Bumi akan melepaskan rata-rata 1 ton CO2 per tahun.
Sementara itu, biosfer yang sehat terjadi jika planet ini bisa menyimpan karbon, menjaga siklus air global dan kualitas tanah, melindungi keragaman hayati, termasuk hewan penyerbuk, dan banyak jasa ekosistem lainnya. Untuk melindungi jasa-jasa ini, kita membutuhkan 50-60 persen daratan dunia dalam kondisi ekosistem alami.
Namun, nyaris tak ada lagi ekosistem yang belum terjamah manusia. Degradasi lingkungan telah menyebabkan daya dukung biosfer untuk menyangga kehidupan terus berkurang dan manusia telah mendesak spesies lain ke tubir kepunahan.
Penelitian Rodolfo Dirzo dalam jurnal Science (2014) menyebutkan, 322 spesies hewan bertulang belakang (vertebrata) punah sejak tahun 1500 dan yang tersisa menurun populasinya hingga 25 persen. Hewan tak bertulang belakang (invertebrata) sama saja: dari 67 persen jenis yang diketahui, 45 persen anjlok populasinya.
Sistem air tawar di Bumi juga telah goyah dengan manusia menggunakan lebih banyak air daripada yang dapat disediakan oleh siklus air alami. Lebih dari sepertiga populasi dunia sekarang hidup dengan kelangkaan air, yang berarti permintaan air di wilayah mereka melebihi pasokan terbarukan setidaknya selama satu bulan dalam setahun. Menurut UN Water, pada tahun 2025, kondisi ini bisa dialami setengah dari populasi dunia.
Batas aman kehidupan dan keadilan tidak dapat dipisahkan. Kondisi tidak aman tidak perlu mencakup sebagian besar wilayah Bumi, terutama jika kondisi tidak aman terkonsentrasi di dalam dan di dekat komunitas miskin dan rentan.
Laporan terbaru ini memang bukan diagnosis akhir. Para ilmuwan masih menyerukan optimismenya bahwa planet ini dapat pulih jika kita berubah, terutama dengan secepatnya menghentikan penggunaan batubara, minyak, dan gas alam serta memperbaiki cara kita memperlakukan tanah dan air.
Perubahan itu terutama diharapkan terjadi di kalangan baby boomer, yang saat ini memegang tampuk kuasa ekonomi dan politik. Menurut kajian Heran Zheng dan tim di jurnal Nature Climate Change(2022),generasi yang lahir antara 1946-1964 inimemiliki jejak iklim terbesar, di antaranya ditandai dengan percepatan kenaikan emisi dan suhu yang dimulai sejak 1970-an. Jangan sampai generasi penerus mewarisi Bumi yang tidak layak huni....