Ketersediaan SPKLU Mempercepat Pertumbuhan Ekosistem Kendaraan Listrik
Ketersediaan SPKLU di Indonesia sangat berpengaruh dalam pertumbuhan ekosistem kendaraan listrik. Jumlah SPKLU di Indonesia mencapai 842 unit dan ditargetkan akan terpasang sebanyak 3.000 unit pada tahun ini.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mempercepat pencapaian target emisi nol bersih di antaranya bisa dilakukan dengan membangun ekosistem kendaraan listrik. Ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU di Indonesia sangat berpengaruh dalam pertumbuhan ekosistem kendaraan listrik.
Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko mengatakan, pemerintah telah memiliki dua instrumen regulasi untuk membentuk ekosistem kendaraan listrik. Pertama, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2019 mengenai Percepatan Pembangunan Kendaraan Listrik di Indonesia. Kedua, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 yang mengharuskan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan TNI-Polri untuk bertransisi menuju kendaraan listrik.
Sebagai pemicu bagi berkembangnya industri kendaraan listrik, regulasi ini dinilai memberikan harapan dan jaminan bagi investor untuk mengembangkan kendaraan listrik di Indonesia. Sementara sebagai pemacu, regulasi ini diharapkan bisa mendorong masyarakat untuk membeli kendaraan listrik. Apalagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah merilis Peraturan Menteri Keuangan mengenai subsidi untuk pembelian kendaraan listrik, khususnya sepeda motor listrik.
Indonesia dan seluruh negara dituntut untuk mempercepat upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
”Kalau instrumennya sudah ada, berikutnya adalah pengembangan industri kendaraan listrik. Industri akan bertumbuh dengan baik apabila SPKLU tersedia. Jangan sampai mengembangkan mobil listrik tetapi SPKLU-nya belum ada, atau SPKLU-nya dibangun, tapi mobil listriknya belum tersedia,” ujar Moeldoko dalam Forum Medan Merdeka Barat 9 (FMB9) dengan tema ”Ekosistem Menuju Energi Bersih” secara daring di Jakarta, Senin (5/6/2023).
Saat ini, jumlah SPKLU di Indonesia mencapai 842 unit dan ditargetkan akan terpasang 3.000 unit selama tahun ini. Moeldoko mengatakan, perlunya dukungan ketersediaan SPKLU dari PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero). Keterlibatan dua lembaga tersebut cukup intens untuk mewujudkan ekosistem energi bersih.
”Masalah pendanaan menjadi hal yang tidak kalah penting untuk memajukan industri kendaraan listrik. Sejauh ini, sosialisasi pembiayaan terhadap kendaraan listrik belum terlalu masif,” kata Moeldoko.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-42 pada 9-11 Maret 2023 lalu, negara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, berkomitmen untuk mengembangkan ekosistem energi bersih. Namun, masih terdapat tantangan seputar kendaraan listrik, seperti harga baterai mahal, pengelolaan baterai bekas, lamanya pengisian daya, serta keamanan kendaraan.
Peta jalan
Moeldoko mengatakan, pemerintah saat ini telah memiliki peta jalan transisi energi baru terbarukan. Secara serentak, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulai berhenti beroperasi pada 2031. Hal ini diikuti dengan tersambungnya interkoneksi jaringan listrik antarpulau pada 2035.
Selanjutnya, pada 2040, bauran energi baru terbarukan (EBT) akan mencapai 71 persen dan tidak ada lagi pembangkit listrik tenaga diesel, serta penjualan motor konvensional dihentikan. Pada 2050, bauran EBT diharapkan telah mencapai 87 persen, juga adanya penghentian penjualan mobil konvensional.
Terakhir, pada 2060, bauran EBT ditargetkan mencapai 100 persen dan sudah didominasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Pada 2060 juga ditargetkan 100 persen penggunaan kendaraan listrik.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanthi menambahkan, langkah pemerintah dalam menciptakan ekosistem kendaraan listrik dengan menggencarkan penggunaan mobil dan motor listrik memang akan mempercepat pencapaian target emisi nol bersih.
Berdasarkan data dari para ilmuwan United Nations Framework Convention of Climate Change (UNFCCC), suhu rata-rata permukaan bumi diperkirakan naik lebih dari 2 derajat celsius pada akhir abad ini, jika seluruh negara tidak melakukan upaya apa pun. Kenaikan suhu global berdampak fatal. Banyak ekosistem penunjang kehidupan manusia akan menjadi rusak, bahkan makhluk hidup yang sangat sensitif juga akan musnah.
”Oleh karena itu, negara anggota UNFCCC saat ini berkomitmen agar kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi tidak lebih dari 2 derajat. Indonesia dan seluruh negara dituntut untuk mempercepat upaya penurunan emisi gas rumah kaca,” tutur Laksmi.