Penyakit akibat Perubahan Iklim di Depan Mata
Perubahan pada pola penyakit menjadi salah satu dampak perubahan iklim pada sektor kesehatan. Upaya mitigasi harus diperkuat untuk melindungi alam juga manusia.
Apabila manusia yang hidup saat ini merasa lebih tenang dengan ancaman dari perubahan iklim, hal itu merupakan pemikiran yang salah. Dampak perubahan iklim tidak terjadi sepuluh atau setengah abad ke depan pada tiga generasi berikutnya. Dampak itu sudah terjadi sekarang.
Kesehatan menjadi sektor yang secara nyata terpengaruh dari dampak perubahan iklim. Risiko kejadian suatu penyakit, transmisi penyakit, serta infeksi penyakit kini terus meningkat.
Hal yang paling bisa dirasakan yakni perubahan pada pola penularan penyakit. Mari kita pikirkan bersama, kapan terakhir kali kita merasakan adanya musim penyakit demam berdarah atau sekadar musim penyakit flu?
Demam berdarah ataupun penyakit flu umumnya ditemukan pada saat musim hujan. Namun, kondisi iklim saat ini yang tidak menentu dengan pola musim hujan yang bisa terjadi sepanjang tahun membuat penyakit-penyakit tersebut juga muncul sepanjang tahun.
Dari data Kementerian Kesehatan, setidaknya dalam lima tahun terakhir, grafik tren kasus demam berdarah dengue cenderung tidak menunjukkan peningkatan atau penurunan yang signifikan mulai dari awal sampai akhir tahun. Kasus demam berdarah ditemukan sepanjang tahun dengan jumlah yang relatif sama.
Kondisi iklim saat ini yang tidak menentu dengan pola musim hujan yang bisa terjadi sepanjang tahun membuat penyakit-penyakit seperti demam berdarah dengue juga muncul sepanjang tahun.
Sejumlah studi juga membuktikan dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap perkembangan dan sebaran penyakit tular vektor seperti demam dengue dan malaria yang ditularkan melalui nyamuk.
Dari penelitian yang dikutip dalam Laporan Kementerian Kesehatan bersama dengan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta Speak pada tahun 2021 menyebutkan, peningkatan suhu yang terjadi akibat perubahan iklim dapat meningkatkan laju replikasi virus, memperpendek durasi inkubasi ekstrinsik (EIP), serta mempercepat laju perkembangan nyamuk.
Suhu yang semakin tinggi akan mempercepat perkembangbiakan parasit. Penularan malaria menjadi semakin cepat terjadi karena masa inkubasi parasit yang kian pendek. Selain itu, peningkatan suhu dapat berdampak pada luas wilayah sebaran nyamuk.
Kelembaban udara juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan frekuensi nyamuk dalam mengisap. Nyamuk yang berada di lingkungan dengan kelembaban tinggi akan menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit. Peningkatan pada kelembaban udara ini juga yang menjadi dampak dari perubahan iklim.
Baca juga: Perubahan Iklim terkait Krisis Kesehatan
”Sektor kesehatan merupakan bagian hilir dari dampak perubahan iklim. Dampaknya bisa secara langsung maupun tidak langsung. Dampaknya juga tidak hanya pada kesehatan fisik, melainkan juga kesehatan mental. Hal ini tentu menjadi beban kesehatan di masyarakat,” ujar Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Anas Maruf, di Jakarta, Jumat (2/6/2023).
Mengutip laporan berjudul Data dan Informasi Dampak Perubahan Iklim Sektor Kesehatan Berbasis Bukti di Indonesia yang diterbitkan pada Desember 2021, berdasarkan jumlah absolut, kasus malaria dari tahun ke tahun di Indonesia sejak tahun 2015-2020 cenderung naik. Pada 2015 dilaporkan 213.569 kasus, meningkat menjadi 218.367 pada 2016 dan terus meningkat menjadi 254.050 pada 2020.
Peningkatan juga terlihat dari laporan kasus dengue di Indonesia. Kasus dengue dengan jumlah cukup tinggi umumnya terjadi di daerah yang memiliki curah hujan tinggi, serta suhu dan kelembaban udara yang cukup bervariasi.
Dalam Peta Jalan NDC (Nationally Determined Contribution) 2021 disebutkan, potensi kerugian sektor kesehatan akibat perubahan jumlah penyakit terkait iklim sepanjang 2021-2050 di Indonesia ditaksir 1,86 persen dari PDB (produk domestik bruto) nasional atau 21,6 miliar dollar AS. Penyakit itu meliputi antara lain dengue, malaria, diare, dan malaria. Jika dibiarkan, perubahan iklim memengaruhi status kesehatan generasi di masa depan dan jadi beban sistem kesehatan nasional.
Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 35/2012 tentang Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan akibat Perubahan Iklim, telah mengidentifikasi empat kelompok prioritas penyakit akibat perubahan iklim. Empat kelompok penyakit itu meliputi penyakit tular vektor (malaria dan dengue), penyakit tular air (diare), dan penyakit tular udara (pneumonia, infeksi saluran pernapasan akut/ISPA, dan tuberkulosis).
Kelompok prioritas penyakit lainnya akibat perubahan iklim yakni malnutrisi meliputi tengkes atau stunting (gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis), wasting (kurus atau berat badan turun hingga di bawah standar pertumbuhan anak), dan penurunan berat badan, dan underweight (berat badan di bawah standar pertumbuhan anak).
Sejauh ini pemerintah telah menetapkan lima penyakit terkait dengan iklim untuk dilakukan kajian lebih lanjut, yakni tuberkulosis, pneumonia, diare, malaria, dan dengue.
Anas menuturkan, bencana alam yang bisa terjadi akibat perubahan iklim secara tidak langsung juga bisa berdampak pada ketahanan fasilitas pelayanan kesehatan dan sistem kesehatan nasional. Kejadian bencana seperti longsor atau gempa bumi dapat merusak infrastruktur fasilitas pelayanan kesehatan.
Bencana yang terjadi juga mengakibatkan sistem perencanaan, implementasi, dan evaluasi pelayanan kesehatan terganggu. ”Perubahan iklim ini juga menjadi tantangan dalam pencapaian eliminasi dari penyakit-penyakit di Indonesia, terutama penyakit endemis seperti dengue dan malaria,” tuturnya.
Adapun dampak perubahan iklim paling terlihat dari pola penyakit yang sensitif terhadap iklim. Dampak perubahan iklim seperti polusi udara dapat meningkatkan kejadian asma, pneumonia atau radang paru, dan ISPA. Perubahan ekologi vektor dari akibat perubahan iklim juga berpengaruh pada peningkatan kasus malaria, dengue, dan chikungunya.
Baca juga: Krisis Iklim Tingkatkan Risiko Kesehatan
Selain itu, dampak pada ketersediaan air dan pangan akan turut memperberat masalah diare dan malnutrisi. Perubahan suhu ekstrem akan menyebabkan kematian dan gangguan kesehatan mental. Sementara dampak pada kualitas air akan memperburuk penularan kolera dan leptospirosis.
Kesehatan anak
Secara terpisah, Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Pengurus Besar Ikatan Dokter Anak Indonesia Kurniawan Taufiq Khadafi menyampaikan, anak merupakan kelompok usia paling rentan terdampak dari perubahan iklim. Pada perubahan suhu ekstrem, baik panas atau dingin yang ekstrem, berpotensi menyebabkan kematian bayi secara mendadak.
Angka kecacatan pada anak-anak akibat suhu panas yang ekstrem juga meningkat. Pada suhu dingin, anak rentan mengalami hipotermia yang bisa mengancam jiwa. Pemanasan global yang membuat sebagian daerah mengalami kekeringan ekstrem atau curah hujan ekstrem pun akan berdampak pada kecukupan pangan tak terjamin.
"Kondisi ini menjadi ancaman yang membuat stok cadangan pangan tidak mencukupi serta akses makanan semakin sulit. Akibatnya, semakin banyak anak yang mengalami kekurangan gizi,” ungkap Kurniawan.
Dampak perubahan iklim pada sektor kesehatan juga menjadi perhatian serius bagi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pada 23 Mei 2023, WHO bahkan mengeluarkan seruan yang mendesak adanya aksi penanggulangan iklim secara global.
”Alasan paling mendesak untuk tindakan (penanggulangan) iklim adalah dampaknya yang bukan terjadi di masa depan tetapi saat ini pada kesehatan. Krisis iklim adalah krisis kesehatan, memicu wabah, berkontribusi pada tingkat penyakit tidak menular yang lebih tinggi, serta membebani tenaga kesehatan dan infrastruktur kesehatan kita,” ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Baca juga: Cuaca Ekstrem Pengaruhi Kesehatan Anak
Maka dari itu, upaya mitigasi dan memperkuat ketahanan terhadap krisis iklim mutlak dilakukan. Aksi untuk mengurangi emisi karbon, membangun sistem kesehatan yang tahan iklim dan ramah lingkungan, serta melindungi kesehatan dari berbagai dampak perubahan iklim perlu dilakukan.
Selain itu, energi baru terbarukan di fasilitas kesehatan serta pendanaan khusus untuk ketahanan iklim di sektor kesehatan pun dibutuhkan.
Mitigasi
Anas mengatakan, sejumlah regulasi telah ditetapkan sebagai dasar penguatan kolaborasi terkait mitigasi dampak perubahan iklim. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan mengamanatkan pemerintah pusat, provinsi, serta kabupaten atau kota untuk menetapkan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim terkait kesehatan.
Kementerian Kesehatan juga telah menerbitkan aturan turunan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan.
Salah satu gerakan yang mulai dilakukan yaitu desa sehat iklim terintegrasi dengan program kampung iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Melalui gerakan desa sehat iklim diharapkan warga lebih beradaptasi terhadap perubahan iklim di bidang kesehatan.
Saat ini baru 18 desa yang menjadi lokasi percontohan dari gerakan desa sehat iklim. Targetnya akan ada 15 persen dari jumlah total desa di seluruh Indonesia atau sekitar 11.000 desa yang bisa menjalankan gerakan tersebut.
Selain itu, fasilitas kesehatan didorong untuk mengurangi keluaran emisi karbon. Penghematan energi melalui pengurangan penggunaan listrik juga dikampanyekan. ”Dampak perubahan iklim nyata di depan mata dan sudah terjadi pada sektor kesehatan. Kita harus bergerak bersama. Dengan menyelamatkan lingkungan, artinya juga menyelamatkan manusia,” tutur Anas.