Biaya untuk belanja rokok di rumah tangga tiga kali lipat lebih besar dibandingkan belanja untuk pangan sumber protein hewani. Hal tersebut menyebabkan anak pada keluarga perokok lebih berisiko mengalami ”stunting”.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak yang hidup di tengah keluarga perokok memiliki risiko mengalami stunting atau tengkes lebih tinggi dibandingkan dengan anak di keluarga bukan perokok. Hak anak untuk mendapatkan gizi yang optimal tidak terpenuhi. Berbagai persoalan lain juga bisa terjadi dari keluarga perokok.
Ketua Kelompok Kerja Bidang Rokok Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Feni Fitriani Taufik dalam konferensi pers dalam rangka peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Jakarta, Selasa (30/5/2023), mengatakan, keluarga perokok tidak hanya sekadar membeli rokok, tetapi juga berperilaku merokok. Tidak jarang pula anggota keluarga yang merokok akan merokok di depan anak.
”Kebiasaan ini bisa menjadi contoh bagi anak untuk merokok dan menormalisasikan perilaku merokok. Merokok di dalam rumah ataupun di sekitar rumah dapat berbahaya bagi perokok dan orang yang ada di dekatnya sebagai secondhand smoke dan thirdhand smoke,” tuturnya.
Feni menjelaskan, anak sebagai secondhand smoke terdampak rokok dari asap yang dihasilkan. Sementara anak sebagai thirdhand smoke mendapatkan bahaya rokok dari residu yang tertinggal dari asap rokok, misalnya pada pakaian atau barang lain yang digunakan oleh perokok.
Ia menuturkan, perokok aktif dan perokok pasif dapat mengalami risiko kesehatan yang sama berbahayanya. Efek karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker bisa terjadi pada orang yang merokok dan orang yang ada di sekitar perokok. Dampak ini pun bisa terjadi dari penggunaan rokok elektrik.
Kondisi tersebut, menurut Feni, patut menjadi perhatian seluruh masyarakat. Jumlah perokok di Indonesia meningkat dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta orang pada 2021. Jumlah perokok anak juga kini mencapai 19,2 persen.
Anak "stunting"
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Tubagus Haryo Karbianto menuturkan, sejumlah penelitian menunjukkan, kebiasaan merokok pada suatu keluarga juga berkorelasi dengan status gizi anak dalam keluarga tersebut. Kejadian stunting atau tengkes pada anak dari keluarga perokok lebih besar dibandingkan pada anak dari keluarga bukan perokok.
Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI). Riset ini mengungkap, kejadian stunting pada anak dari keluarga perokok 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari keluarga bukan perokok.
Dari hasil penelitian yang sama yang dilakukan pada 2018 juga menunjukkan, anak balita yang tinggal dengan orangtua perokok tumbuh 1,5 kilogram lebih kurang dari anak yang tumbuh dengan orangtua bukan perokok.
Tubagus menyampaikan, kondisi itu berkaitan dengan data Badan Pusat Statistik. Pada 2022, BPS mencatat, rokok merupakan komponen pengeluaran tertinggi kedua pada rumah tangga setelah beras, baik pada rumah tangga di perkotaan maupun perdesaan.
Kejadian stunting atau tengkes pada anak dari keluarga perokok lebih besar dibandingkan pada anak dari keluarga bukan perokok.
Pada Maret 2022 tercatat, pengeluaran untuk beras pada rumah tangga di perkotaan sebesar 19,38 persen dan perdesaan 23,04 persen. Setelah itu, pengeluaran diikuti untuk belanja rokok sebesar 12,21 persen di perkotaan dan 11,63 persen di perdesaan.
Proporsi belanja untuk memenuhi kebutuhan protein hewani justru kecil, seperti daging ayam ras sebesar 4,63 persen di masyarakat perkotaan dan 3,49 di pedesaan, serta telur ayam ras sebesar 4,12 persen di perkotaan dan 3,24 persen di perdesaan.
”Ada korelasi antara prevalensi anak stunting di keluarga yang ada perokok dan nonperokok. Program pengendalian tembakau akan sangat berpengaruh pada target yang ditetapkan pemerintah,” ujar Tubagus.
Feni menambahkan, dampak buruk rokok juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu perokok, baik secara aktif maupun pasif. Penelitian yang dilakukan di RSUP Persahabatan menemukan, plasenta pada bayi dengan ibu perokok aktif dan pasif sama-sama mengandung nikotin.
Bayi yang lahir dari ibu perokok juga memiliki panjang badan yang lebih pendek serta berat badan yang lebih rendah dibanding bayi dari ibu bukan perokok. ”Jadi, pajanan rokok berpengaruh bukan saja setelah lahir tetapi di dalam kehamilan pun sudah sangat berpengaruh kepada bayi,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi menuturkan, setiap keluarga diimbau untuk kembali menyusun prioritas belanja rumah tangganya. Anggota keluarga diharapkan tidak lagi merokok sehingga biaya untuk membeli rokok bisa dialihkan untuk belanja makanan yang bergizi untuk anak.
”Belanja rokok yang dikeluarkan pada keluarga sekitar Rp 382.000 per bulan. Itu seharusnya bisa dialihkan untuk membeli protein hewani yang dibutuhkan anak kita untuk tumbuh optimal agar tidak mengalami stunting,” katanya.
Endang menyampaikan, angka stunting di Indonesia saat ini masih mencapai 21 persen. Itu masih tergolong tinggi menurut batasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kebiasaan merokok pada keluarga akan menjadi hambatan untuk bisa menekan prevalensi stunting di Indonesia.