Pemerataan distribusi dokter spesialis tak bisa diatasi hanya melalui peningkatan produksi dokter. Keselamatan dan kesejahteraan mereka juga perlu dijamin.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Distribusi dokter spesialis masih terpusat di layanan kesehatan di Pulau Jawa. Namun, persoalan kekurangan dokter ini tidak bisa hanya diatasi dengan menambah jumlah dokter, tetapi harus dipastikan distribusi penempatan dokter yang aman dan penyediaan fasilitas, hingga insentif atau pembiayaan dan jenjang karier.
Pendidikan dokter spesialis diharapkan tetap mengoptimalkan peran fakultas kedokteran (FK) di perguruan tinggi negeri dan swasta diperkuat dengan rumah sakit pendidikan. Wacana menghasilkan dokter spesialis berbasis rumah sakit yang diatur dalam draf Rancangan Undang Undang Kesehatan diminta tak tergesa-gesa.
Persoalan pendidikan kedokteran, terutama untuk pemenuhan dokter spesialis, mengemuka dalam lokakarya bertajuk "Mengurai Tantangan dan Peluang pada RUU Kesehatan untuk Menjawab Pemenuhan Kebutuhan Dokter Spesialis" yang digelar Universitas Yarsi di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Lokakarya yang dipandu oleh Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Yarsi Tjandra Yoga Aditama ini menghadirkan pembicara yakni Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nizam.
Selain itu, lokakarya tersebut dihadiri Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan Sundoyo; anggota Komisi IX DPR, Suir Syam; Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPK) Budi Santoso; dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Yarsi Mohammad Ryan Bakri.
Rektor Universitas Yarsi Fasli Jalal mengutarakan, pemenuhan kebutuhan dokter spesialis di Indonesia perlu dimulai dengan mengetahui peta demografi penduduk dan transisi epidemiologi yang membuat penyakit tertentu bertambah dan berkurang. Dalam konteks rujukan, perlu spesialisasi bervariasi dalam hal jumlah, kompetensi, dan distribusi.
Dari sisi penyediaan harus dikaji berapa jumlah, jenis, jenjang, dan distribusinya dengan komitmen pada pemerataan. Tidak kalah penting juga jika dokter sudah tersedia, perekrutan perlu dikaji Kemenkes, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta pemerintah daerah secara transparan dan sesuai konteks lokal.
”Kami berharap para dokter spesialis yang susah payah diraih ini mengalir ke tempat yang membutuhkan dengan kondisi kerja nyaman sejak diterima, jelas jenjang karier, terjamin kesejahteraan. Tak kalah penting, tersedia sarana dan prasarana pendukung agar mereka bisa melayani kesehatan masyarakat secara optimal,” kata Fasli.
Menyesuaikan
Nizam mengatakan, pemenuhan dokter oleh perguruan tinggi (PT) selama ini mengacu pada permintaan Kementerian Kesehatan. Pada tahun 2010, Kemenkes meminta produksi dokter 5.000-6.000 dokter per tahun, hingga 10.000 dokter per tahun. Setelah Undang Undang Pendidikan Kedokteran terbit, pada tahun 2013, jumlah lulusan dari FK lebih dari 12.000 orang per tahun.
Kemudian pada tahun 2016 ada moratorium pembukaan FK karena sudah melampaui kebutuhan. Pada tahun 2022, moratorium FK dibuka kembali dan kapasitas ditambah. Bahkan, rasio pendidik: residen yang awalnya 1: 3 menjadi 1:5.
”Kalau mau mengakselerasi jumlah dokter dan dokter spesialis bisa dilakukan dengan gotong royong. Tentu tetap mengutamakan kualitas lulusan. Tapi untuk pendidikan dokter spesialis, kehadiran pemerintah minim. Jadi biaya pendidikan mahal dan jadi beban peserta,” kata Nizam.
Jumlah data mahasiswa spesialis saat ini 15.403 residen per tahun. Jika disebutkan kekurangan dokter spesialis sekitar 32.000 orang, kekurangan ini bisa dipenuhi dalam tiga tahun ke depan dengan akselerasi.
Kalau mau mengakselerasi jumlah dokter dan dokter spesialis bisa dilakukan dengan gotong royong. Tentu tetap mengutamakan kualitas lulusan.
”Untuk mencapainya membutuhkan gotong royong. Perlu Rumah Sakit pendidikan dan pendanaan. Kalau Kemenkes siap dengan RS pendidikan, bisa diakselerasi dengan mahasiswa FK. Ada FK yang berpotensi membuka prodi spesialis yang dibutuhkan. Bisa ditingkatkan 14-25 persen,” ungkapnya.
Menurut Nizam, pemenuhan dokter spesialis sebenarnya bisa diatasi karena peserta program studi pendidikan spesialis (PPDS) di FK bisa disiapkan kapasitasnya. Namun, dari 800 RS yang potensial menjadi RS pendidikan, baru 300 RS yang diakreditasi Kementerian Kesehatan menjadi RS pendidikan.
Nizam berharap agar pemenuhan dokter yang didesain di RUU Kesehatan tetap memanfaatkan sistem yang ada. Kemendikbudristek telah mengembangkan academic health system (AHS).
Karena pendidikan dokter spesialis ada di tengah-tengah antara perguruan tinggi dan layanan kesehatan, pengembangannya harus bisa memenuhi ranah pendidikan dan pelayanan. Hal ini dibutuhkan untuk mendukung pengembangan ilmu kesehatan.
Sundoyo menambahkan, keberadaan RUU Kesehatan dibutuhkan untuk mendukung transformasi sistem kesehatan berorientasi preventif, serta mempemudah dan menjamin akses masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan berkualitas.
Untuk kebutuhan dokter spesialis, ada tiga bidang dengan kekurangan terbesar, yakni spesialis urologi, spesialis penyakit dalam mahir dialisis, dan spesialis anak dengan nefrologi. Percepatan pemenuhan lewat beasiswa dari Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan 2.300 orang dan pada tahun 2024 akan ditingkatkan jadi 3.000 beasiswa.
”Banyak persoalan di kesehatan. Mestinya ini diselesaikan dalam RUU Kesehatan sebagai arah untuk transformasi sistem kesehatan untuk memenuhi hak warga negara mendapat layanan kesehatan yang layak,” ujar Sundoyo.
Pada kesempatan sama, Suir memaparkan, RUU Kesehatan harus menjadi dasar untuk membangun sistem kesehatan nasional yang melindungi dan memberi kepastian pemenuhan kesehatan masyarakat. Dari studi banding di Jepang, misalnya, setelah empat tahun belajar teori dan dua tahun koas, lalu ujian.
Setelah tamat dua tahun dari RS (menerima gaji), boleh memilih mau jadi dokter umum atau dokter spesialis (kuliah 3 tahun, dan subspesialis 2 tahun). ”Dalam 11 tahun dokter di Jepang bisa jadi subspesialis. Di Indonesia dari dokter umum sampai subspesialis bisa menunggu sampai pensiun,” ujarnya.
Menurut Suir, daftar inventarisasi masalah (DIM) masih terus dibahas, termasuk persoalan yang ditakuti dokter terkait ancaman sanksi pidana. DPR berpandangan aturan soal itu tidak perlu karena akan membuat dokter tidak berani melakukan tindakan gawat darurat dengan alasan takut dituntut pasien dan keluarganya.
Sistem rujukan
Budi mengatakan, AIPKI beranggotakan 92 FK. Hanya 36 FK yang terakreditasi A, sisanya B dan C. Kekurangan dokter spesialis juga terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Namun, itu bisa diatasi karena ada sistem rujukan yang berjalan dengan baik.
”Sistem rujukan perlu diperbaiki supaya dokter umum berfungsi jadi promotif dan preventif sehingga tidak banyak dokter spesialis. Jika komitmennya ke sini, bukan memperbanyak produksi dokter spesialis dalam waktu pendek, tapi bagaimana rujukan dan distribusi bisa dilaksanakan,” kata Budi yang juga Dekan FK Universitas Airlangga.
Produksi sekaligus sudah merencanakan distribusi harus berjalan beriringan. ”Kalau membuka terus FK dokter spesialis, kami khawatir masalah tetap terjadi. Kami mendorong kita tetap pada pendidikan dokter berbasis universitas,” ujarnya.