Digitalisasi sedikit banyak mengubah karakter masyarakat, salah satunya soal membaca. Meskipun demikian, hadirnya bahan bacaan dalam bentuk digital tak serta-merta menghilangkan keberadaan buku fisik.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
Buku adalah jendela ilmu. Pepatah itu kerap dilontarkan orang-orang yang menuai sukses. Seiring berjalannya waktu, buku yang tadinya berwujud fisik kertas kini beralih ke digital dalam bentuk dokumen yang bisa dibaca melalui ponsel. Meskipun memasuki era digitalisasi, tak sedikit orang masih mempertahankan bacaan buku fisik, hingga mengoleksinya.
Dhita Puspa Astarini (32) masih memelihara budaya membaca buku fisik dan menularkannya kepada kedua anaknya meskipun semuanya sudah serba digital. Baginya memberikan bahan bacaan lewat buku fisik kepada anak menjadi pengalaman paling baik perihal menambah ilmu pengetahuan.
Di antara pengunjung pembukaan bazar buku Big Bad Wolf (BBW) Books 2023 di ICE BSD, Tangerang Selatan, Jumat (26/5/2023), ibu dua anak ini berdiri di etalase buku untuk anak-anak. Berbagai jenis buku, mulai dari belajar berhitung, menulis, dongeng, hingga mengenal hewan dan tumbuhan ada di sana.
Sekitar 5 juta buku ditumpuk di rak-rak berbeda, salah satunya buku anak-anak berbagai tema. Buku-buku fisik berwarna-warni menarik perhatian pengunjung anak-anak yang datang, seperti salah satu anak lelaki Dhita yang tertarik dengan buku dongeng berwarna biru bergambar binatang laut di halaman depannya.
”Saya lebih khawatir dengan screen time mereka kalau membaca lewat ponsel, apalagi secara berlebihan. Meskipun teknologi terus berkembang, saya terus membawa anak-anak ke sini, karena ini menjadi pengalaman mereka memegang buku fisik kertas secara langsung,” ujarnya.
Sebelum mengajak anak-anaknya mengenal buku fisik, Dhita terlebih dahulu membuat mereka mencintai membaca sejak bayi. Ia menuturkan, anak-anaknya sangat mencintai membaca berbagai jenis buku di rumah. Literasi membaca terus didorong agar mereka sarat ilmu pengetahuan.
Bahkan, demi mendorong literasi membaca dua anaknya, ia rela menghabiskan ratusan ribu rupiah agar dapat membawa pulang sejumlah buku. Anggaran khusus buku masuk dalam kebutuhan penting yang rutin disiapkannya. BBW Books menjadi salah satu bazar buku internasional yang tak pernah absen ia kunjungi setiap tahun.
”Mereka bisa langsung menyentuh bahan kertas itu, melihat berbagai warna di dalam buku, dan yang terpenting terhindar dari paparan sinar ponsel yang tentu bisa merusak mata,” kata perempuan asal Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu.
Bazar buku yang hanya diselenggarakan minimal satu tahun sekali itu tak dapat dikunjungi masyarakat secara terus-menerus. Biasanya pengunjung akan membeli belasan hingga puluhan buku untuk stok membaca setahun ke depan. Itu juga dilakukan Dhita demi menghemat anggaran buku dan tidak harus membelinya ke toko-toko buku yang dinilai memiliki perbedaan harga yang cukup jauh.
Budaya koleksi
Pengalaman serupa juga dirasakan perempuan remaja 18 tahun, Laisa Nayfa Syahmalika. Remaja asal Jakarta Selatan itu senang mengoleksi buku-buku novel fiksi dan nonfiksi. Dibandingkan dengan buku digital, perasaan puas lebih terasa dengan mengoleksi buku fisik dan itu menjadi pengalaman paling menarik bagi perempuan yang baru lulus sekolah menengah atas ini.
Laisa menuturkan, keberadaan digitalisasi saat ini tak mampu mengubah kebiasaannya mengoleksi buku-buku fisik, seperti Laut Bercerita karya Leila Salikha Chudori, Jakarta Sebelum Pagi karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, dan Eleanor and Park karya Rainbow Rowell, meskipun dirinya merupakan anak muda. Membaca buku secara digital membuatnya sering merasa pusing sehingga tak mampu melihat layar ponsel terlalu lama.
”Meskipun baru pertama kali mampir ke BBW Books 2023 ini, saya langsung senang karena harganya jauh sekali berbeda dengan yang ada di toko buku. Belum lagi jenis buku yang lebih lengkap di sini. Sepertinya, bazar ini harus terus ada,” tutur Laisa.
Tak datang sendiri, teman sebaya yang datang bersamanya juga hobi mengoleksi buku fisik. Salma (18) senang membaca hingga mengoleksi novel fiksi milik penulis fiksi kriminal asal Inggris, Agatha Christie. Ia bersyukur dengan adanya bazar seperti ini karena mampu meningkatkan minat baca mereka, terlebih lewat buku fisik.
”Karena tidak datang bersama orangtua, setidaknya saya harus membawa minimal uang Rp 300.000 untuk bisa mendapatkan beberapa novel,” kata Salma.
Pahami isi bacaan
Meskipun budaya mengoleksi buku fisik masih banyak dilakukan masyarakat, pengamat pendidikan Center for Education, Regulations, and Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji mengungkapkan, masalah di Indonesia bukan soal media bacaan yang dipilih, melainkan minat baca. Selain itu, masyarakat juga perlu memahami isi dari bacaan yang dipilih.
”Mengoleksi buku baik fisik maupun digital itu bukan masalah. Tetapi, bagaimana orang-orang memahami apa yang dibaca dan ini kaitannya dengan kebiasaan,” ujar Indra saat dihubungi pada Jumat (26/5/2023).
Kemudian, Indra mengingatkan, hanya satu dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat membaca serius berdasarkan kajian Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) tahun 2012. ”Data itu belum berubah sampai saat ini dan itu diperlukan langkah nyata untuk menumbuhkan minat baca setiap orang,” katanya.