Literasi baca-tulis masih relevan dengan perkembangan teknologi saat ini. Untuk meningkatkan literasi, minat baca masyarakat perlu ditingkatkan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Literasi baca-tulis dinilai masih relevan dengan era digital karena menjadi dasar membentuk kemampuan individu memahami teks, audio, gambar, hingga video. Kemampuan itu juga sebagai modal penting untuk menghadapi era digital.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jumeri mengatakan, kemajuan teknologi belum dibarengi dengan tingginya minat baca masyarakat. Hal ini berpengaruh ke tingkat literasi yang rendah.
”Padahal, kemampuan literasi akan sangat bermanfaat bagi kehidupan seseorang. Jika literasi tinggi, seseorang dapat mencari, memilih, memilah, dan mengolah informasi, kemudian memanfaatkannya. Saya harap minat baca bisa ditingkatkan lewat platform digital,” kata Jumeri pada diskusi daring ”Paradigma Literasi Baca Tulis di Era Digital”, Jumat (1/4/2021).
Data UNESCO pada 2012 menunjukkan skor minat baca di Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca tinggi.
Sementara itu, survei oleh Central State University, Amerika Serikat, yang dirilis pada 2016 menunjukkan tingkat literasi Indonesia rendah. Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara.
Adapun riset Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 menyatakan aktivitas literasi baca-tulis di Indonesia masih rendah. Dari 34 provinsi, hanya 9 provinsi (26 persen) yang kategori aktivitas literasi baca-tulisnya sedang. Sebanyak 24 provinsi (71 persen) masuk kategori rendah dan satu provinsi (3 persen) sangat rendah.
Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Opik mengatakan, literasi bukan hanya tentang pengetahuan umum. Lebih jauh, literasi mengajarkan individu untuk terampil menyikapi sesuatu, termasuk cara bersikap di ruang maya.
Namun, keadaban warga Indonesia di dunia maya masih rendah. Menurut riset Microsoft berjudul ”Digital Civility Index (DCI)” yang dirilis Februari 2021, skor DCI Indonesia secara keseluruhan adalah 76. Ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Indonesia hanya lebih baik dari Meksiko, Rusia, dan Afrika Selatan.
Buruknya skor DCI Indonesia dipengaruhi berita bohong dan penipuan di internet (47 persen), ujaran kebencian (27 persen), dan diskriminasi (13 persen).
Guru Besar Antropolinguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun di Ternate Gufran Ali Ibrahim mengatakan, transformasi digital membawa budaya komunikasi yang baru. Ruang maya yang luas dan nyaris tanpa batas membentuk tradisi kelisanan yang gaduh.
”Percakapan di dunia maya, terutama media sosial, tidak lepas dari orang yang menghujat, merundung, dan lainnya. Itu tipikal masyarakat lisan,” ujarnya.
Menurut Subkoordinator Fasilitasi Literasi Digital Direktorat Pemberdayaan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Rangga Adi Negara, ekosistem digital saat ini belum mendukung perilaku membaca yang baik. Artikel-artikel daring dinilai mengandalkan clickbait, tetapi kontennya tidak komprehensif.
”Di sisi lain, status media sosial juga dibatasi jumlah karakter. Orang-orang jadi menulis secara pendek dan kadang disingkat-singkat. Ini memengaruhi kemampuan menulis. Padahal, menulis itu keterampilan yang harus terus diasah,” papar Rangga.
Di era disrupsi digital ini, ia mendorong publik untuk menanamkan kebiasaan membaca secara detail dan menulis komprehensif. Dengan demikian, kemampuan membaca dan menulis tetap terasah.
Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan literasi baca-tulis, termasuk minat baca untuk masyarakat. Taman bacaan masyarakat, misalnya, menggunakan internet untuk kampanye literasi. Diskusi buku diadakan secara rutin secara daring dan luring. Selain itu, ada pula program pelatihan menulis puisi, membuat buku cetak dan audio, serta mendongeng.
Direktur Utama PT Balai Pustaka (Persero) Achmad Fahrodji mengatakan, pihaknya beberapa kali mendatangkan penulis yang bukunya laris terjual di pasar. Mereka dijadikan rangsangan bagi penulis pemula untuk terus menulis. Balai Pustaka juga membuat taman bacaan digital, bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.