Alasan Kepemilikan Lahan Jadi Pendorong Alih Fungsi Mangrove
Alih fungsi area mangrove menjadi tempat budidaya perikanan atau pertanian berkaitan dengan kepemilikan lahan bagi masyarakat. Sosialisasi pemulihan lahan diperlukan demi mengembalikan ekosistemnya.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mangrove menjadi benteng terakhir wilayah pesisir. Namun, sejumlah permasalahan kerusakan mangrove masih ditemukan, di antaranya terkait dengan kepemilikan lahan yang dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan. Pemerintah diharapkan memberikan perhatian lebih pada kondisi tersebut dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya di daerah.
Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Muhammad Ilman menuturkan, salah satu permasalahan kerusakan mangrove berasal dari wilayah pesisir di daerah. Pengalihfungsian area mangrove menjadi tambak ikan atau udang disebut berperan besar dalam kerusakan ekosistem mangrove dan penurunan muka tanah.
”Pengalihfungsian lahan itu, tujuan utama masyarakat pesisir di daerah tentu karena faktor ekonomi. Namun, yang perlu diperhatikan juga soal kepemilikan lahan. Tambak yang dibuat di lahan mangrove tidak semata-mata untuk mata pencaharian mereka, tetapi agar bisa diklaim lahannya,” ujar Ilman pada temu media bertema ”Mangrove Jakarta untuk Siapa?” di kawasan suaka margasatwa Muara Angke, Jakarta Utara, Kamis (25/5/2023).
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2021, luas mangrove existing di Indonesia sebesar 3.364.080 hektar. Dari jumlah itu, mangrove dengan kelas kerapatan lebat seluas 3.121.240 hektar (92,78 persen), kerapatan sedang 188.366 hektar (5,6 persen), dan kerapatan jarang 54.474 hektar (1,62 persen). Kondisi existing ini menunjukkan kondisi mangrove di Indonesia masih relatif baik.
Selain itu, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) memetakan konversi habitat mangrove seluas 756.183 hektar. Mangrove yang sudah terkonversi menjadi tambak mencapai 631.802 hektar (83,55 persen), tanah timbul 56.162 hektar (7,43 persen), lahan terbuka 55.889 hektar (7,39 persen), mangrove terabrasi 8.200 hektar (1,08 persen), dan area terabrasi 4.129 hektar (0,55 persen).
Lebih lanjut, Ilman mengatakan, masyarakat kebanyakan berpikir area mangrove cocok dijadikan budidaya perikanan. Padahal, hal itu malah akan menghilangkan fungsi daya dukung ekologinya. Ketika lahan mangrove dialihfungsikan menjadi tambak, ikan atau udang di dalam tambak justru akan sulit berkembang.
”Padahal, kalau lahan mangrove itu dibiarkan saja, mungkin hasil ikan atau udangnya akan lebih banyak. Tetapi, karena faktor kepemilikan lahan itulah, masyarakat mengubah lahan menjadi tambak. Semakin luas lahan yang dijadikan tambak, semakin luas juga lahan yang bisa mereka klaim,” ujarnya.
Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengatasi perusakan ekosistem mangrove, baik disengaja maupun tidak disengaja, perlu diperkuat dan diiringi sosialisasi secara langsung ke daerah. Masyarakat yang sudah telanjur mengalihfungsikan area mangrove menjadi tambak akan sulit jika diminta memulihkan atau memperbaiki kembali lahan mangrove tersebut.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta Mufti Ginanjar mengungkapkan pentingnya memulihkan atau restorasi lahan mangrove yang dialihfungsikan. Berbagai kegiatan yang bertujuan sebagai restorasi lahan mangrove erat kaitannya dengan perubahan iklim, tidak hanya nasional, tetapi juga global.
”Restorasi lahan mangrove tentu sangat berpengaruh pada ketahanan masyarakat di pesisir. Namun, jika lahan mangrove yang beralih fungsi menjadi budidaya perikanan atau pertanian, justru akan merugikan masyarakat itu sendiri, terlebih nelayan,” kata Mufti pada kesempatan yang sama.
Lebih lanjut, restorasi lahan mangrove dapat dilakukan dengan penanaman kembali mangrove, tetapi itu dinilai merupakan langkah kecil dari restorasi. Pemerintah disebut perlu membantu memperbaiki status kepemilikan lahan mangrove tersebut sehingga masyarakat setuju untuk merestorasi lahan.
Sementara itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Parid Ridwanuddin mengungkapkan keraguannya atas target pemulihan lahan mangrove yang akan dilakukan pemerintah hingga 2024. Hal ini sebab pemerintah dinilai tidak serius dalam menangani permasalahan alih fungsi lahan tersebut.
”Pemerintah punya target memulihkan lahan mangrove sebesar 600.000 hektar hingga tahun depan. Tetapi, pada 2021 saja hanya 5,5 persen capaian pemulihan itu. Dari capaian itu, terlihat ada ketidakseriusan pemerintah menangani kerusakan mangrove,” ucap Parid saat dihubungi, Kamis (25/5/2023).
Masih rendahnya capaian pemulihan lahan mangrove tersebut seharusnya menjadi acuan pemerintah untuk mengevaluasi proyek-proyek yang berpotensi menghancurkan ekosistem mangrove. Selain itu, aturan atau regulasi soal mangrove, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang membolehkan pembabatan lahan mangrove, perlu dievaluasi.
”Dalam RUU Cipta Kerja diperbolehkan membabat lahan mangrove demi kepentingan sertifikasi nasional, seperti pembangunan pelabuhan dan tambang geotermal. Ini juga menjadi masalah yang perlu diutamakan karena mengancam keberlangsungan ekosistemnya di Indonesia,” kata Parid.