Nano Biopestisida Ramah Lingkungan
Produk biopestisida dari serai wangi yang dikembangkan melalui pendekatan nanoteknologi dapat mendukung pertanian ramah lingkungan. Biopestisida ini juga terbukti dapat mengatasi berbagai virus dan penyakit pada tanaman.
Pestisida merupakan obat-obatan yang umumnya senyawa kimia beracun yang digunakan dalam kegiatan pertanian ataupun budidaya tanaman. Penggunaan pestisida ini di antaranya untuk membasmi pengganggu tanaman baik hama, penyakit, maupun gulma.
Pemakaian pestisida kimia memiliki kekurangan dan akan berdampak negatif pada lingkungan, biota tanah, hingga kesehatan manusia jika digunakan dalam jangka panjang. Bahkan, penggunaan pestisida kimia yang tidak tepat, baik dosis maupun sasaran, akan mengakibatkan resistensi hama dan membuatnya menjadi kebal.
Selain pestisida bersifat kimia, terdapat pula pestisida yang terbuat dari bahan-bahan mineral alami atau berasal dari makhluk hidup. Pestisida alami dikembangkan dengan teknologi yang memperhatikan kondisi iklim, lahan, dan ramah lingkungan. Penggunaan pestisida ini pun dapat mendukung sistem budidaya pertanian yang berkelanjutan.
Pestisida alami atau biopestisida juga telah dikembangkan oleh peneliti di Indonesia dengan dukungan teknologi nano. Nano biopestisida ini pertama kali dikembangkan oleh peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat yang merupakan bagian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) sebelum melebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Peneliti Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, Rita Noveriza, menyampaikan, riset telah dilakukan sejak 2016 dan tim peneliti menemukan potensi minyak atsiri sebagai pestisida nabati. Setelah itu, sampai saat ini terus dilakukan pengembangan hasil riset hingga mendapatkan formulasi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna dan industri.
Teknik formulasi pestisida nabati ini dikembangkan dengan teknologi nano atau sistem pada skala nanometer. Sementara teknik formulasi yang digunakan yakni nanoemulsifikasi. Teknik tersebut dibagi kembali ke dalam dua jenis, yaitu dengan pendekatan energi tinggi dan rendah.
Peneliti menggunakan teknik nanoemulsifikasi energi rendah untuk mengembangkan nano biopestisida. Sebab, teknik ini memiliki keunggulan seperti biaya yang lebih murah, mudah diproduksi pada skala pasar atau industri, dan sesuai untuk material sensitif.
”Untuk energi rendah, terdapat dua metode, yakni fase inversi dan difusi spontan. Kedua metode ini bisa mendukung potensi dari minyak serai wangi dan eukaliptus yang sudah kami kembangkan,” ujar Rita dalam webinar terkait pengembangan pestisida nabati ramah lingkungan untuk solusi pertanian berkelanjutan, pekan lalu.
Baca juga: Pupuk dan Pestisida Hayati Berbasis Mikroba Antagonis
Selain nano emulsifikasi, teknik lainnya yang bisa digunakan untuk mendapat formula nano biopestisida ialah teknik nano enkapsulasi. Teknik ini adalah suatu teknologi penyalutan partikel yang memiliki diameter ukuran dari mikrometer sampai nonometer dan menggunakan bahan enkapsulan khusus hingga membuat partikel tersebut mempunyai sifat fisikokimia yang diinginkan.
Untuk energi rendah, terdapat dua metode, yakni fase inversi dan difusi spontan. Kedua metode ini bisa mendukung potensi dari minyak serai wangi dan eukaliptus yang sudah kami kembangkan.
Rita menjelaskan, nano emulsi yang sudah didapat kemudian dicampurkan dengan matrik pembawa dan dilewatkan dalam alat pengeringan semprot (spray drying) serta pengeringan beku (freeze drying) dengan suhu tinggi dan waktu tertentu. Setelah melewati proses tersebut kemudian akan dihasilkan bubuk serbuk pestisida berukuran nano.
Keuntungan teknik nano enkapsulasi ini tidak hanya untuk pembuatan formulasi pestisida, tetapi juga makanan. Teknik ini bisa meningkatkan efisiensi, stabilitas, dan absorpsi pada tanaman atau tubuh manusia serta mengurangi degradasi terhadap lingkungan, khususnya untuk pembuatan formulasi pestisida.
Produk pengembangan
Salah satu produk yang telah dikembangkan melalui sejumlah teknik tersebut yakni nano biopestisida serai wangi dengan bahan utama minyak atsiri serai wangi jenis Cymbopogon nardus. Biopestisida ini dibuat dengan teknik nano emulsifikasi spontaneous sehingga menghasilkan partikel bahan aktif minyak serai wangi dengan skala 100-200 nanometer.
Minyak atsiri merupakan jenis minyak nabati yang diperoleh melalui proses penyulingan bagian tanaman serai wangi, seperti daun, batang, ataupun bunga. Minyak atsiri digunakan sebagai formula biopestisida karena memiliki senyawa aktif yang dapat meracuni dan melumpuhkan hama, yaitu berupa monoterpen dan fenol.
Senyawa aktif dari minyak atsiri telah terbukti memiliki aktivitas sebagai insektisida dan fungisida sehingga mampu mengusir dan menghambat setiap hama yang menyerang tanaman. Melalui pengembangan dengan teknologi nano, biopestisida serai wangi ini pun bisa berfungsi sebagai pembasmi bakteri, virus, jamur, dan serangga perusak tanaman.
Baca juga: Pengurang Pestisida Topang Pertanian Berkelanjutan
Keunggulan lain dari produk ini yakni ramah lingkungan karena dibuat dari bahan metabolit sekunder tanaman. Selain itu, partikel bahan aktif berukuran nano juga dapat meningkatkan kelarutan dalam air, laju disolusi, dan keseragaman dispersi saat diaplikasi pada tanaman.
Berdasarkan pengujian yang dilakukan oleh peneliti dan mitra, penggunaan biopestisida serai wangi ini efektif untuk menghambat perkembangan potyvirus atau virus penyebab penyakit mosaik pada tanaman nilam dan begomovirus yang merupakan penyakit virus kuning pada cabai. Dosis anjuran untuk mengatasi potyvirus yaitu 10 mililter (ml) biopestisida serai wangi per liter air, sedangkan untuk begomovirus 2 ml per liter air.
Penggunaan biopestisida serai wangi juga dapat mengatasi penyakit busuk buah kakao (Phytophthora palmivora), penyakit antraknosa pada cabai (Colletotrichum gloesporoides), dan penyebab busuk batang pada kacang tanah (Sclerotium rolfsii). Dosis anjuran untuk mengatasi berbagai penyakit tersebut yakni 5 ml per liter air.
Selain itu, khasiat biopestisida ini terhadap serangga hama di antaranya untuk mengatasi kutu daun (Aphis gossypii), ulat penggulung daun pada pisang (Erionota thrax), hama penggerek batang pada sorgum (Sesamia inferens), dan hama lalat rimpang pada jahe merah (Mimegralla coeruleifrons). Dosis yang dianjurkan mulai dari 5-20 ml per liter air.
Hasil pengujian
Menurut Rita, hasil pengujian pada tanaman nilam menunjukkan ada perbedaan signifikan efikasi antara formula biopestisida nano dan bukan nano. Nilai efikasi dari formula biopestisida nano sekitar 14 persen, sedangkan yang bukan nano sekitar 6 persen.
Hasil penelitian lain juga menunjukkan biopestisida serai wangi ini tidak berbahaya terhadap manusia. Sebaliknya, partisipan dalam riset melaporkan adanya suasana hati yang lebih baik dan segar setelah pengunaan biopestisida serai wangi. Hal ini tidak terlepas dari manfaat minyak serai wangi yang secara signifikan dapat menurunkan tekanan daerah, detak jantung, dan laju pernapasan.
Kepala Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN Dwinita Wikan Utami menyatakan, saat ini semakin banyak orang menyadari pentingya menerapkan gaya hidup sehat, termasuk pada sistem budidaya pertanian. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, sistem ini menjadi rujukan untuk implementasi pengelolaan hama secara terpadu.
”Penggunaan biopestisida merupakan salah satu pendekatan untuk mengimplementasikan sistem budidaya pertanian yang berkelanjutan. Produk yang telah dihasilkan yakni biopestisida dari serai wangi dan eukaliptus untuk melindungi tanaman dari serangan organisme penggangu tanaman serta meningkatkan pertumbuhan ketahanan tanaman yang bersifat ramah lingkungan,” ucapnya.