Pupuk dan Pestisida Hayati Berbasis Mikroba Antagonis
Penggunaan pupuk kimia dapat berdampak buruk pada lingkungan dan kesehatan manusia. Pemakaian pupuk dan pestisida hayati berbasis mikroba antagonis dapat menjadi solusi untuk pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petani menyemprotkan zat pestisida pada tanaman kubis di Desa Keditan, Ngablak, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (4/7/2020). Zat kimia tersebut disemprot setiap seminggu sekali untuk membasmi hama ulat agar pertumbuhan tanaman optimal sehingga hasil panen melimpah. Penggunaan pestisida berlebih dalam jangka panjang berpotensi melenyapkan mikroorganisme pada tanah sehingga justru bisa mengurangi kesuburan lahan.
Kegiatan pertanian atau budidaya tanaman di Indonesia umumnya masih mengandalkan pupuk dan pestisida kimia sintetik. Pestisida merupakan obat-obatan atau senyawa kimia bersifat racun yang digunakan untuk membasmi pengganggu tanaman, baik hama, penyakit, maupun gulma. Pemberian pestisida ini diharapkan dapat membantu meningkatkan produktivitas serta membuat pertanian lebih efisien dan ekonomis.
Meski demikian, penggunaan pupuk kimia mempunyai kelemahan dan menyebabkan berbagai dampak. Kelemahan itu seperti tidak ramah lingkungan, meningkatkan resistensi dan resurgensiorganisme pengganggu tanaman(OPT), serta merusak kesehatan manusia.
Penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetik dengan intensitas pemakaian yang tinggi dan dilakukan secara terus-menerus juga dapat mendegradasi kesuburan lahan pertanian. Beberapa dampak penggunaan pupuk ini terhadap lahan, mengubah sifat fisik, kimia, biologi, dan menurunkan derajat keasaman (pH) tanah.
Paparan bahan kimia dalam pestisida ini juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, termasuk menyebabkan gangguan reproduksi. Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam Amerika (NRDC)mencatat, hasil penelitian menunjukkan, mayoritas penderita kanker otak, leukemia, dan cacat pada anak-anak bermula dari pencemaran pestisida kimia.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Hanudin, menyampaikan, upaya mengurangi bahan kimia sintetik dalam produksi tanaman adalah dengan menggunakan pupuk dan pestisida hayati. Pupuk dan pestisida ini diproduksi dengan berbahan aktif PGPR dan mikroba lain.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Pekerja membuat pupuk dari sampah organik di Rumah Kompos, Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Sampah Basirih, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, akhir November 2018.
PGPR adalah kelompok bakteri menguntungkan yang mengolonisasi rizosfir atau lapisan tanah tipis antara 1-2 milimeter di sekitar zona perakaran. Aktivitas PGPR berpengaruh secara positif bagi pertumbuhan tanaman, baik secara langsung maupun tidak langsung.
”PGPR berfungsi sebagai penambah unsur hara, fitohormon(hormon tumbuhan), dan menginduksi gen pertahanan serta biopestisida,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Pertanian Ramah Lingkungan Solusi Pertanian Berkelanjutan”, pekan lalu.
Pupuk ini sudah bisa digunakan untuk pertanian di tanaman hortikultura, seperti bawang, cabai, padi, dan kentang. Jadi, tanpa pupuk kimia sintetik pun, kegiatan budidaya tanaman dan pertanian dapat menggunakan produk ini.
Beragam produk pupuk dan pestisida hayati berbasis mikroba antagonis telah dikembangkan peneliti Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN. Beberapa produk dikembangkan peneliti saat masih berada di bawah naungan Balai Penelitian Tanaman Hias Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan).
Hanudin dan dua peneliti lainnya juga telah mengkaji potensi beberapa mikroba pemacu pertumbuhan tanaman sebagai bahan aktif pupuk dan pestisida hayati. Hasil kajian ini diterbitkan di Jurnal Litbang Pertanian Volume 37 Nomor 2, Desember 2018.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Angga (kanan) memanen terong di Sekolah Alam Wangsakerta, Dusun Karangdawa, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (6/2/2023). Siswa Sekolah Alam Wangsakerta ini mengolah tanaman yang ramah lingkungan, seperti menggunakan pupuk organik.
Dalam kajian tersebut, disebutkan berbagai spesies mikroba dari kelompok cendawan dan bakteri telah berhasil diisolasi dan dievaluasi sebagai bahan aktif pupuk dan pestisida hayati yang efektif. Mikroba pemacu pertumbuhan tanaman dengan mekanisme langsung maupun tidak langsung mampu menginduksi pertumbuhan tanaman dan beberapa mikroba sebagai dekomposer sehingga membantu penyediaan unsur hara.
Beragam produk
Salah satu produk pupuk hayati unggulan yang dikembangkan adalah Agrihort BioNutri-V yang telah dipatenkan pada Agustus 2018. Produk ini merupakan pupuk hayati dan pembenah tanah berbentuk butiran berbahan aktif tujuh mikroba indigenous atau asli.
Agrihort BioNutri-V memiliki beberapa keunggulan, yaitu dapat diaplikasikan pada berbagai tanaman, baik sistem konvensional maupun hidroponik, dengan nilai efisiensi yang sangat tinggi. Pupuk ini juga terbukti dapatmempertahankan kuantitas dan mutu hasil panen serta mampu menyubstitusi pupuk kimia sintetik sebesar 75-100 persen.
”Pupuk ini sudah bisa digunakan untuk pertanian di tanaman hortikultura seperti bawang, cabai, padi, dan kentang. Jadi, tanpa pupuk kimia sintetik pun, kegiatan budidaya tanaman dan pertanian dapat menggunakan produk ini,” kata Hanudin.
Keunggulan lain dari Agrihort BioNutri-V adalahdapat memperbaiki kondisi lahan, tidak menimbulkan residu, dan bisameningkatkan penyerapan unsur hara oleh tanaman serta imunitas tanaman terhadap OPT. Pupuk ini sangat aman digunakan para petanikarena tidak menimbulkan iritasi pada organ tubuh pengguna. Kandungan bahan alami dari pupuk ini juga tidak menimbulkan korosi pada alat-alat pertanian.
Selain itu, hasil kajian yang dilakukan menunjukkan, Agrihort BioNutri-Vdapat menekan perkembangan penyakit karat putih pada bunga krisan sebesar 32,2 persen. Aplikasi pupuk hayati ini juga dapat mempertahankan hasil panen sebesar 25 persen untuk tanaman kentang dan 34 persen untuk bunga krisan dibandingkan menggunakan pupuk kimia.
Produk lain yang dikembangkan sebagai solusi pertanian ramah lingkungan adalah pestisida Agrihort Bioprima. Produk ini merupakan suatu formula biopestisida berbahan aktif PGPR pengendali penyakit tanaman yang disebabkan bakteri dan cendawan seperti penyakit layu bakteri, hawar daun bakteri, karat putih, layu fusarium, dan bercak hitam.
”Pestisida ini sangat efektif mengendalikan penyakit yang disebabkan bakteri dan cendawan karena keduanya merupakan permasalahan utama tanaman. Produk ini sudah dipatenkan tahun 2009 dan akan dibuat turunan patennya yang baru,” tuturnya.
Kemudian telah dikembangkan juga Agrihort Biometar yang merupakan bioinsektisida berbahan aktif utama mikroba entomopatogen. Bioinsektisida ini efektif mengendalikan hama tanaman yang disebabkan ulat dari keluarga Lepidopthera seperti ulat bawang, ulat daun kubis, ulat krop kubis, ulat jengkal, dan ulat pengorok buah tomat. Karakteristik produk ini berwarna putih susu dan formula tepung yang larut di dalam air.
Prospek pasar
Produk pupuk Agrihort BioNutri-V mempunyai prospek yang sangat tinggi untuk dipasarkan. Sebab, produk tersebut berpotensimenyubstitusi, bahkan menggantikan peran pupuk sintetik yang saat ini umum digunakan dalam berbagai budidaya tanaman hortikultura.
Produk pupuk ini memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi berdasarkan hasil perhitungan analisis rasio biaya manfaat untuk budidaya bunga krisan. Hasil penghitungan menunjukkan, setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkanuntuk pertanian dengan pupuk dan pestisida kimia menghasilkan pendapatan dengan angka1,3. Sementara pertanian dengan Agrihort BioNutri-Vmenghasilkan angka lebih tinggi, yakni 1,6.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Petani buah naga organik menyemprotkan cairan pengganti pupuk kimia di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Rabu (23/1/2019). Pertanian organik membuat petani buah naga dapat menekan biaya produksi sehingga terhindar dari kerugian ketika harga jual anjlok.
”Dalam segi biaya juga terdapat perbedaan signifikan. Penggunaan pupuk kimia untuk budidaya tanaman krisan dapat menghabiskan biaya hingga lebih dari Rp 3 juta. Sementara penggunaan pupuk hayati ini hanya menghabiskan Rp 2 juta,” ungkap Hanudin.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) BRIN Puji Lestari menyatakan, pertanian berkelanjutan merupakan integrasi dari berbagai aspek fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk pengembangan praktik pertanian ramah lingkungan. Pertanian berkelanjutan juga harus melindungi sumber daya seperti menjaga kesuburan tanah, air, dan mampu beradaptasi dengan perubahan iklim.
”Untuk jangka panjang, praktik pertanian ramah lingkungan perlu diupayakan misalnya dengan penggunaan pupuk organik dan hayati untuk memenuhi permintaan produk pertanian berkualitas.” ucapnya.