Memanggil Ingatan Tajam Reformasi Menikam Kekuasaan
Seperempat abad berjalan, reformasi masih menyisakan utang. Banyak harapan yang dulu digaungkan belum diwujudkan. Namun, gerakan ini mengingatkan bahwa kekuasaan yang berjaya 32 tahun pun bisa ditumbangkan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Gerakan reformasi yang digulirkan 25 tahun lalu menyimpan banyak kisah. Bukan sebatas cerita indah menggulingkan kedigdayaan rezim otoriter Orde Baru, tetapi juga tragedi yang menggoreskan sejarah kelam negeri ini. Pameran Reformas!h in Absentia memanggil ingatan-ingatan tajam reformasi itu menikam kekuasaan.
Aura gerakan reformasi menguar dari ruang pameran Yayasan Riset Visual mataWaktu di Jakarta, Rabu (17/5/2023). Puluhan karya foto, grafis, syair, kartun, desain, esai, dan instalasi menangkap momen-momen kejatuhan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Aroma reformasi bahkan tercium hingga ke toilet. Sebuah pamflet hitam bertuliskan ”MEI98” diletakkan di dekat kloset. Bercak merah pada huruf ”I” di tulisan itu menggambarkan sejumlah insiden berdarah di momen tersebut.
”Pameran ini untuk memanggil ingatan kita bahwa Indonesia pernah menjadi bagian dari rezim otokrasi selama 32 tahun. Hal ini juga sebagai pengingat bagi generasi sekarang agar kita tidak mengulang masa-masa kelam itu,” ujar pendiri Yayasan Riset Visual mataWaktu Oscar Motuloh.
Meski reformasi ”meledak” pada 1998, bibit-bibit gerakannya sudah terjadi sejak lama. Hal ini ditandai dengan berbagai gelombang unjuk rasa menentang kebijakan pemerintahan Soeharto.
Pameran Reformas!h in Absentia memulainya dengan mengingatkan momen pembredelan tiga media massa pada 1994, yaitu Tempo, Detik, dan Editor. Pembredelan ini menuai protes masyarakat.
Dua tahun berselang, pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, menghadiri sidang gugatan terhadap majalah tersebut di Mahkamah Agung. Momen Goenawan saat dikerumuni sejumlah jurnalis yang menyodorkan perekam suara dijepret oleh pewarta foto Kompas saat itu, Julian Sihombing.
Belasan foto Julian ditampilkan dalam pameran itu. Salah satu paling ikonik adalah foto seorang mahasiswa bernama Rizky Rahmawati yang tergelatak di tepi jalan saat kerusuhan di depan Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, pada 12 Mei 1998.
Menurut Oscar, rentang waktu 12-21 Mei 1998 merupakan momen genting menggulingkan Orde Baru. Pada 12 Mei, aparat keamanan menembaki demonstran sehingga menewaskan empat mahasiswa.
Momen ini salah satunya dipotret oleh Mosista Pambudi. Ia memotret seorang mahasiswa saat membacakan doa untuk rekannya yang menjadi korban tewas dalam peristiwa penembakan di Trisakti.
Tragedi Trisakti itu mengamplifikasi gelombang perlawanan di sejumlah daerah. Unjuk rasa mahasiswa terjadi di mana-mana. Banyak mahasiswa terluka akibat bentrok dengan aparat keamanan.
Kerusuhan pun memicu penjarahan. Pada 13-15 Mei, banyak toko dan rumah warga etnis Tionghoa dirusak dan dijarah. Bahkan, tak sedikit warga Tionghoa menjadi korban pelecehan seksual. Foto-foto kerusuhan tersebut menunjukkan sisi kelam di balik reformasi.
Mahasiswa mulai mendatangi Gedung MPR/DPR/DPD pada 18 Mei 1998. Beberapa hari kemudian, jumlah massa semakin banyak menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Pewarta foto Kompas, Eddy Hasby, ikut mengabadikan momen tersebut. Fotonya menggambarkan ribuan mahasiswa dari Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi menduduki gedung parlemen pada 19 Mei 1998. Sebagian mahasiswa naik ke atap gedung. Mereka menuntut reformasi.
Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Posisinya digantikan oleh wakilnya, BJ Habibie. Sukacita mahasiswa merayakan momen tersebut tergambar dari foto karya Kemal Jufri.
Tak berhenti di situ, pameran Reformas!h in Absentia juga memantik ingatan peristiwa yang terjadi setelah Soeharto mundur. Beberapa adalah Tragedi Semanggi I pada November 1998 dan Tragedi Semanggi II pada September 1999.
Seperempat abad reformasi bergulir, masih banyak harapan yang dulu digaungkan belum diwujudkan. Korupsi masih merajalela, kerabat penguasa tetap melenggang merebut takhta.
Kedua tragedi menimbulkan korban tewas dan luka. Peristiwa lainnya yang direkam adalah penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie dalam Sidang Istimewa MPR pada Oktober 1999.
Menurut Oscar, seperempat abad setelah keruntuhan Orde Baru, misi gerakan reformasi masih relevan digaungkan. Gerakan itu menjadi simbol melawan kekuatan tirani militeristik agar tidak kembali berkuasa.
”Pameran dan pengembangan jejaring Reformas!h in Absentia ini adalah terminal dan sarana independen untuk memanggil kembali nurani serta ingatan kita untuk terus menyuarakan hakikat misi gerakan reformasi yang sejatinya tak pernah rampung. Sebab, korupsi, kolusi, dan nepotisme terus marak sampai saat ini.” Demikian catatan kuratorial pameran yang berlangsung hingga 17 Juni 2023 itu.
Tiga kartun karya Rahmat Riyadi turut mewarnai pameran tersebut. Salah satu karyanya merupakan kartun dua kolom yang membandingkan situasi 1998 dengan 2023.
Pada kolom pertama, ia menggambar seseorang mengepalkan tangan sambil berteriak ”Hanya ada satu kata, lawan!!!”. Sementara di kolom kedua teriakan itu diganti menjadi ”Hanya ada satu kata, Lupa!!!”.
”Mungkin sudah banyak yang melupakan peristiwa reformasi. Padahal, itu sejarah penting bangsa ini. Jadi, kita semua perlu mengingatkannya kembali, terutama kepada generasi muda yang tidak merasakan Orde Baru agar rezim kekerasan itu tidak kembali,” ujar Rahmat.
Mimpi buruk dan mimpi baik
Selama 25 tahun bergulir, reformasi masih menyisakan utang. Pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme yang menjadi salah satu tuntutan utama gerakan tersebut belum tuntas.
Budayawan dan sastrawan Goenawan Mohamad mengatakan, setiap kali ada peringatan reformasi, selalu ada orang yang mengutarakan ketidakpuasan. Menurut dia, setiap perubahan akan menghadirkan hal baik, tetapi tetap menyisakan hal yang pahit untuk terus dilawan.
”Kita selalu mengatakan, kok begini-begini saja. Sebetulnya itu tanda kita tidak rendah hati pada sejarah. Kita tidak bisa membentuk masa depan semau kita,” jelasnya.
Menurut Goenawan, peringatan reformasi memperlihatkan mimpi buruk dan mimpi baik sejarah. Reformasi telah menyemai sejumlah pencapaian, seperti pembatasan kekuasaan presiden, kemerdekaan pers, dan jaminan hak-hak sipil.
Akan tetapi, masih terdapat sejumlah kekurangan. Ia menyebutkan terjadi fenomena ”juraganisme partai” dalam demokrasi saat ini di mana kekuasaan hanya ditentukan segelintir orang yang menguasai partai politik.
”Mencalonkan presiden harus dari partai. Para pemilik partai sangat berkuasa. Harus dipertanyakan, keistimewaan partai itu dari mana? Waktu reformasi, mungkin kurang mengantisipasi itu,” ucapnya.
Seperempat abad reformasi bergulir, masih banyak harapan yang dulu digaungkan belum diwujudkan. Korupsi masih merajalela, kerabat penguasa tetap melenggang merebut takhta. Namun, gerakan reformasi harus terus dikenang untuk mengingatkan bahwa dengan solidaritas rakyat, tembok-tembok kekuasaan yang berjaya lebih dari tiga dekade pun bisa diruntuhkan.